Dalam malam yang pekat dan diselimuti kabut, terdapat segerombolan orang berpakaian serba hitam. Wajah dan kepala mereka tertutup, hanya menyisakan mata yang tampak tajam mengintai dan siap untuk melakukan penyerangan ke desa di bawah bukit tempat mereka sekarang berdiri.
Tampak pemimpin dari gerombolan tersebut memberikan isyarat dengan mengangkat tangan kirinya dan menggerak-gerakkan jari telunjuknya ke arah desa tempat Sekte Teratai Putih berada. Dengan sigap semua pasukan bergerak melompat dari pohon ke pohon menuju desa tersebut. Mereka berubah menjadi serigala yang sangat besar.
"Suara apa itu?" Dari dalam rumah, Patriark Yong Yuwen yang merupakan pendiri Sekte Teratai Putih, terbangun dari tidurnya karena mendengar ada pergerakan dari arah bukit. Ia pun bersicepat membangunkan istrinya dan memintanya untuk membawa anak mereka bergegas masuk ke ruangan bawah tanah.
Dengan tatapan nanar istrinya mengangguk. Ia tahu benar bahwa perintah untuk bersembunyi ke ruang bawah tanah hanya diberikan jika situasinya sangat berbahaya. Namun, perempuan itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia langsung menggendong anaknya yang masih tertidur pulas di punggungnya.
Melihat istri dan anaknya sudah masuk ke ruang bawah tanah, Patriark Yong Yuwen memberikan isyarat kepada semua anggota Sekte Teratai Putih dengan kekuatan telepati yang dimilikinya. Ia memukulkan gagang pedangnya ke tiang penyangga rumah. Getarannya menjadi tanda untuk seluruh warga desa bahwa ada bahaya yang mengintai keselamatan mereka.
Desa Jinchang memang terkenal sebagai markas para pendekar pedang. Semua penduduk merupakan anggota Sekte Teratai Putih. Setidaknya mereka menguasai sejumlah ilmu pedang yang tertulis dalam Kitab Api Bertuah, yakni sebuah kitab keramat yang bisa membuat seseorang menjadi pendekar pedang tiada tandingan.
Dalam sekejap, isyarat yang dikirimkan Patriark Yong Yuwen telah menyebar ke seluruh rumah warga Jinchang. Kini para warga bergegas bangun dan mengambil pedang masing-masing. Sebagaimana yang dilakukan oleh Patriark Yong Yuwen, mereka pun menyuruh anak dan istri mereka pergi ke ruang bawah tanah masing-masing untuk berlindung.
"Aau ...."
"Aau ...."
Suara lolongan serigala yang bersahut-sahutan dari arah bukit, membuat malam yang pekat menjadi semakin mencekam. Para warga Jinchang pun meningkatkan kewaspadaan.
Angin kencang berkali-kali berhembus. Lompatan kaki dari makhluk yang sangat besar juga terdengar dari arah bukit menuju ke desa secara berbondong-bondong hingga menggoyangkan pepohonan.
Suara-suara aneh yang mencurigakan itu semakin lama semakin mendekat. Para warga yang masih berada di dalam rumah pun bungkam, tidak berani bicara, apa lagi menyalakan obor rumah mereka. Mereka hanya melakukan pergerakan perlahan menuju pintu rumah saja.
"Argh ... " lenguh panjang serigala kesakitan. Bugh! Tak lama berselang, serigala itu pun terjatuh dari atas pohon dengan sangat keras.
Ternyata secepat kilat Patriark Yong Yuwen sudah melakukan penyerangan terhadap salah satu manusia serigala. Dengan jurus teleportasi yang dimilik, sekejap saja Patriark Yong Yuwen mampu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa terlihat. Bahkan kecepatannya lebih cepat dari kedipan mata. Patriark Yong Yuwen telah menebaskan pedangnya tepat di leher manusia serigala.
