Mata Sembara memerah, kini dia percaya ucapan Palasi, tapi kenyataan ini bak racun dalam hatinya, dia sangat marah dengan Palasi, tapi lebih marah lagi dengan Prabu Malaki.Tak dia sangka, seorang Maharaja yang dia kagumi sejak kecil dan terkenal bijaksana dan menyayangi rakyatnya, justru telah menyia-nyiakan ibunya, hingga ibunya jatuh dalam pelukan penjahat wanita ini.Dan dia sejak bayi malah dititipkan di padepokan mawar merah, lalu secara tak sengaja di tolong Si Gila, yang ternyata kakek kandungnya sendiri.“Jahat sekali kamu ternyata Prabu Malaki…selain menyia-nyiakan ibu dan aku, kamu juga membunuh ibundaku!” desis Sembara sambil menahan isaknya. Dan menyambut serangan dahsyat dari Palasi.Pendekar Baung sudah menerjang maju lagi, kini selain menerjang hebat, juga mengarahkan goloknya pada bagian berbahaya di tubuh Sembara.Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat. Kembali tubuh Sembara menyelinap dan menghindar dari serangan Pendekar Baung ini.Saat
“Hmmm bagus, ingat keberadaanku jangan sampai ada yang tahu, kamu dan tiga sahabatmu ini kalau sampai membocorkan, ku penggal kepala kalian!” Dulung, Somi, Parhun dan Huki langsung mengangguk paham, ancaman Palasi ngeri-ngeri sedap bagi mereka.Tanpa membuang waktu, Dulung mengajak Pendekar Baung ke pesanggrahan milik ayahnya. Semenjak saat itu Pendekar Baung bersembunyi di sana, dia juga tak kekurangan uang, hoby nya pelesir tersalur dengan baik, karena semua di jamin Dulung. Pendekar Baung tak lagi mencuri uang, karena dia ngeri sendiri, penjagaan di Ibukota Bajama sangat ketat, juga sangat banyak orang sakti.Pendekar Baung menepati janjinya, dia melatih Dulung dan tiga rekannya ilmu silat, ternyata yang berbakat hanya Dulung, tapi ketiga sahabatnya yang juga anak buahnya tak berkecil hati, mereka tetap ikut latihan.Pandekar Baung juga sering mengajak Dulung cs pelesir, sehingga kenakalan Dulung kini bak fotocopi Pendekar Baung. Tapi hanya 3 bulan, Pendekar Baung lalu pamit ke Du
Sepanjang jalan Prabu Malaki bertanya bagaimana bisa Sembara bisa kenal dengan Dusman dan keluarganya.Jenderal Dusman pun menceritakan semuanya, termasuk ketika mereka bertemu Putri Remi yang sempat bertarung dengan Sembara dan anaknya Dalman.“Hmmm…Putri Remi….jadi Sembara sekarang sudah besar dan usianya kini 15 tahunan?”“Betul paduka, tinggi badannya bahkan hampir sama dengan hamba, walaupun badannya agak kurus, tapi sangat kokoh, karena dia mewarisi kesaktian kakeknya Si Gila!”Dusman kini mengisahkan profil badan Sembara yang tampan dan sangat mirip Prabu Malaki saat muda, termasuk istrinya yang sempat curiga dengan sosok Sembara tersebut, karena ada kemiripan yang terlihat dari wajah Sembara.Begitu tiba di sekolah kerajaan, seluruh guru dan juga Ki Jaman yang kaget dengan kunjungan sang maharaja yang tak disangka-sangka ini, terlebih diiringi Jenderal Dusman ini, Ki Jaman pun secara tergesa-gesa melakukan penyambutan.“Ki Jaman…di mana Sembara!” Ki Jaman langsung kaget, karen
Namun Prabu Malaki akhirnya menarik nafas lega, tak terlihat sama sekali sifat jelek itu di wajah putranya ini. Prabu Malaki lalu menatap ketiga istrinya, Putri Kirana, Tengku Mimi dan Putri Galuh, juga dua adik Pangeran Dipa, Putri Delima dan Putri Kirna, umur mereka bertiga hanya selisih bulan.“Itulah yang menyesakan hatiku…Sembara dikatakan sudah tewas tenggelam di Sungai Barito, setelah di bokong Sohail, musuh lama aku dulu, yang katanya berkomplot dengan Palasi untuk mengeroyoknya di sebuah hutan pinggir kota,” suara Prabu Malaki agak bergetar, tanda sangat berduka Sembara yang dikiranya tewas.“Kalau aku sudah besar, aku akan membalaskan kematian kakanda Sembara!” sela Putri Kirna, hingga mengagetkan semuanya.Dari tiga anak-anak Prabu Malaki, Putri Kirna yang paling getol berlatih silat, dia tak sungkan berlatih dengan ketiga ibunya dan sesekali minta petunjuk ayahanda ini, sehingga walaupun usianya paling muda dibandingkan Pangeran Dipa dan Putri Delima, tapi kesaktiannya mel
