Senja itu, Ardo Kenconowoto berkuda kencang dengan tubuh Uni Priwangi terikat kuat di punggungnya. Itu hal sama yang Ardo pernah lakukan terhadap Anggar Sukolaga yang juga terluka beberapa hari yang lalu.Ardo menilai keparahan luka Uni Priwangi sama seperti Anggar Sukolaga, meski titik lukanya hanya satu. Menilik dari titik luka, panah itu tidak mengancam jantung, tetapi tetap saja bisa berisiko kematian.Ardo berpikir ringkas. Dia tidak tahu keberadaan tabib yang tinggal di sekitar wilayah itu. Saat ini, dia hanya tahu Tabib Juku Getir di Lembah Jepit dan gurunya, Iblis Sirih. Namun, tempat tinggal Iblis Sirih lebih jauh dibandingkan Lembah Jepit.Pemikiran ringkas itu membuat Ardo memutuskan untuk membawa Uni Priwangi ke Lembah Jepit.Namun, saat waktu magrib tiba, Ardo berpapasan dengan pasukan yang dipimpin oleh Arjunatama Cula Garang.Kencangnya lari kuda Ardo tidak membuat prajurit pasukan itu takut untuk menghentikan Ardo dan kudanya.Karena dihadang dengan ancaman tombak-tomb
Di rumah Juragan Rekso yang cukup besar, tampak sang juragan sedang duduk seorang diri, tapi berteman dua dian minyak yang bertengger di tiang dan dinding depan rumah. Meski Juragan Rekso adalah orang terkaya di desa itu, tetapi rumahnya tidak lebih besar dari rumah Kepala Desa Totor Gema.Dari dalam rumah keluar seorang wanita gemuk yang menyelimuti kedua bahunya dengan kain. Itu adalah istri Juragan Rekso, namanya Narimo.“Sudah mau tengah malam, Kakang. Uni mungkin bermalam. Ayo masuk,” ajak Narimo dengan perkataan yang lembut.“Jika Uni bermalam dengan Aldo, aku tidak akan khawatir. Aldo itu anak yang santun dan baik,” kata Juragan Rekso.“Bukankah Kakang sendiri yang mengatakan, Uni pergi mengikuti Aldo? Jadi Kakang tidak perlu risau. Biasanya juga Uni suka tidak pulang berhari-hari. Apakah karena dia pergi bersama Aldo sehingga Kakang jadi khawatir?” kata sang istri.“Mungkin juga.”“Kakang ini bagaimana? Barusan mengatakan tidak khawatir jika Uni bermalam bersama Aldo, tapi sek
Ada empat orang pemuda yang duduk bersila di pendapa berlantai papan, yang bagian depannya terbuka menghadap ke arah jurang yang di seberangnya ada air terjun. Itu jelas pemandangan yang indah dengan suhu yang dingin.Namun, suhu dingin sepertinya bukan keadaan yang ekstrem bagi keempat pemuda itu. Dua dari mereka bahkan berpakaian minim. Mungkin karena mereka adalah pendekar, jadi pantang menggigil di suhu dingin seperti itu.Pemuda termuda memiliki model wajah baby face, tampan dengan rambut pendek. Usianya 24 tahun. Wajah halusnya dihiasi setitik tahi lalat halus di pipi kiri. Itu bukan tanda titik cium, tapi sekedar pemanis saja karena titik ciumnya tetap ada di bibir. Dia mengenakan pakaian warna kuning gading berkombinasi warna putih telur asin. Jadi warnanya secantik telur asin dibelah. Di pangkuannya ada satu pedang warna ungu lengkap dengan sarungnya yang bagus. Dia bernama Rawa Kujang tanpa memiliki hubungan darah dengan senjata jenis kujang.Pemuda kedua berusia dua tahun l
Dengan digendong oleh Guntur Murka di punggung, Anggar Sukolaga menaiki bukit yang namanya Gunung Kerdil. Kenari Inang, Aninda Maya dan Angkel Asap menyertai.Mereka mengikuti Gulipat, salah satu murid Nini Lanting yang berjaga di kaki bukit tersebut.Gulipat sudah melapor kepada penguasa dan pemimpin di Gunung Kerdil itu tentang kedatangan rombongan Anggar Sukolaga. Rombongan tamu itupun mendapat izin.Namun, karena Nini Lanting tidak mengenal para tamu tersebut, mereka diterima di Saung Penyambut. Itu adalah bangunan terluar di kompleks puncak Gunung Kerdil untuk menerima tamu.Saung Penyambut adalah saung besar sederhana yang terbuat dari kayu papan yang dicat merah terang. Tidak terlihat istimewa karena tidak ada dapurnya atau barang-barang pecah belah sebagai hiasan, bahkan tidak ada foto berbingkai sang penguasa di tempat itu.“Silakan menunggu, Kisanak,” ucap Gulipat.“Terima kasih,” ucap Anggar Sukolaga.Maka menunggulah mereka, tapi tidak lama.Nini Lanting datang dengan dika