Mengetahui hal itu, manusia serigala lainnya pun terkejut dan menghentikan pergerakan. Mereka menyadari adanya serangan yang dilakukan secara diam-diam.
"Aau ...."
Pemimpin manusia serigala melolong. Hal itu seolah menjadi tanda kewaspadaan atas sosok yang menyelinap di antara mereka, yang membuat satu anak buahnya tewas terkapar. Pemimpin rombongan manusia serigala lantas menggunakan salah satu jurus andalannya, yakni jurus Perisai Bulu Emas, yang juga diikuti oleh anak buahnya. Dengan jurus tersebut, bulu mereka bisa memanjang hingga menyelimuti tubuh dengan warna kuning keemasan. Kini, tubuh para manusia serigala terlihat menyala di tengah kegelapan.
"Aku harus waspada," batin Patriark Yong Yuwen melihat perubahan yang terjadi pada bulu manusia serigala. Secepat kilat ia segera melakukan penyerangan. Patriark Yong Yuwen berusaha menebaskan kembali pedangnya ke salah satu manusia serigala. Akan tetapi, ia dibuat kaget lantaran pedangnya sama sekali tidak mampu memotong sehelai bulu lawan.
Patriark Yong Yuwen mencobanya lagi dan lagi, tetapi hasilnya tetap nihil. Tidak ada satu pun di antara manusia serigala itu yang terluka.
Meskipun demikian, tidak lantas membuat rombongan manusia serigala memenangkan pertarungan begitu saja. Mereka bahkan kesulitan untuk bisa menyerang Patriark Yong Yuwen yang bergerak sangat cepat.
Berkali-kali manusia serigala mencoba melawan dengan cakarnya yang tajam. Mereka juga melemparkan jarum-jarum emas yang terbentuk dari bulu emas mereka. Namun, tetap saja Patriark Yong Yuwen bisa leluasa bergerak ke sana ke mari untuk menghindar sembari menangkis serangan dengan pedangnya.
"Kurang ajar!" umpat pemimpin manusia serigala. Butuh waktu cukup lama baginya untuk bisa memberikan serangan yang tepat pada Patriark Yong Yuwen. Sampai akhirnya ia memilih untuk fokus menghentikan pergerakan Patriark Yong Yuwen lebih dulu. Pemimpin manusia serigala menggunakan terkaman dan cengkeraman cakarnya yang kuat dan tajam.
Begitu mendengar adanya keributan di atas bukit, satu per satu orang-orang di Desa Jinchang bergegas menuju tempat Patriark Yong Yuwen bertarung melawan manusia serigala. Lantas, dengan cepat mereka pun turut melawan kawanan manusia serigala yang hendak menyerang desa mereka.
Mengetahui ketua sekaligus guru mereka sudah berada dalam bahaya, para warga pun langsung menyerang manusia serigala itu secara bertubi-tubi. Akan tetapi, tentu saja serangan mereka itu percuma belaka. Mereka sama sekali tidak dapat melukai manusia serigala atau sekadar melepaskan cengkeraman dari Patriark Yong Yuwen.
Berkali-kali Patriark Yong Yuwen mencoba menggunakan jurus teleportasinya supaya bisa berpindah ke tempat lain dan terbebas dari belenggu musuh. Namun, selalu gagal.
"Tidak ada cara lain!" ucap Patriark Yong Yuwen.
