Sudah sepekan lamanya Aninda Maya tinggal di Gunung Kerdil. Mau tidak mau dia harus tinggal di bukit yang disebut gunung itu. Entah siapa yang memberikan nama gunung kepada bukit tersebut. Sepertinya orang itu sangat terobsesi memiliki sebuah gunung.Ketika Aninda Maya ditinggal oleh ayah dan ibu non-biologisnya, dia dalam keadaan diikat oleh tali sinar hijau dari ilmu Belenggu Anak Macan. Meski kedua orangtuanya sangat bersedih, bahkan Anggar Sukolaga pun sampai menitikkan air mata, tetapi mereka harus berpisah dengan gadis cantik yang mereka cintai itu. Mungkin tidak akan bertemu lagi.Pada suatu hari, Aninda Maya berusaha kabur dari puncak Gunung Kerdil.“Aaakkk!” jerit Aninda Maya tiba-tiba, saat dia sampai di punggung bukit.Ada rasa sakit yang menyerang dalam dadanya yang kemudian membuatnya lemah dan jatuh di tanah. Aninda Maya merintih dengan tubuh meringkuk di tanah yang gelap, karena saat dia mencoba kabur, waktu di saat malam dini hari.Aninda Maya tidak tahu apa yang terja
Ardo Kenconowoto tidak mengenal pendekar yang bernama Bangteng Kuro. Jadi, dia harus banyak bertanya kepada orang lain tentang Banteng Kuro. Dia pun tidak tahu harus mencari di daerah mana.Karena arah perjalanannya melewati Desa Guling, sebagai seorang pemuda tampan yang baik dan tidak sombong, Ardo pun mampir ke kediaman Kepala Desa Totor Gema. Dan yang paling senang adalah Kenanga, meski kemudian dia menelan kecewa karena Ardo hanya mampir sebentar dan akan melakukan perjalanan yang tidak tahu berapa lama.“Aku tidak mengenal pendekar yang bernama Banteng Kulo. Mungkin Ki Rujak kenal,” jawab Totor Gema saat Ardo menanyakan perihal Banteng Kuro.Akhirnya Ardo berpamitan. Karena dia tidak memiliki urusan selain bertanya dan silaturahmi, Ardo tidak lama. Namun, dia ingin berkunjung ke rumah Ki Rojak yang akrab dipanggil Ki Rujak, padahal Ki Rojak tidak doyan rujak. Anger Jogo yang menemani dan menunjukkan rumah Ki Rojak.Ketika Ardo datang, Ki Rojak dan putranya Jumadi sedang berlatih
Sinar matahari pagi akhirnya menjadi wasilah bagi Cabur Sekti untuk sadarkan diri. Setelah sepasang kelopak matanya yang tertutup bergerak-gerak seperti ada makhluk yang hendak menetas, sepasang mata itu akhirnya membuka. Merah dan berbelek.Mata itu seketika menyipit oleh silaunya sapaan matahari pagi. Cabur Sekti tahu itu matahari pagi karena posisinya masih setinggi bingkai jendela.Setelah netranya beradaptasi dan mata itu kembali membuka normal, Cabur Sekti memindai area sekitarnya. Ternyata dia sedang terbaring di atas dipan bambu di dalam sebuah rumah sederhana berlantai tanah keras, tetapi barang-barangnya tertata rapi sehingga enak dipandang mata.Kruuukr!Aroma masakan yang berbumbu tajam menggugah selera seketika membuat perut jagoan golok itu mengoceh, tanda perutnya minta makan.Cabur Sekti pun memeriksa dirinya. Dia tidak berbaju, tapi untung masih bercelana. Lengan kirinya dibalut perban tebal. Memorinya cepat mengingat apa yang telah dia alami.Dari dalam dapur berjala
Desa Alot Urat disebut juga Desa Pendekar. Desa itu tidak biasa karena gemar disinggahi oleh para pendekar sehingga seperti sebuah kota. Keramaian itu diiringi oleh marak dibangunnya berbagai pusat bisnis oleh para pemilik modal. Berbagai sarana yang tersedia membuat para pendekar pun tertarik untuk datang ke desa itu.Tempat yang banyak di datangi oleh para pendekar bukan berarti aman karena banyak orang hebat, tetapi justru rawan keributan karena kebanyakan pendekar punya ego dan gengsi yang tinggi. Jika disenggol sedikit langsung membentak, “Mau cari mati?!”Seperti hari ini, ada pertarungan yang terjadi antara dua pendekar di tengah jalan utama di pusat Desa Alot Urat. Namun, kasusnya bukan sekedar ada yang tersenggol atau disenggol.Tidak seperti di tempat lain, jika ada pertarungan di desa ini, tidak ada penonton yang berkerumun menjadi pagar di sekeliling area pertarungan. Para penonton dari kalangan warga biasa akan menonton dari jarak jauh yang aman.Sementara para pendekar m
