"Mudah sekali! Setelah Sekte Teratai Putih disingkirkan, kalian harus membantuku naik tahta. Melengserkan kaisar yang sekarang," ujar Long Feng tanpa basa-basi lagi.
Sudah barang tentu jika permintaan Long Feng membuat para anggota Aliansi Jing Quo mengumpat dalam batin. Ternyata memang benar, Long Feng datang hanya untuk menjadikan mereka boneka demi bisa merebut kekuasaan dari Kaisar Han Chen.
Mereka pun hanya diam dengan darah mendidih. Tidak memberikan tanggapan mengingat ini adalah satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk mengetahui kelemahan Sekte Teratai Putih. Jika mereka menolak begitu saja, sampai kiamat pun mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan Patriark Yong Yuwen dan para penduduk Jinchang. Akan tetapi, tidak mungkin pula mereka mengiyakan syarat yang diberikan Long Feng.
Masalahnya, syarat tersebut bertentangan dengan hasil diskusi yang sudah disepakati oleh Aliansi Jing Quo. Mereka sudah memutuskan bahwa Wang Weo yang akan menjadi kaisar jika Sekte Teratai Putih berhasil dimusnahkan dan tahta Kaisar Han Chen berhasil direbut.
Pada akhirnya setelah beberapa lama mereka bungkam menunggu sang ketua yang tidak kunjung angkat bicara, semua mata langsung mengarah pada Wang Weo. Mendesaknya untuk lekas memberikan tanggapan.
"Jika itu syaratnya, kami akan membantu Panglima melengserkan Kaisar Han Chen dan menjadikan Panglima sebagai pemimpin baru di Haidong!" jawab Wang Weo dengan senyum pelit.
Sontak saja hal itu membuat semua anggota Aliansi Jing Quo terheran-heran. Beberapa orang saling berbisik, bergumam perihal keputusan Wang Weo yang dinilai sepihak dan mengingkari keputusan bersama. Pikir mereka, semestinya Wang Weo meminta pendapat mereka terlebih dahulu.
Dong Wei menggeleng tidak percaya. Wang Weo yang selama ini ia kenal bukanlah pendekar yang mudah ditakhlukkan. Di samping itu, meskipun Wang Weo begitu tega menghabisi siapa pun yang melawannya, Dong Wei tahu pasti bahwa lelaki itu tidak akan mengingkari keputusan yang telah ditetapkan.
Kalaupun ini karena Long Feng memiliki kunci untuk mengalahkan Sekte Teratai Putih, setidaknya tindakan tegas bisa dilakukan. Mereka bisa menyerang lelaki itu bersama-sama dan memaksanya untuk mengungkapkan yang sebenarnya.
"Ketua Wang, apa yang kau lakukan? Sekteku bergabung dengan aliansi ini bukan untuk berada di bawah kendali lelaki itu! Kau tidak lupa pada rencana dan kesepakatan kita, 'kan?" protes Dong Wei yang berdiri dengan kedua tangan mengepal kuat. Kedua matanya juga membulat sempurna.
"Benar, lelaki ini tidak benar-benar berniat membantu kita. Dia hanya ingin memanfaatkan kita, Ketua Wang!" imbuh Ju Shen.
"Cukup! Saya sudah memutuskan!" pekik Wang Weo membuat orang-orang di dalam ruangan itu diam. Mereka menunggu keputusan apa yang diambil sang ketua. "Aliansi Jing Quo akan membantu Panglima Long Feng naik tahta. Setelah Sekte Teratai Putih lenyap, kita akan melakukan pemberontakan," tegas Wang Weo dengan suara berat dan menggelegar.
Wajah anggota Aliansi Jing Quo menjadi masam. Tapi Wang Weo telah memutuskan. Sebagai anggota, mereka mencoba untuk menerima putusan itu. Jika ternyata di kemudian hari aliansi itu tidak mendatangkan manfaat bagi sekte mereka, para anggota itu sepakat dalam hati, akan hengkang secepatnya.
"Bagus! Karena kalian telah setuju dengan syarat yang kuajukan, aku akan membocorkan apa yang menjadi rahasia dari Sekte Teratai Putih!"
Semua tutup mulut dan menanti Long Feng menyampaikan apa yang menjadi kelemahan Sekte Teratai Putih. Rasa-rasanya mereka sudah tidak sabar untuk mendengarnya.