Pada akhirnya situasi yang mendesak, membuat Patriark Yong Yuwen menggunakan Jurus Pedang Dewa. Seketika itu pula muncul ledakan yang sangat keras dan melukai tangan manusia serigala yang mencengkeramannya. Bahkan kedahsyatan dari ledakan itu sampai membuat manusia serigala terpental cukup jauh dari posisinya semula. "Aau ...." Lolongan pemimpin kawanan manusia serigala terdengar lagi, bermaksud untuk membakar semangat dari anak buahnya supaya terus bertempur hingga mendapatkan apa yang diinginkan. Secara bersahut-sahutan anak buahnya pun turut melolong dengan keras. Dengan cepat kawanan manusia serigala mencoba memberikan serangan balik pada orang-orang dari Sekte Teratai Putih. Kuku-kuku tajam mereka siap untuk mencabik-cabik daging. Mulut mereka pun terbuka lebar dengan dipenuh gigi-gigi runcing dan taring yang siap untuk ditancapkan ke leher orang-orang Sekte Teratai Putih. Para manusia serigala itu menyerang secara membabi-buta.
"Kenapa Tetua Li?" sahut seorang anggota yang merasa apa yang diusulkan Dong Wei sudah tepat. "Kita semua tahu seberapa besar keinginan Sekte Iblis Neraka untuk memiliki Kitab Naga Bertuah. Jika kita mendatangi mereka untuk mengemis bantuan, sudah pasti mereka akan menertawakan kita. Bukannya membantu, mereka malah akan menghina kita karena telah berani mencoba mendapatkan kitab pusaka yang bahkan tidak bisa mereka dapatkan," kata Tetua Li memaparkan alasannya. Mendengar penjelasan sang tetua, beberapa anggota Sekte Taring Setan yang menghadiri pertemuan itu mengangguk setuju. Mereka membenarkan pendapat Tetua Li dan mulai berpikir kalau meminta bantuan pada Sekte Iblis Neraka bukanlah solusi yang tepat. Kondisi malam itu pun mendadak menjadi tegang dan gaduh. Orang-orang yang sama-sama menyimpan amarah itu berselisih, antara yang mendukung Dong Wei dengan yang membenarkan pendapat Tetua Li. "Cukup!" tegur Dong Wei tidak senang melihat anggotanya ribu
Semua pasang mata yang ada di ruang pertemuan menatap tajam ke arah orang asing yang sepertinya berasal dari golongan bangsawan itu. Lelaki tersebut memiliki perawakan yang tinggi dan tegap dengan pakaian khas orang kerajaan yang didominasi warna emas. Dari caranya masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk atau membuka pintu, mendadak muncul begitu saja tanpa ada satu pun orang yang tahu dari mana, jelas menunjukkan bahwa ia bukan orang sembarangan. "Siapa kau berani masuk ke sini tanpa izin?" bentak Dong Wei sambil berdiri. "Tenang. Aku datang membawa kabar baik untuk kalian," jawab orang asing itu sambil berjalan santai ke arah sebuah kursi. Tanpa ragu lelaki itu langsung duduk sebelum dipersilakan. Tidak ada gurat takut sedikit pun di wajahnya. Bahkan ia terkesan sedang menantang orang-orang yang ada di dalam ruangan dengan memandang mereka satu per satu. Tak ayal tingkah lelaki asing yang begitu congkak dan tidak tahu sopan santun itu membuat ta
