Cukup dengan sentilan sedikit, Somo, Parhun dan Huki kini bergelimpangan di tanah dan mengaduh-ngaduh ke sakitan.Karena dengan lihainya Sembara menotok lengan mereka, dengan gerakan yang sangat cepat dan tak terlihat ke tiganya.Dulung kaget bukan main tiga rekannya jatuh dalam waktu yang sangat singkat, Dulung kini celingak-celinguk menunggu pengawalnya datang, Sembara yang hanya ingin memberi pelajaran sudah tahu kalau pengawal Dulung kini datang bersama dua orang lagi.Sembara langsung dikurung tiga orang ini, Sembara tenang-tenang saja.“Pukul…hajarrr!” teriak Dulung beri perintah pada tiga orang ini, sifat pengecutnya keluar dan tentunya keberaniannya hanyalah main keroyokan.“Tunggu dulu, aku tak punya salah pada kalian, kenapa kalian tiba-tiba ingin menghajarku,” Sembara menahan langkah ketiga orang yang baru datang ini, dan terlihat malah sudah mencabut golok.Ketiga orang ini saling pandang, namun saat melihat wajah Dulung mereka kembali menatap wajah Sembara dengan pandanga
Sembara kini pergi menggunakan kudanya, kuda yang selalu mengingatkan Sembara dengan Ranina, karena remaja cilik itulah yang dulu membelikan kuda jantan hitam ber strip putih ini.Sembara tak pernah berpikir jelek, dia yakin yang menulis surat itu benar Putri Emi, ditambah lagi Pakis menyakinkan dirinya.Sehingga tanpa berprasangka jelek menuju tempat yang ditulis Putri Emi. Sembara tiba saat matahari mulai condong ke barat, dia tidak menemukan Putri Emi, tapi dia menghibur hati, mungkin Putri Emi belum datang, karena dia terlalu cepat datangnya.Sembara membiarkan kuda nya jalan sendiri mencari makan di pinggiran hutan ini, ia menatap sungai yang lumayan deras, sungai yang dikatakan warga Hilir Sungai dengan sebutan Barito, selain luas juga sangat panjang alirannya. Saat itu terlihat lumayan deras dan dalam, karena saat ini lagi musim hujan.Setelah duduk di akar pohon besar di pinggir sungai itu, Sembara merenung sendiri dan minum arak yang sengaja dia bawa.Ingat kebiasaannya minum
Mata Sembara memerah, kini dia percaya ucapan Palasi, tapi kenyataan ini bak racun dalam hatinya, dia sangat marah dengan Palasi, tapi lebih marah lagi dengan Prabu Malaki.Tak dia sangka, seorang Maharaja yang dia kagumi sejak kecil dan terkenal bijaksana dan menyayangi rakyatnya, justru telah menyia-nyiakan ibunya, hingga ibunya jatuh dalam pelukan penjahat wanita ini.Dan dia sejak bayi malah dititipkan di padepokan mawar merah, lalu secara tak sengaja di tolong Si Gila, yang ternyata kakek kandungnya sendiri.“Jahat sekali kamu ternyata Prabu Malaki…selain menyia-nyiakan ibu dan aku, kamu juga membunuh ibundaku!” desis Sembara sambil menahan isaknya. Dan menyambut serangan dahsyat dari Palasi.Pendekar Baung sudah menerjang maju lagi, kini selain menerjang hebat, juga mengarahkan goloknya pada bagian berbahaya di tubuh Sembara.Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat. Kembali tubuh Sembara menyelinap dan menghindar dari serangan Pendekar Baung ini.Saat
“Hmmm bagus, ingat keberadaanku jangan sampai ada yang tahu, kamu dan tiga sahabatmu ini kalau sampai membocorkan, ku penggal kepala kalian!” Dulung, Somi, Parhun dan Huki langsung mengangguk paham, ancaman Palasi ngeri-ngeri sedap bagi mereka.Tanpa membuang waktu, Dulung mengajak Pendekar Baung ke pesanggrahan milik ayahnya. Semenjak saat itu Pendekar Baung bersembunyi di sana, dia juga tak kekurangan uang, hoby nya pelesir tersalur dengan baik, karena semua di jamin Dulung. Pendekar Baung tak lagi mencuri uang, karena dia ngeri sendiri, penjagaan di Ibukota Bajama sangat ketat, juga sangat banyak orang sakti.Pendekar Baung menepati janjinya, dia melatih Dulung dan tiga rekannya ilmu silat, ternyata yang berbakat hanya Dulung, tapi ketiga sahabatnya yang juga anak buahnya tak berkecil hati, mereka tetap ikut latihan.Pandekar Baung juga sering mengajak Dulung cs pelesir, sehingga kenakalan Dulung kini bak fotocopi Pendekar Baung. Tapi hanya 3 bulan, Pendekar Baung lalu pamit ke Du