"Tapi, bagaimana aku bisa percaya kalau kalian tidak akan mengkhianatiku? Aku tidak mau menggali kuburku sendiri. Bisa saja kalian membunuhku setelah aku menerangkan kelemahan dari Sekte Teratai Putih," ujar Long Feng menebak dengan benar pikiran Wang Weo.
Satu-satunya alasan Wang Weo bersikap hormat pada Long Feng dan setuju atas syarat yang diajukan adalah karena ia akan melenyapkan panglima itu setelah mengetahui celah untuk mengalahkan Patriark Yong Yuwen dan seluruh penduduk Jinchang. Dengan begitu, ia tetap akan naik tahta menggantikan Kaisar Han Chen.
"Lalu?" ucap Wang Weo menyimpan geram.
"Berikan aku pedangmu sebagai jaminan." jawab Long Feng membalas tatapan tajam Wang Weo.
Pedang yang diminta Long Feng sebagai jaminan itu adalah pusaka andalan dari Wang Weo, yang bernama Pedang Dewa Iblis. Pedang tersebut ia dapatkan setelah berhasil membunuh sang guru.
Pedang Dewa Iblis tersimpan di dalam tubuh Wang Weo dan akan muncul jika dikehendaki. Dengan pedang itu, Wang Weo bisa memanggil iblis dan membuatnya mendapatkan kekuatan yang sangat besar. Oleh sebab itu, Wang Weo disegani oleh ketua sekte aliran hitam lainnya.
Mendengar syarat kedua yang diajukan oleh Long Feng, semua ketua sekte aliran hitam langsung mengerutkan dahi secara bersamaan. Mereka sama sekali tidak mengira jika Long Feng akan meminta hal yang bisa dibilang mustahil untuk dipenuhi.
Wang Weo sendiri tidak kalah kaget dari para anggotanya. Badannya tertahan kaku menempel di sandaran kursi karena terdorong oleh kedua tangannya yang mencekeram pegangan kursi tempatnya duduk. Dalam hati Wang Weo mengumpat, menyadari bahwa ternyata Long Feng lebih licik dari yang ia sangka.
Sementara itu, Long Feng yang duduk tak jauh dari Wang Weo, tidak menggeser pandangannya sama sekali. Tetap fokus pada satu titik, yakni mata Wang Weo. Sorot matanya seolah mengatakan bahwa dirinyalah yang lebih pantas untuk menjadi ketua aliansi, sekaligus kaisar tentunya.
Long Feng tahu bahwa ia akan mati jika memasuki ruang pertemuan rahasia Aliansi Jing Quo itu tanpa kecerdasan. Ia juga tahu bahwa Wang Weo dan para anggotanya tidak akan membiarkannya hidup setelah membongkar kelemahan Sekte Teratai Putih. Oleh sebab itu, Long Feng meminta Pedang Dewa Iblis, sebelum membeberkan rahasia yang ia ketahui tentang Sekte Teratai Putih.
"Bagaimana, Ketua Wang?" tanya Long Feng karena Wang Weo masih bungkam.
"Apa maksudmu? Jika kau meminta Pedang Dewa Iblis, maka sama halnya kau meminta Ketua Wang menyerahkan nyawanya padamu?" bentak Dong Wei yang sudah ingin memenggal leher Long Feng karena lancang meminta pedang pusaka sang ketua.
"Hahaha, aku harus melakukannya untuk menyelamatkan nyawaku. Lagi pula aku tidak memintanya. Aku hanya meminjamnya sebentar sebagai jaminan hingga aku naik tahta. Setelah aku menjadi kaisar, pedang itu akan aku kembalikan."
"Bangsat! Orang ini benar-benar membuatku muak. Ketua Wang, jangan berikan Pedang Dewa Iblis padanya!" sambar Ju Shen tidak lagi takut mati. Dalam hatinya ia telah siap jika harus bertarung habis-habisan dengan Long Feng. Panglima itu telah benar-benar merendahkan aliansinya.
"Tenanglah! Jika Ketua Wang tidak mau memberikan pedangnya, aku pun tidak rugi. Tapi perlu kalian ingat, aku tahu semua rencana kalian. Sewaktu-waktu aku bisa membawa pasukanku untuk menyerang kalian semua, baik pasukan dari kerajaan maupun dari Sekte Teratai Putih. Kalian akan ditangkap dan dihukum mati dengan tuduhan merencanakan pemberontakan pada Kaisar Han Chen," tukas Long Feng memberikan ancaman.