"Mudah sekali! Setelah Sekte Teratai Putih disingkirkan, kalian harus membantuku naik tahta. Melengserkan kaisar yang sekarang," ujar Long Feng tanpa basa-basi lagi. Sudah barang tentu jika permintaan Long Feng membuat para anggota Aliansi Jing Quo mengumpat dalam batin. Ternyata memang benar, Long Feng datang hanya untuk menjadikan mereka boneka demi bisa merebut kekuasaan dari Kaisar Han Chen. Mereka pun hanya diam dengan darah mendidih. Tidak memberikan tanggapan mengingat ini adalah satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk mengetahui kelemahan Sekte Teratai Putih. Jika mereka menolak begitu saja, sampai kiamat pun mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan Patriark Yong Yuwen dan para penduduk Jinchang. Akan tetapi, tidak mungkin pula mereka mengiyakan syarat yang diberikan Long Feng. Masalahnya, syarat tersebut bertentangan dengan hasil diskusi yang sudah disepakati oleh Aliansi Jing Quo. Mereka sudah memutuskan bahwa Wang Weo yang akan menjadi kaisar ji
Dong Wei menggeleng pelan. Ia masih tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Dengan nada protes ia berkata, "Ketua Wang, semes--" "Simpan pedangmu! Tidak seharusnya kau bersikap lancang pada Panglima Long Feng," bentak Wang Weo memotong perkataan Dong Wei. Kedua matanya melotot. Membuat Dong Wei terintimidasi atas kewibawaannya. Anggota sekaligus temannya itu pun memasukkan kembali pedangnya. Wang Weo mendongakkan kepala dan merentangkan kedua tangannya yang terkepal. Lalu ia meletakkan tangan kanannya di dada dan tangan kirinya di perut. Seketika itu pula, sebuah pedang muncul. Dengan penuh hormat, Wang Weo menyodorkan pedang itu pada Long Feng dan berkata, "Panglima, terimalah pedang ini sebagai jaminan atas kesetiaan kami padamu." Para anggota Aliansi Jing Quo langsung lemas atas apa yang mereka lihat. Mereka tahu, pedang itu telah menewaskan ratusan pendekar. Jika Wang Weo memberikan pedangnya, bagaimana bisa mereka melawan Long Feng? Sementara
Sudah barang tentu jika pernyataan Long Feng kali ini berhasil menghapus kerut di kening semua orang. Kekesalan mereka digantikan dengan terbitnya senyuman. Mereka tidak pernah menduga kalau ada masanya kekuatan Sekte Teratai Putih yang mengerikan itu bisa menghilang. Maka, setelah mengetahui kelemahan sekte terkuat di wilayah Haidong, para anggota Aliansi Jing Quo pun bergegas membuat rencana penyerangan. Hampir semua anggota aktif memberikan usulan. “Orang-orangku yang akan berada di barisan paling depan untuk membombardir Desa Jinchang dengan duri-duri tajam mematikan!” ungkap Dong Wei bersemangat. Ia sangat yakin pada kemampuan para anggota sektenya. Lebih-lebih dengan jurus Perisai Bulu Emas yang dimiliki, tidak akan mungkin orang-orang Jinchang mampu memotong bulu mereka jika hanya menggunakan pedang biasa. "Ketua Wang, aku dan seluruh anggota Golok Beracun akan siap ditempatkan di mana pun. Aku bahkan sudah tidak sabar ingin memenggal kepala Patr
Semua anggota Aliansi Jing Quo sudah berlatih dengan keras menyiapkan penyerangan. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang telah ada di depan mata. Sementara itu, persiapan yang matang juga telah dilakukan oleh Long Feng. Permintaannya pada Kaisar Han Chen beberapa waktu lalu telah dikabulkan. Maka, dengan sebuah gulungan berwarna keemasan yang berisi titah kaisar, ia bersama seluruh prajurit yang berasal dari Sekte Teratai Putih, kembali ke Jinchang. Benar, dengan dalih demi keamanan nyawa para prajurit, Long Feng meminta kaisar untuk memberikan cuti satu hari, tepat pada hari di mana gerhana bulan total akan terjadi. Sebagai gantinya, para pendekar terpilih dari sekte aliran putih membantu mengamankan istana bersama para prajurit yang ada. 'Aku harus mengucapkan salam perpisahan pada orang tua terkutuk itu,' gumam Long Feng dalam benaknya. Ia menghentikan langkahnya di depan kediaman orang tuanya. Long Feng menatap lekat-lekat tem