Sepanjang jalan Prabu Malaki bertanya bagaimana bisa Sembara bisa kenal dengan Dusman dan keluarganya.Jenderal Dusman pun menceritakan semuanya, termasuk ketika mereka bertemu Putri Remi yang sempat bertarung dengan Sembara dan anaknya Dalman.“Hmmm…Putri Remi….jadi Sembara sekarang sudah besar dan usianya kini 15 tahunan?”“Betul paduka, tinggi badannya bahkan hampir sama dengan hamba, walaupun badannya agak kurus, tapi sangat kokoh, karena dia mewarisi kesaktian kakeknya Si Gila!”Dusman kini mengisahkan profil badan Sembara yang tampan dan sangat mirip Prabu Malaki saat muda, termasuk istrinya yang sempat curiga dengan sosok Sembara tersebut, karena ada kemiripan yang terlihat dari wajah Sembara.Begitu tiba di sekolah kerajaan, seluruh guru dan juga Ki Jaman yang kaget dengan kunjungan sang maharaja yang tak disangka-sangka ini, terlebih diiringi Jenderal Dusman ini, Ki Jaman pun secara tergesa-gesa melakukan penyambutan.“Ki Jaman…di mana Sembara!” Ki Jaman langsung kaget, karen
Namun Prabu Malaki akhirnya menarik nafas lega, tak terlihat sama sekali sifat jelek itu di wajah putranya ini. Prabu Malaki lalu menatap ketiga istrinya, Putri Kirana, Tengku Mimi dan Putri Galuh, juga dua adik Pangeran Dipa, Putri Delima dan Putri Kirna, umur mereka bertiga hanya selisih bulan.“Itulah yang menyesakan hatiku…Sembara dikatakan sudah tewas tenggelam di Sungai Barito, setelah di bokong Sohail, musuh lama aku dulu, yang katanya berkomplot dengan Palasi untuk mengeroyoknya di sebuah hutan pinggir kota,” suara Prabu Malaki agak bergetar, tanda sangat berduka Sembara yang dikiranya tewas.“Kalau aku sudah besar, aku akan membalaskan kematian kakanda Sembara!” sela Putri Kirna, hingga mengagetkan semuanya.Dari tiga anak-anak Prabu Malaki, Putri Kirna yang paling getol berlatih silat, dia tak sungkan berlatih dengan ketiga ibunya dan sesekali minta petunjuk ayahanda ini, sehingga walaupun usianya paling muda dibandingkan Pangeran Dipa dan Putri Delima, tapi kesaktiannya mel
“Hmm…baguslah kamu sudah sadar anak muda, luka yang kamu derita tak terlalu berbahaya, daya tahan tubuh kamu sangat kuat!” kakek tua perlente ini langsung bersuara saat melihat Sembara sudah sadar dan kini duduk.Sebagai anak muda yang tahu tata krama, di tambah selama setahunan ini jadi seorang siswa kerajaan, Sembara langsung menghormat lalu bersujud dan mengucapkan terima kasihnya karena sudah di tolong kakek ini.“Sudahlah, tak usah terlalu banyak tata krama, aku bosan jadi dengan hal-hal begitu, asal kamu tahu, itulah salah satu dulu alasan aku merantau dan melepas gelar pangeran di diriku, aku ingin bebas kemanapun aku suka!” sungut kakek itu dan kurang senang melihat gaya menghormat Sembara, yang dianggapnya menjilat itu.Melongo lah Sembara, tak dia sangka, kakek ini dulunya seorang pangeran dan memilih jadi seorang perantau, tak mau tinggal di Istana mewah, makin segan lah Sembara.“Maafkan hamba paduka…!” ceplos Sembara lagi. Kakek ini malah melotot di panggil paduka.“Sekal
“Kitab apa itu kek?” Sembara langsung tertarik dan kini menatap Kakek Manyan yang kembali menambah tembakaunya ke cerutu dari tulang gajah, lalu mengisapnya dengan sangat nikmat.“Aku beberapa waktu lalu mendengar, saat ini seluruh pendekar baik yang putih ataupun yang hitam sedang rame menuju ke wilayah Tenggara Pegunungan Meratus, katanya di sana tersembunyi sebuah kitab yang berisi pelajaran ilmu silat tinggi!” kali Kakek Manyan terlihat lebih santai.“Siapa pemilik kitab itu kek?” Sembara bertanya dengan hati-hati, dia benar-benar ngeri kalau kena marah melulu. “Aku juga tak tahu, tapi katanya kitab itu merupakan peninggalan Jaya Sembarana alias Pendekar Asmara…!”Kali ini hening sejenak, Kakek Manyan kembali menghisap cerutunya dengan nikmat. Kini hari sudah jelang senja, Kakek Manyan berdiri lalu menghidupkan pelita, lalu dia duduk kembali lesehan di hadapan Sembara.Kakek Manyan sudah bertahun-tahun hidup sendiri, entah mengapa semakin melihat wajah Sembara, dia makin suka, se