"Keparat! Ketua Wang, kita bunuh saja orang ini sekarang juga!" pekik Dong Wei yang langsung berdiri dan menarik pedang dari selongsongnya.
"Hahaha, kalau aku mati, kalian tidak akan pernah bisa melenyapkan Sekte Teratai Putih. Lagi pula, akan sangat sulit untuk membunuhku. Aku bahkan bisa membuat Patriark Yong Yuwen dan para anggota Sekte Teratai Putih lainnya datang ke mari hanya dengan satu telepati."
Semua orang mulai menelan ludah. Mereka semua tahu bahwa salah satu keunggulan Sekte Teratai Putih adalah kemampuan untuk melakukan telepati. Jadi, sangat masuk akal jika sekarang mereka mulai gentar dengan ancaman Long Feng.
"Tuan Dong, simpan kembali pedangmu," ucap Wang Weo pelan saja sambil memejamkan mata.
Dong Wei menggeleng pelan. Ia masih tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Dengan nada protes ia berkata, "Ketua Wang, semes--" "Simpan pedangmu! Tidak seharusnya kau bersikap lancang pada Panglima Long Feng," bentak Wang Weo memotong perkataan Dong Wei. Kedua matanya melotot. Membuat Dong Wei terintimidasi atas kewibawaannya. Anggota sekaligus temannya itu pun memasukkan kembali pedangnya. Wang Weo mendongakkan kepala dan merentangkan kedua tangannya yang terkepal. Lalu ia meletakkan tangan kanannya di dada dan tangan kirinya di perut. Seketika itu pula, sebuah pedang muncul. Dengan penuh hormat, Wang Weo menyodorkan pedang itu pada Long Feng dan berkata, "Panglima, terimalah pedang ini sebagai jaminan atas kesetiaan kami padamu." Para anggota Aliansi Jing Quo langsung lemas atas apa yang mereka lihat. Mereka tahu, pedang itu telah menewaskan ratusan pendekar. Jika Wang Weo memberikan pedangnya, bagaimana bisa mereka melawan Long Feng? Sementara
Sudah barang tentu jika pernyataan Long Feng kali ini berhasil menghapus kerut di kening semua orang. Kekesalan mereka digantikan dengan terbitnya senyuman. Mereka tidak pernah menduga kalau ada masanya kekuatan Sekte Teratai Putih yang mengerikan itu bisa menghilang. Maka, setelah mengetahui kelemahan sekte terkuat di wilayah Haidong, para anggota Aliansi Jing Quo pun bergegas membuat rencana penyerangan. Hampir semua anggota aktif memberikan usulan. “Orang-orangku yang akan berada di barisan paling depan untuk membombardir Desa Jinchang dengan duri-duri tajam mematikan!” ungkap Dong Wei bersemangat. Ia sangat yakin pada kemampuan para anggota sektenya. Lebih-lebih dengan jurus Perisai Bulu Emas yang dimiliki, tidak akan mungkin orang-orang Jinchang mampu memotong bulu mereka jika hanya menggunakan pedang biasa. "Ketua Wang, aku dan seluruh anggota Golok Beracun akan siap ditempatkan di mana pun. Aku bahkan sudah tidak sabar ingin memenggal kepala Patr
Semua anggota Aliansi Jing Quo sudah berlatih dengan keras menyiapkan penyerangan. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang telah ada di depan mata. Sementara itu, persiapan yang matang juga telah dilakukan oleh Long Feng. Permintaannya pada Kaisar Han Chen beberapa waktu lalu telah dikabulkan. Maka, dengan sebuah gulungan berwarna keemasan yang berisi titah kaisar, ia bersama seluruh prajurit yang berasal dari Sekte Teratai Putih, kembali ke Jinchang. Benar, dengan dalih demi keamanan nyawa para prajurit, Long Feng meminta kaisar untuk memberikan cuti satu hari, tepat pada hari di mana gerhana bulan total akan terjadi. Sebagai gantinya, para pendekar terpilih dari sekte aliran putih membantu mengamankan istana bersama para prajurit yang ada. 'Aku harus mengucapkan salam perpisahan pada orang tua terkutuk itu,' gumam Long Feng dalam benaknya. Ia menghentikan langkahnya di depan kediaman orang tuanya. Long Feng menatap lekat-lekat tem