"Chen'er, cepat masuk!" perintah seorang lelaki paruh baya pada seorang bocah yang sedang bermain di halaman rumah. Melihat raut wajah lelaki di hadapannya, bocah itu pun mengangguk tanpa membantah atau sekadar bertanya. "Baik, Ayah!" ucapnya, lalu memberi hormat sebelum masuk ke dalam rumah. Patriark Yong Yuwen mendongak, memandang bulan yang bundar sempurna. Ia menghela napas panjang, berharap sesak di dadanya melebur dan hilang bersama embus angin. 'Bukankah malam ini terlalu indah untuk dilewatkan dengan bersembunyi?' batinnya. Bukan tanpa alasan Patriark Yong Yuwen tampak begitu gusar. Firasatnya mengatakan, hal buruk akan terjadi. Bukan hanya padanya, melainkan juga pada seluruh anggota Sekte Teratai Putih di Jinchang. "Petaka apa yang sebenarnya akan menimpa kami?" desisnya lirih. "Apa kau masih cemas?" Sebuah suara lembut membuat Patriark Yong Yuwen menoleh ke belakang. Lelaki itu tersenyum hangat pada perempuan bermata coklat yang mulai muncu
Saat Chen Wuji mendapat gilirannya, Wang Shixian kian rajin merapal doa supaya pemuda itu gagal. Dia bahkan sampai memejamkan mata sebab terlalu takut untuk menyaksikan kebenaran.Wang Weo pun tersenyum melihat putrinya demikian. Sayangnya, apa yang dia pikirkan tentang Wang Shixian justru berbanding terbalik dengan yang sebenarnya.Tepat sekali, sang kaisar tersenyum lantaran berpikir kalau gadis itu menyimpan perasaan istimewa untuk Chen Wuji. Hal itu membuat Wang Weo memberikan penilaian lebih pada pengawal baru putrinya itu."Berhasil!"Seketika itu pula Wang Weo bertepuk tangan selagi kerutan memenuhi dahi putrinya. Dia tampak sangat senang melihat 'jagoannya' mampu menyelesaikan tantangan kedua dengan sempurna."Dia benar-benar pemuda yang unggul. Tidak hanya ahli panah, tetapi juga sangat kuat. Bukankah dia lelaki yang sempurna untuk menikah denganmu, Putri?"Wang Shixian menoleh pada sang ayah untuk memberikan tatapan mengintimidasi. Dengan suara rendah saja dia berkata, "Yang
Semua orang menatap batu Yangtze dengan mata terbuka lebar. Benak mereka pasti sibuk membayangkan, apakah mampu mengangkat batu sebesar itu?Jangankan mengangkat, menggesernya saja tampak sulit.Beberapa di antara peserta itu juga tampak sangat tegang. Mereka mungkin membayangkan, apa jadinya jika mereka mampu mengangkat tetapi tidak kuat menahan batu dengan kedua tangan?Mereka bisa mati konyol tertimba batu!"Baiklah, supaya aturan dari ujian kedua ini lebih jelas, aku sampaikan hal yang perlu kalian perhatikan. Pertama, kalian harus mengangkat Yangtze dengan tangan kosong, seperti yang telah aku katakan di awal tadi. Kedua, kalian harus mengangkat batu setelah hitungan ketiga. Ketiga, batu harus terangkat di atas kepala dengan kedua tangan selama lima ketukan."Pernyataan ketiga dari Wang Shixian membuat para peserta dengan refleks menelan ludah. Lima ketukan jelas akan terasa sangat berat untuk dilakukan. Jangankan lima ketukan, satu ketukan saja perlu usaha yang sangat keras."Ji