“Hmm…baguslah kamu sudah sadar anak muda, luka yang kamu derita tak terlalu berbahaya, daya tahan tubuh kamu sangat kuat!” kakek tua perlente ini langsung bersuara saat melihat Sembara sudah sadar dan kini duduk.Sebagai anak muda yang tahu tata krama, di tambah selama setahunan ini jadi seorang siswa kerajaan, Sembara langsung menghormat lalu bersujud dan mengucapkan terima kasihnya karena sudah di tolong kakek ini.“Sudahlah, tak usah terlalu banyak tata krama, aku bosan jadi dengan hal-hal begitu, asal kamu tahu, itulah salah satu dulu alasan aku merantau dan melepas gelar pangeran di diriku, aku ingin bebas kemanapun aku suka!” sungut kakek itu dan kurang senang melihat gaya menghormat Sembara, yang dianggapnya menjilat itu.Melongo lah Sembara, tak dia sangka, kakek ini dulunya seorang pangeran dan memilih jadi seorang perantau, tak mau tinggal di Istana mewah, makin segan lah Sembara.“Maafkan hamba paduka…!” ceplos Sembara lagi. Kakek ini malah melotot di panggil paduka.“Sekal
“Kitab apa itu kek?” Sembara langsung tertarik dan kini menatap Kakek Manyan yang kembali menambah tembakaunya ke cerutu dari tulang gajah, lalu mengisapnya dengan sangat nikmat.“Aku beberapa waktu lalu mendengar, saat ini seluruh pendekar baik yang putih ataupun yang hitam sedang rame menuju ke wilayah Tenggara Pegunungan Meratus, katanya di sana tersembunyi sebuah kitab yang berisi pelajaran ilmu silat tinggi!” kali Kakek Manyan terlihat lebih santai.“Siapa pemilik kitab itu kek?” Sembara bertanya dengan hati-hati, dia benar-benar ngeri kalau kena marah melulu. “Aku juga tak tahu, tapi katanya kitab itu merupakan peninggalan Jaya Sembarana alias Pendekar Asmara…!”Kali ini hening sejenak, Kakek Manyan kembali menghisap cerutunya dengan nikmat. Kini hari sudah jelang senja, Kakek Manyan berdiri lalu menghidupkan pelita, lalu dia duduk kembali lesehan di hadapan Sembara.Kakek Manyan sudah bertahun-tahun hidup sendiri, entah mengapa semakin melihat wajah Sembara, dia makin suka, se
Sehingga saat Pangeran Manyan yang sudah gelap mata karena cinta, ketika masuk ke kamar Putri Rupa lewat jendela, kini sudah diketahui puluhan pendekar sakti yang langsung mengepungnya di taman rumah milik bangsawan ini, tak lama, setelah keluar dari kamar lewat jendela bersama Putri Rupa yang dia gendong.Pangeran Manyan kaget setengah mati, dia sudah di kurung dari segala penjuru puluhan pendekar sakti dengan pedang terhunus.Dan saat itu ia melihat paman nya yang paling dia segani, yakni Perwira Pangeran Parong (masih muda dan belum jadi Panglima, ayah dari Putri Galuh, istri ke 3 Prabu Malaki) juga terdapat di sana dan malah memimpin pengepungan ini.Pangeran Parong adalah adik ayahnya dari selir yang lain, secara trah dia kalah dengan Pangeran Parong, walaupun usia mereka hanya beda 3-4 tahunan.Ki Parong dan Pangeran Manyan sama-sama pernah berlatih silat pada seorang guru yang sakti, sehingga dia kaget, marah dan tentu saja tak berkutik saat berhadapan dengan pamannya ini.“Man
Paginya Sembara bangkit dari semedhinya, dia celingak-celinguk, karena Kakek Manyan tidak terlihat di depannya.Ia pun bangkit dan menuju teras, melihat sungai kecil yang berair jernih di depan pondok ini, Sembara merasa betah. Pemandangan sangat indah, ditiingkahi suara burung saling bercuitan dan sinar matahari pagi di sela-sela pepohonan besar.Tiba-tiba bak hantu saja karena tanpa bersuara, Kakek Manyan sudah datang lagi, dia melempar seekor kijang yang agaknya baru saja di bunuh kakek sakti ini.“Segera kuliti dan kita panggang, bumbu-bumbunya ada di pondok itu, aku lapar dari kemarin belum makan,” Sembara langsung mengangguk senang, karena dia juga sangat lapar.Saat makan Sembara senang sekali karena ada minuman kesukaannya, yakni arak manis, sehingga dobel sekali dia kenyangnya, daging kijang panjang yang besar mereka makan sambil ngobrol ngulur ngidul. “Jadi kamu kalah melawan si mantan selir Prabu Dipa, hmmm…masa kalah, malu sebagai lelaki kalah!” sungut Kakek Manyan kurang