“Bisa aku buatkan, tapi kau harus menunggu dua atau tiga hari,” kata Tabib Juku Getir saat Ardo Kenconowoto bertanya tentang bahan pengawet daging atau mayat.“Iya, Ki,” jawab Ardo bersedia.Tabib Juku Getir lalu memeriksa beberapa isi gucinya di rak. Sepertinya dia sedang melihat bahan-bahan untuk membuat apa yang diinginkan Ardo.“Uni, kau bantu membeli daging sapi. Kita butuh lemaknya,” kata Tabib Juku Getir kepada Uni Priwangi.“Bukankah Ki Pawang Api punya banyak sapi, Ki?” tanya Uni Priwangi, bukan maksud menolak.“Hehehe!” kekeh sang tabib. “Sapi-sapi itu sudah seperti anak sendiri bagi Ki Pawang. Dia tidak akan pernah mau memotong sapinya. Dia lebih baik membiarkan sapinya mati lalu dikubur daripada dimakan bersama.”“Baik, Ki. Aku akan pergi membelinya,” ucap Uni Priwangi.“Beli saja satu daging paha,” kata Tabib Juku Getir.“Baik, aku langsung pergi,” kata Uni Priwangi.Pendekar cantik itu lalu berbalik dan berjalan keluar rumah.“Ardo, kau pergi cari sarang lebah yang berma
“Hihihi!” tawa Semuri ketika tiba di rumahnya dan bertemu dengan kakeknya, Tabib Juku Getir.“Kenapa kau tertawa, Semuri?” tanya Tabib Juku Getir.Semuri tidak menjawab, kecuali berlalu meninggalkan kakeknya.Tabib Juku Getir hanya menaikkan kedua alisnya. Namun, pertanyaannya kemudian terjawab saat melihat kedatangan Ardo Kenconowoto. Dia jadi tersenyum tua.Ardo datang dengan wajah yang bentol-bentol sebab sengatan banyak lebah. Kelopak mata dan bibirnya bengkak. Meski demikian, pengorbanannya tidak sia-sia. Dia pulang dengan tetap membawa sarang lebah bermadu yang sudah kosong dari penghuninya.Tabib Juku Getir tidak perlu bertanya apa yang telah terjadi. Namun, berbeda ketika Uni Priwangi pulang dari belanja. Gadis itu terkejut melihat hilangnya ketampanan Ardo.“Semuri! Apa maksudmu berbuat seperti itu kepada Ardo?!”Uni Priwangi segera melabrak Semuri setelah Ardo menceritakan apa yang terjadi. Dia marah sekali.“Bukan aku yang membuat kegantengan Ardo hilang, tapi lebah. Marahl
“Gawat, Ardo akan bertarung dengan Pendekar Pedang Kayu,” kata Uni Priwangi kepada Semuri.“Aku yakin Ardo bisa mengalahkannya,” kata Semuri optimis.“Kau memang suka melihat Ardo menderita,” tukas Uni Priwangi.“Eh, jangan memulai!” kata Semuri memperingatkan.Kuda milik Ardo yang membawa tubuh Cabur Sekti datang mendekati mereka berdua. Cabur Sekti tengkurap memeluk kuda, bukan karena kudanya cantik, tetapi karena dia sedang terluka parah.Semuri segera turun dari kudanya dan menyambut kuda Ardo. Dia segera memeriksa kondisi Cabur Sekti.“Lukamu parah, Paman. Coba makan pil ini,” kata Semuri lalu memberikan sebutir obat yang berbau tajam. “Ini akan membantumu bertahan.”Cabur Sekti yang masih sadarkan diri menerima pil itu dan memakannya.Sementara itu, di depan sana, pertarungan antara Ardo Kenconowoto yang masih terlalu muda melawan Aki Sumpat yang sudah tua tanpa terlalu, baru saja di mulai. Meski Ardo jauh lebih muda, tetapi jika dinilai dari ukuran fisik, Ardo bisa dijagokan. N
Sezz! Sezz! Sezz!Meski tangannya merasakan sakit, tetapi Aki Sumpat masih mampu memainkan pedang kayunya yang berapi biru itu. Sebagai serangan awal, Pendekar Pedang Kayu melakukan tiga tebasan beruntun dengan lawan berposisi dua tombak di depannya.Dari setiap sabetan melesat sinar biru yang berpadu dengan api biru yang berwujud garis lengkungan yang tajam.Ardo Kenconowoto melakukan tiga Gerakan menghindar yang sangat cepat. Pertama, dia melompat salto tanpa tendangan karena tidak ada yang mau ditendang. Lompatan itu menghindari lesatan garis sabit sinar biru pertama. Hindaran kedua cukup bergeser, karena wujud garis sinar berbentuk sabit yang berdiri vertikal. Dan hindaran ketiga Ardo melakukan lompatan salto sambil balas melesatkan ilmu Sirih Bujang.Sing!Dari dalam putaran tubuh Ardo ketika bersalto di udara melesat satu sinar hijau berwujud daun.Terkejut Aki Sumpat melihat serangan itu. Dia cepat melompat melenting ke udara karena dia tahu cara kerja ilmu berbahaya itu.Ctar!