Tidak seperti hari kemarin, pagi ini wajah Wang Shixian tampak berseri. Senyumnya tidak turun sedikit pun akibat kebahagiaan yang tidak terkalimatkan. "Xian'er, sepertinya kau terlihat sangat senang hari ini." Wang Weo tersenyum lebar melihat sang putri begitu bersemangat."Tentu saja, Ayah. Aku tidak mengira jika mengadakan sayembara akan terasa sesenang ini. Rasanya sudah tidak sabar ingin menyampaikan tantangan berikutnya pada mereka." Wang Shixian menyesap tehnya dengan penuh kenikmatan. Padahal, apa yang dia sampaikan pada sang ayah tidak sepenuhnya benar. Faktanya, dia menjadi sangat senang setelah mendengar jawaban Genjo Li atas pertanyaan yang dikirimkan melalui Mingyue. Jawaban manis itu membuatnya menjadi begitu ingin bertemu dengan Genjo Li. Jika saja hubungan keduanya telah diketahui khalayak ramai, Wang Shixian bahkan tidak akan berpikir dua kali untuk memeluk sang kekasih di depan semua orang.Sayang sekali karena dia masih harus bersabar."Jadi, apa tantangan berikutn
"Benarkah Tuan Putri?!"Wang Shixian mengangguk tanpa menoleh pada pelayannya. Dia tampak sibuk dengan kuas di tangannya, menulis karakter demi karakter di atas kertas putih. "Ta-tapi ... bagaimana caranya Tuan Li bisa tiba di istana secepat itu, Tuan Putri? Maksudku, itu sangat ... ajaib. Sangat mengejutkan." Meski Mingyue merasa sangat senang sekaligus lega karena lelaki yang dicintai majikannya tidak terlambat untuk mengikuti sayembara dan bahkan mampu lolos di tahap pertama, dia tetap merasa sulit untuk percaya. Pasalnya, secepat apa pun Genjo Li berlari, bahkan meski menunggangi kuda sekalipun, tidak akan bisa mengejar keterlambatan."Mulai sekarang, persiapkan dirimu untuk terkejut. Percayalah, lelaki yang aku cintai itu bukan sembarang." Wang Shixian tersenyum lebar sambil melipat kertas dan memasukkannya ke dalam amplop cokelat."Si-siapa dia sebenarnya Tuan Putri?""Waktu akan menjawabnya. Kau pasti akan sangat terkejut. Sudah, sekali juga antarkan surat ini pada Kakak Li. P
Genjo Li hanya diam dan tersenyum tipis, tetapi daripada membalas tatapan lelaki yang mengejeknya, dia lebih memilih untuk membuang pandangan ke tanah, seolah tanah yang dia injak bahkan lebih layak untuk dipandang. Sebagai seorang yang sepertinya berasal dari kalangan terpelajar, lelaki di hadapan Genjo Li pun mendengkus kesal lantaran lawan bicaranya tidak mau melihatnya. "Karena persik itu belum tentu jatuh karena panahmu, menepilah. Kau masih bisa melihat sayembara ini.""Tunggu!"'Chen Wuji? Untuk apa dia ikut campur?!' desis Wang Shixian curiga. Tentu saja sudah sejak tadi dia ingin membela kekasihnya. Tidak peduli persik itu jatuh karena panah Genjo Li ataupun karena telah masak, yang dia pikirkan hanyalah, sang kekasih harus bisa lolos dalam tantang pertama itu.Melihat Chen Wuji angkat bicara, sudah pasti membuat hati Wang Shixian kian panas saja. Dia sangat yakin jika lelaki itu akan mendukung peserta yang ingin menyingkirkan Genjo Li. Tentu saja dengan cara yang sangat mem
"Semua gagal!" teriak prajurit yang memimpin jalannya sayembara.Seketika itu pula Wang Shixian berusaha keras untuk tidak pingsan. 'Apa katanya? Semua gagal? Kakak Li gagal? Kekasihku gagal?!' batin perempuan itu tidak berhenti bertanya karena tidak percaya selagi kedua matanya masih terkatup, kian rapat.Wang Shixian tidak berani membuka matanya untuk melihat kenyataan yang terjadi. Dia bahkan tidak berhenti menyalahkan diri sendiri karena memilih tantangan sesulit itu di tahap awal hingga membuat kekasihnya gugur begitu saja.Mulanya dia berpikir pelayan kedai itu adalah seorang ahli panah karena Genjo Li mampu memanah para pembunuh bayaran itu dengan tepat dari jarak yang jauh dalam keadaan gelap ketika menyamar menjadi Pendekar Bertopeng. Namun, ternyata ...Sungguh, jika bukan karena ingin menjaga perasaan sang ayah, perempuan itu akan nekat memanah dirinya sendiri. 'Lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak dicintai!' Begitulah yang ada di dalam benak Wang Shixia