"Chen'er, cepat masuk!" perintah seorang lelaki paruh baya pada seorang bocah yang sedang bermain di halaman rumah. Melihat raut wajah lelaki di hadapannya, bocah itu pun mengangguk tanpa membantah atau sekadar bertanya. "Baik, Ayah!" ucapnya, lalu memberi hormat sebelum masuk ke dalam rumah. Patriark Yong Yuwen mendongak, memandang bulan yang bundar sempurna. Ia menghela napas panjang, berharap sesak di dadanya melebur dan hilang bersama embus angin. 'Bukankah malam ini terlalu indah untuk dilewatkan dengan bersembunyi?' batinnya. Bukan tanpa alasan Patriark Yong Yuwen tampak begitu gusar. Firasatnya mengatakan, hal buruk akan terjadi. Bukan hanya padanya, melainkan juga pada seluruh anggota Sekte Teratai Putih di Jinchang. "Petaka apa yang sebenarnya akan menimpa kami?" desisnya lirih. "Apa kau masih cemas?" Sebuah suara lembut membuat Patriark Yong Yuwen menoleh ke belakang. Lelaki itu tersenyum hangat pada perempuan bermata coklat yang mulai muncu
Jerit tangis ibu dan anak-anak pun melekat erat pada dinding-dinding ruang bawah tanah. Mereka ingin berhenti melangkah dan kembali menyusul suami dan atau ayah mereka berjuang melawan musuh. Namun, mereka tidak boleh berhenti berlari. Entah bagaimana kehidupan ini terasa begitu kejam? Bahkan rasa ‘peduli’ menjadi hal yang wajib dimusnahkan. Meskipun demikian, setelah cukup jauh melangkah, pada akhirnya mereka tidak sanggup lagi untuk menahan diri agar tidak menengok ke belakang. Para wanita itu sungguh berharap para pria menyusul mereka. “Jangan berhenti! Apa kalian tidak mengerti untuk siapa suami kalian mempertaruhkan nyawa?” pekik Huang Hua begitu keras, membuat beberapa wanita yang sempat berhenti, mulai melanhkah lagi seraya berusaha menghentikan isakan mereka. “Ibu, aku ingin bersama Ibu,” rengek Yong Chen tidak mau melepaskan pelukannya dari Huang Hua. “Chen’er! Berhenti merengek dan pergi! Ikut bibimu sekarang!” bentak Huang Hua denga
Wajah penuh luka Patriark Yong Yuwen menatap lelaki yang membuat lehernya tercekik dengan pandangan nanar. Ia benar-benar tidak berdaya. Sungguh ia tidak peduli jika nyawanya yang dipermainkan dan ditumbangkan. Namun, hatinya seperti tertusuk pisau saat melihat warga Jinchang dibantai. Andai saja kitab itu ada padanya, mungkin lelaki itu akan menyerahkannya pada Wang Weo. Meski Patriark Yong Yuwen tahu musuhnya itu tidak akan berbaik hati mengampuni mereka, bahkan mungkin akan menjadikan para penduduk Jinchang sebagai budak, kenyataannya untuk saat ini, hal itu terlihat lebih baik dibandingkan dengan melihat para warga tak berdosa tewas. "Ma-af-kan a-ku, tapi langit ... tidak menakdirkan Kitab Naga Bertuah denganmu," ucapnya tersendat-sendat. "Set*n!" umpat Wang Weo yang kemudian memberikan tendangan kuat ke perut Patriark Yong Yuwen hingga jatuh terpental ke belakang. "Bunuh semuanya! Jangan sisakan satu pun nyawa! Aku ingin mencium tajamnya wangi darah segar,
Kenyataannya, pedang Wang Weo sama sekali tidak membuat Huang Hua gentar. Tidak ada raut takut ataupun cemas dalam mukanya. Perempuan itu justru terlihat menyunggingkan senyum mengejek. "Sampai kapan pun kau tidak akan mendapatkan kitab itu. Ketahuilah, kitab itu berada di tangan yang benar. Jika waktunya telah tiba, dia akan datang padamu. Seorang pendekar pedang tanpa tanding, yang menguasai segala jurus pedang dalam Kitab Naga Bertuah. Lalu kalian akan ma-" Wang Weo tidak kuasa menahan tangannya untuk tidak menggorok leher jenjang Huang Hua. Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dikatakan perempuan itu bisa saja terjadi. Dengan Kitab Naga Bertuah, pendekar selemah apa pun, bisa menjadi seorang pendekar tanpa tandingan. "Habisi semua penduduk Jinchang! Cari kitab itu di rumah-rumah warga, juga di dalam ruang bawah tanah!" Perintah dari Wang Weo menjadi akhir bagi kehidupan di Jinchang. Para pendekar dari sekte aliran hitam itu mengahabisi semua orang, baik bayi, bal
