Dengan digendong oleh Guntur Murka di punggung, Anggar Sukolaga menaiki bukit yang namanya Gunung Kerdil. Kenari Inang, Aninda Maya dan Angkel Asap menyertai.Mereka mengikuti Gulipat, salah satu murid Nini Lanting yang berjaga di kaki bukit tersebut.Gulipat sudah melapor kepada penguasa dan pemimpin di Gunung Kerdil itu tentang kedatangan rombongan Anggar Sukolaga. Rombongan tamu itupun mendapat izin.Namun, karena Nini Lanting tidak mengenal para tamu tersebut, mereka diterima di Saung Penyambut. Itu adalah bangunan terluar di kompleks puncak Gunung Kerdil untuk menerima tamu.Saung Penyambut adalah saung besar sederhana yang terbuat dari kayu papan yang dicat merah terang. Tidak terlihat istimewa karena tidak ada dapurnya atau barang-barang pecah belah sebagai hiasan, bahkan tidak ada foto berbingkai sang penguasa di tempat itu.“Silakan menunggu, Kisanak,” ucap Gulipat.“Terima kasih,” ucap Anggar Sukolaga.Maka menunggulah mereka, tapi tidak lama.Nini Lanting datang dengan dika
Meski Anggar Sukolaga meminta bicara kepada Nini Lanting hanya berdua, tetapi Guntur Murka juga ikut duduk bertiga di pendapa yang juga menjadi kediaman Siluman Sepuluh Nyawa.“Apakah Tetua mengenal Urak Sepadan yang terkenal dengan gelar Pendekar Pedang Kilau?” tanya Anggar Sukolaga untuk memulai ceritanya yang sangat rahasia.“Aku hanya pernah mendengar julukannya sebagai salah satu pendekar dunia persilatan,” jawab Nini Lanting dengan suara seraknya.“Urak Sepadan bukanlah nama asli dari Pendekar Pedang Kilau. Nama aslinya adalah Pangeran Sabdo Julang, salah satu putra mendiang Prabu Gundawa Aro,” kata Anggar Sukolaga.Terkejut Nini Lanting, tetapi keterkejutannya terlihat samar.“Pembicaraanmu sepertinya berbau pemberontakan kepada raja sekarang,” terka Nini Lanting.“Benar, Tetua. Namun, kami datang bukan bermaksud menyeret Keturunan Darah Emas ke dalam pusaran pemberontakan kami,” kata Anggar Sukolaga. Lalu lanjutnya, “Mendiang Prabu Gundawa Aro memiliki dua anak yang masih hidu
Ardo Kenconowoto mau tidak mau harus mengobrol dengan Kenanga dan Kalini di pinggir sungai. Ardo menceritakan kenapa dia bisa menginap di rumah Juragan Rekso. “Aku bingung, Uni Pliwangi mau jadi istliku, padahal aku masih kecil,” kata Ardo. “Hah! Uni Priwangi langsung ingin menjadi istrimu?” kejut Kenanga lalu merengut level setan, tapi tidak membuatnya jelek seperti setan. “Bagaimana kalau Kenanga juga ingin menjadi istrimu?” tanya Kalini, membuat Ardo terbeliak. “Sudah aku katakan, aku masih kecil,” tandas Ardo. “Siapa yang mengatakan kau masih kecil? Lihat ototmu ini,” kata Kalini sambil memegang otot lengan kanan Ardo sebentar. “Kau ini sudah besar sekali. Sudah bisa membuat anak yang banyak. Hihihi! Aku tidak bisa membayangkan jika Kenanga berperut gendut.” “Hahaha!” tawa Ardo pula. “Kau bicara apa sih, Kalini?” sergah Kenanga sambil mendorong samping kepala Kalini dengan ujung jarinya. “Hihihi!” Kalini justru tertawa berkepanjangan. “Aku mau ke walung makan,” kata Ardo.