Tantangan memanah yang harus dilakukan para peserta lomba bukanlah sekadar memanah biasa, melainkan memanah yang akan memerlukan kemampuan tingkat tinggi. Peserta dengan kemampuan memanah pas-pasan atau biasa saja, akan sulit untuk lolos dalam tantangan pertama ini. "Kalian harus memanah dari jarak 10 meter." Beberapa lelaki tersenyum mendengar ucapan sang putri. Mereka merasa cukup mampu untuk melewatinya. "Sekarang, berbaliklah," perintah Wang Shixian. Para peserta sayembara serentak balik badan. Di hadapan mereka kini terlihat pohon-pohon persik yang tingginya sekitar 8-10 meter. Banyaknya pohon persik di lahan itu membuatnya tampak seperti kebun buah persik. "Aku suka sekali buah persik. Oleh sebab itu, aku meminta kalian memetiknya untukku. Bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan memanahnya." Sontak saja para peserta terkejut hingga tanpa sadar mulut mereka terbuka dengan sendirinya. Tadi Putri Wang mengatakan bahwa mereka harus memanah dari jarak 10 meter. Dan sekarang
Para peserta sayembara telah berkumpul di halaman belakang istana. Bisa dilihat betapa besar antusiasme masyarakat atas kompetisi untuk mencari lelaki terbaik yang akan menjadi suami untuk sang putri itu. Lapangan yang luas bahkan terlihat penuh oleh mereka.Pada mulanya para lelaki itu saling berbicara dengan orang-orang yang berada di sekitar hingga kemudian kedatangan Wang Weo dan putrinya membuat mereka diam seketika. Sebagai pihak yang mengadakan sayembara, Wang Weo memang sengaja hadir untuk membuka kompetisi itu. Dia memberikan kalimat penyemangat sekaligus peringatan bahwa sayembara itu tidak akan mudah."Aku pastikan hanya lelaki terpilih yang bisa lolos dan menjadi menantuku."Mendengar kalimat terakhir sang kaisar ada perbedaan yang dirasakan para peserta. Banyak di antara mereka yang menjadi lebih bersemangat untuk memenangkan perlombaan. Namun tidak sedikit pula yang merasa takut. Tentu mereka tidak akan lupa, biar bagaimanapun lelaki yang menjadi ayah dari 'hadiah' peme
Pintu gerbang depan istana Haidong telah ditutup rapat ketika matahari berada di atas kepala. Tidak sedikit lelaki yang harus gigit jari karena datang terlambat untuk mendaftarkan diri dalam sayembara. Seperti belum rela dengan kenyataan pahit itu, mereka bahkan masih berdiri dengan tubuh menempel pada gerbang demi melihat para lelaki yang mendaftar di detik-detik terakhir tetapi tidak memiliki nasib seburuk mereka.Meski seandainya mereka berhasil terdaftar sebagai peserta sayembara, belum tentu juga berhasil memenangkannya, setidak-tidaknya mereka telah mencoba. Dan sekarang, apa boleh buat? Bahkan kesempatan untuk menjadi peserta saja sudah tidak mereka miliki.Seorang lelaki yang berada di barisan paling akhir tampak menatap lekat ke arah gerbang. Sepertinya dia sedang mengamati orang-orang yang telah gugur bahkan sebelum mereka terjun ke arena pertempuran.'Jika saja Junsi tidak mengingatkanku, pasti kini aku berada di antara lelaki itu.'Tepat sekali, pria yang memandang ke arah