"Patriark! Patriark Yong! Patriark di mana?" teriak Genjo Li setelah memasuki ruang bawah tanah. Ia berjalan melewati mayat-mayat yang tergeletak tak terurus, seperti sesuatu yang tidak berharga. Sejujurnya, rasa mual menyergap pemuda itu akibat anyir darah yang begitu menyengat. Namun, kecemasan membuat Genjo Li tidak punya waktu untuk muntah. Sepanjang lorong ia susuri degan mata menggerayangi setiap mayat yang ia lewati, demi menemukan sang guru. Namun, jauh di halaman hatinya, Genjo Li sungguh berharap tidak ada Patriark Yong Yuwen di antara mayat-mayat itu. Ia berharap sang guru masih hidup. Pada akhirnya, lorong itu mengantarkan Genjo Li pada sebuah goa. Dengan langkah sedikit terhuyung, ia terus berjalan sampai ke ujung goa. Tepat ketika kakinya sampai di bibir goa, mata Genjo Li terbelalak mendapati banyaknya mayat yang berkali lipat jumlahnya daripada yang ia temui sebelumnya. Dengan suara parau dan nyaris tak terdengar, Genjo Li berkata, "Bagaimana mungkin
Saat Chen Wuji mendapat gilirannya, Wang Shixian kian rajin merapal doa supaya pemuda itu gagal. Dia bahkan sampai memejamkan mata sebab terlalu takut untuk menyaksikan kebenaran.Wang Weo pun tersenyum melihat putrinya demikian. Sayangnya, apa yang dia pikirkan tentang Wang Shixian justru berbanding terbalik dengan yang sebenarnya.Tepat sekali, sang kaisar tersenyum lantaran berpikir kalau gadis itu menyimpan perasaan istimewa untuk Chen Wuji. Hal itu membuat Wang Weo memberikan penilaian lebih pada pengawal baru putrinya itu."Berhasil!"Seketika itu pula Wang Weo bertepuk tangan selagi kerutan memenuhi dahi putrinya. Dia tampak sangat senang melihat 'jagoannya' mampu menyelesaikan tantangan kedua dengan sempurna."Dia benar-benar pemuda yang unggul. Tidak hanya ahli panah, tetapi juga sangat kuat. Bukankah dia lelaki yang sempurna untuk menikah denganmu, Putri?"Wang Shixian menoleh pada sang ayah untuk memberikan tatapan mengintimidasi. Dengan suara rendah saja dia berkata, "Yang
Semua orang menatap batu Yangtze dengan mata terbuka lebar. Benak mereka pasti sibuk membayangkan, apakah mampu mengangkat batu sebesar itu?Jangankan mengangkat, menggesernya saja tampak sulit.Beberapa di antara peserta itu juga tampak sangat tegang. Mereka mungkin membayangkan, apa jadinya jika mereka mampu mengangkat tetapi tidak kuat menahan batu dengan kedua tangan?Mereka bisa mati konyol tertimba batu!"Baiklah, supaya aturan dari ujian kedua ini lebih jelas, aku sampaikan hal yang perlu kalian perhatikan. Pertama, kalian harus mengangkat Yangtze dengan tangan kosong, seperti yang telah aku katakan di awal tadi. Kedua, kalian harus mengangkat batu setelah hitungan ketiga. Ketiga, batu harus terangkat di atas kepala dengan kedua tangan selama lima ketukan."Pernyataan ketiga dari Wang Shixian membuat para peserta dengan refleks menelan ludah. Lima ketukan jelas akan terasa sangat berat untuk dilakukan. Jangankan lima ketukan, satu ketukan saja perlu usaha yang sangat keras."Ji