Meski Anggar Sukolaga meminta bicara kepada Nini Lanting hanya berdua, tetapi Guntur Murka juga ikut duduk bertiga di pendapa yang juga menjadi kediaman Siluman Sepuluh Nyawa.“Apakah Tetua mengenal Urak Sepadan yang terkenal dengan gelar Pendekar Pedang Kilau?” tanya Anggar Sukolaga untuk memulai ceritanya yang sangat rahasia.“Aku hanya pernah mendengar julukannya sebagai salah satu pendekar dunia persilatan,” jawab Nini Lanting dengan suara seraknya.“Urak Sepadan bukanlah nama asli dari Pendekar Pedang Kilau. Nama aslinya adalah Pangeran Sabdo Julang, salah satu putra mendiang Prabu Gundawa Aro,” kata Anggar Sukolaga.Terkejut Nini Lanting, tetapi keterkejutannya terlihat samar.“Pembicaraanmu sepertinya berbau pemberontakan kepada raja sekarang,” terka Nini Lanting.“Benar, Tetua. Namun, kami datang bukan bermaksud menyeret Keturunan Darah Emas ke dalam pusaran pemberontakan kami,” kata Anggar Sukolaga. Lalu lanjutnya, “Mendiang Prabu Gundawa Aro memiliki dua anak yang masih hidu
Ardo Kenconowoto mau tidak mau harus mengobrol dengan Kenanga dan Kalini di pinggir sungai. Ardo menceritakan kenapa dia bisa menginap di rumah Juragan Rekso. “Aku bingung, Uni Pliwangi mau jadi istliku, padahal aku masih kecil,” kata Ardo. “Hah! Uni Priwangi langsung ingin menjadi istrimu?” kejut Kenanga lalu merengut level setan, tapi tidak membuatnya jelek seperti setan. “Bagaimana kalau Kenanga juga ingin menjadi istrimu?” tanya Kalini, membuat Ardo terbeliak. “Sudah aku katakan, aku masih kecil,” tandas Ardo. “Siapa yang mengatakan kau masih kecil? Lihat ototmu ini,” kata Kalini sambil memegang otot lengan kanan Ardo sebentar. “Kau ini sudah besar sekali. Sudah bisa membuat anak yang banyak. Hihihi! Aku tidak bisa membayangkan jika Kenanga berperut gendut.” “Hahaha!” tawa Ardo pula. “Kau bicara apa sih, Kalini?” sergah Kenanga sambil mendorong samping kepala Kalini dengan ujung jarinya. “Hihihi!” Kalini justru tertawa berkepanjangan. “Aku mau ke walung makan,” kata Ardo.
“Sombong sekali calon menantu Totor Gema,” kata Ki Rojak dengan senyuman sinis.“Bukan, bukan calon menantu, hanya tamu saja. Hehehe!” kata Ardo sibuk menyangkal sembari terkekeh cengengesan.“Kundang Kandung, beri pelajaran yang berarti kepada anak ingusan ini!” perintah Ki Rojak.“Tidak, tidak. Aku tidak ingusan, Paman!” sangkal Ardo lagi sambil tersenyum getir.“Jangan panggil aku Paman, Anak Kecil. Namaku Ki Rojak, jawara di desa itu. Eh, di desa ini!” bentak Ki Rojak. Lalu perintanya lagi, “Hajar!”“Siap!”Sing! Sing!Kundang dan Kandung mencabut goloknya.“Eh eh eh! Katanya mau menghajal, tapi kenapa pakai golok?” tanya Ardo.“Biar mati sekalian!” bentak Kandung.“Heat!” teriak Kundang sambil maju membacok.“Aaak!” jerit Kenanga sambil mundur menjauh, padahal bukan dia yang mau dibacok.Ardo yang dibacok cukup menghindar sekali agar kulit dan bajunya tidak tersayat. Pada bacokan kedua, Ardo cukup maju setindak dengan tangan yang menangkis tangan Kundang.“Hiaat!” pekik Kandung d
“Hahaha!” tawa Iblis Satu Kaki sambil membuka bungkusan nasi hangat yang dibawa oleh calon muridnya, Ardo Kenconowoto. “Coba ceritakan, bagaimana caranya agar nasi yang kau bawa tetap hangat sampai ke sini!”“Sepelti ini celitanya, Gulu,” jawab Ardo. Terpaksa dia menahan comotan nasinya demi menceritakan bagaimana caranya dia bisa membawa nasi bungkus ke Tebing Pahat dengan tetap hangat.Sebelumnya pada hari itu, Ardo dan Kenanga meminta izin kepada Totor Gema tentang rencana Kenanga ikut dengan Ardo pergi ke Tebing Pahat.Mendengar itu, Totor Gema agak terkejut. Meski dia bukan orang dunia persilatan, tetapi dia sedikit banyaknya mendengar cerita tentang kekejaman Iblis Satu Kaki yang tinggal dan menguasai daerah Tebing Pahat.“Jika hanya untuk mensiasati agar nasi bungkusnya tetap hangat sampai di Tebing Pahat, cukup sampai sebelum Tebing Pahat. Masaklah di sana lalu bawa ke Tebing Pahat. Jika kau Aldo, ingin membawa Kenanga sampai ke Tebing Pahat, aku tidak mengizinkannya,” kata To