“Sombong sekali calon menantu Totor Gema,” kata Ki Rojak dengan senyuman sinis.“Bukan, bukan calon menantu, hanya tamu saja. Hehehe!” kata Ardo sibuk menyangkal sembari terkekeh cengengesan.“Kundang Kandung, beri pelajaran yang berarti kepada anak ingusan ini!” perintah Ki Rojak.“Tidak, tidak. Aku tidak ingusan, Paman!” sangkal Ardo lagi sambil tersenyum getir.“Jangan panggil aku Paman, Anak Kecil. Namaku Ki Rojak, jawara di desa itu. Eh, di desa ini!” bentak Ki Rojak. Lalu perintanya lagi, “Hajar!”“Siap!”Sing! Sing!Kundang dan Kandung mencabut goloknya.“Eh eh eh! Katanya mau menghajal, tapi kenapa pakai golok?” tanya Ardo.“Biar mati sekalian!” bentak Kandung.“Heat!” teriak Kundang sambil maju membacok.“Aaak!” jerit Kenanga sambil mundur menjauh, padahal bukan dia yang mau dibacok.Ardo yang dibacok cukup menghindar sekali agar kulit dan bajunya tidak tersayat. Pada bacokan kedua, Ardo cukup maju setindak dengan tangan yang menangkis tangan Kundang.“Hiaat!” pekik Kandung d
“Hahaha!” tawa Iblis Satu Kaki sambil membuka bungkusan nasi hangat yang dibawa oleh calon muridnya, Ardo Kenconowoto. “Coba ceritakan, bagaimana caranya agar nasi yang kau bawa tetap hangat sampai ke sini!”“Sepelti ini celitanya, Gulu,” jawab Ardo. Terpaksa dia menahan comotan nasinya demi menceritakan bagaimana caranya dia bisa membawa nasi bungkus ke Tebing Pahat dengan tetap hangat.Sebelumnya pada hari itu, Ardo dan Kenanga meminta izin kepada Totor Gema tentang rencana Kenanga ikut dengan Ardo pergi ke Tebing Pahat.Mendengar itu, Totor Gema agak terkejut. Meski dia bukan orang dunia persilatan, tetapi dia sedikit banyaknya mendengar cerita tentang kekejaman Iblis Satu Kaki yang tinggal dan menguasai daerah Tebing Pahat.“Jika hanya untuk mensiasati agar nasi bungkusnya tetap hangat sampai di Tebing Pahat, cukup sampai sebelum Tebing Pahat. Masaklah di sana lalu bawa ke Tebing Pahat. Jika kau Aldo, ingin membawa Kenanga sampai ke Tebing Pahat, aku tidak mengizinkannya,” kata To
Rumah kediaman Adipati Banting Arak memang cukup berbeda. Meski besar dan berhalaman luas, tetapi tidak berpagar. Karena tidak berpagar, maka Adipati membuat pagar hidup bagi rumahnya.Puluhan prajurit ditempatkan sebagai pagar dengan jarak-jarak tertentu. Untuk membentuk pagar hidup itu mengelilingi halaman rumah, dibutuhkan 50 prajurit berpakaian dan bersenjata lengkap. Jumlah itu tidak akan mengurangi kekuatan Pasukan Keamanan Kadipaten yang berjumlah lima ratus prajurit, dengan rincian tiga ratus untuk pasukan keamanan di ibu kota Gampartiga, dua ratus tersebar di seluruh wilayah lain yang dimiliki Kadipaten Dadariwak.Ada dua orang lelaki gagah menunggang kuda yang datang ke kediaman Adipati Banting Arak. Meski sama-sama mengenakan jubah kuning, tetapi mereka mengenakan asesoris seperti punggawa kerajaan. Usia mereka kisaran kepala empat.Lelaki yang menyandang pedang di punggungnya bernama Kepitanu. Lelaki yang menyandang keris di lengan kirinya bernama Geruso Tonglu. Entah ide
Dengan gaya jalan seperti orang kaya baru, Anoman berjalan di jalanan pasar Ibu Kota dengan dikawal oleh Gugusan dan Kuncung.Ketika mereka lewat di depan lapak buah, seenaknya saja ketiganya mengambil buah yang dijual tanpa meminta atau bicara kepada pedagangnya. Itu hanya membuat si pedagang geleng-geleng sambil bernapas. Untung yang diambil hanya sebuah.Sambil berjalan, mereka makan buah. Itu bukan sedang lomba agustusan, tetapi itu sekedar gaya mereka di pasar. Semua pedagang di pasar itu sudah muak melihat tingkah ketiganya, tetapi tidak ada yang berani melawan jika tidak ingin dibuat rusuh. Kepala keamanan pasar saja tunduk di bawah perintah Anoman, padahal dia tidak punya jabatan apa-apa di pasar tersebut.Namun, langkah ketiganya terhenti oleh hadangan tiga kuda berpenunggang di tengah-tengah jalan pasar.Anoman, Gugusan dan Kuncung menatap tajam kepada ketiga penunggang kuda. Satu orang penunggang kuda mereka kenal bernama Codet Maut, pengawal pribadi Adipati Banting Arak, a
Upir Rammi diikat di sebatang tiang kayu di depan pasar Ibu Kota. Ada dua prajurit keamanan pasar yang berdiri menjaga.Ketika awal-awal janda cantik itu digelandang dan diikat di tiang kayu, banyak warga yang berkerumun menyaksikan. Mereka heboh. Apalagi bagi para pedagang, Upir Rammi adalah bagian dari kelompok mereka, sesama pedagang di pasar itu.Setelah itu, Upir Rammi dibiarkan terikat. Warga pun kembali kepada kesibukannya masing-masing seiring mulutnya yang juga sibuk mengobras.Lalu ke mana dua arjunaweda yang menangkap Upir Rammi? Jangan dijawab!Karena Kepitanu dan Geruso Tonglu sedang asik makan di kedai pinggir pasar, di mana mereka bisa memantau kondisi tiang kayu dari jauh.Sementara Anoman, Gugusan dan Kuncung sudah tidak terlihat daun telinganya. Mereka tidak mau jadi bawahan kedua perwira kerajaan tersebut. Mereka tidak mau disuruh-suruh, padahal mereka tidak punya ikatan kerja sebagai bawahan.Upir Rammi hanya bisa berdiri terikat dengan wajah yang sedih. Warga yang