Tidak seperti hari kemarin, pagi ini wajah Wang Shixian tampak berseri. Senyumnya tidak turun sedikit pun akibat kebahagiaan yang tidak terkalimatkan. "Xian'er, sepertinya kau terlihat sangat senang hari ini." Wang Weo tersenyum lebar melihat sang putri begitu bersemangat."Tentu saja, Ayah. Aku tidak mengira jika mengadakan sayembara akan terasa sesenang ini. Rasanya sudah tidak sabar ingin menyampaikan tantangan berikutnya pada mereka." Wang Shixian menyesap tehnya dengan penuh kenikmatan. Padahal, apa yang dia sampaikan pada sang ayah tidak sepenuhnya benar. Faktanya, dia menjadi sangat senang setelah mendengar jawaban Genjo Li atas pertanyaan yang dikirimkan melalui Mingyue. Jawaban manis itu membuatnya menjadi begitu ingin bertemu dengan Genjo Li. Jika saja hubungan keduanya telah diketahui khalayak ramai, Wang Shixian bahkan tidak akan berpikir dua kali untuk memeluk sang kekasih di depan semua orang.Sayang sekali karena dia masih harus bersabar."Jadi, apa tantangan berikutn
"Benarkah Tuan Putri?!"Wang Shixian mengangguk tanpa menoleh pada pelayannya. Dia tampak sibuk dengan kuas di tangannya, menulis karakter demi karakter di atas kertas putih. "Ta-tapi ... bagaimana caranya Tuan Li bisa tiba di istana secepat itu, Tuan Putri? Maksudku, itu sangat ... ajaib. Sangat mengejutkan." Meski Mingyue merasa sangat senang sekaligus lega karena lelaki yang dicintai majikannya tidak terlambat untuk mengikuti sayembara dan bahkan mampu lolos di tahap pertama, dia tetap merasa sulit untuk percaya. Pasalnya, secepat apa pun Genjo Li berlari, bahkan meski menunggangi kuda sekalipun, tidak akan bisa mengejar keterlambatan."Mulai sekarang, persiapkan dirimu untuk terkejut. Percayalah, lelaki yang aku cintai itu bukan sembarang." Wang Shixian tersenyum lebar sambil melipat kertas dan memasukkannya ke dalam amplop cokelat."Si-siapa dia sebenarnya Tuan Putri?""Waktu akan menjawabnya. Kau pasti akan sangat terkejut. Sudah, sekali juga antarkan surat ini pada Kakak Li. P
Genjo Li hanya diam dan tersenyum tipis, tetapi daripada membalas tatapan lelaki yang mengejeknya, dia lebih memilih untuk membuang pandangan ke tanah, seolah tanah yang dia injak bahkan lebih layak untuk dipandang. Sebagai seorang yang sepertinya berasal dari kalangan terpelajar, lelaki di hadapan Genjo Li pun mendengkus kesal lantaran lawan bicaranya tidak mau melihatnya. "Karena persik itu belum tentu jatuh karena panahmu, menepilah. Kau masih bisa melihat sayembara ini.""Tunggu!"'Chen Wuji? Untuk apa dia ikut campur?!' desis Wang Shixian curiga. Tentu saja sudah sejak tadi dia ingin membela kekasihnya. Tidak peduli persik itu jatuh karena panah Genjo Li ataupun karena telah masak, yang dia pikirkan hanyalah, sang kekasih harus bisa lolos dalam tantang pertama itu.Melihat Chen Wuji angkat bicara, sudah pasti membuat hati Wang Shixian kian panas saja. Dia sangat yakin jika lelaki itu akan mendukung peserta yang ingin menyingkirkan Genjo Li. Tentu saja dengan cara yang sangat mem
"Semua gagal!" teriak prajurit yang memimpin jalannya sayembara.Seketika itu pula Wang Shixian berusaha keras untuk tidak pingsan. 'Apa katanya? Semua gagal? Kakak Li gagal? Kekasihku gagal?!' batin perempuan itu tidak berhenti bertanya karena tidak percaya selagi kedua matanya masih terkatup, kian rapat.Wang Shixian tidak berani membuka matanya untuk melihat kenyataan yang terjadi. Dia bahkan tidak berhenti menyalahkan diri sendiri karena memilih tantangan sesulit itu di tahap awal hingga membuat kekasihnya gugur begitu saja.Mulanya dia berpikir pelayan kedai itu adalah seorang ahli panah karena Genjo Li mampu memanah para pembunuh bayaran itu dengan tepat dari jarak yang jauh dalam keadaan gelap ketika menyamar menjadi Pendekar Bertopeng. Namun, ternyata ...Sungguh, jika bukan karena ingin menjaga perasaan sang ayah, perempuan itu akan nekat memanah dirinya sendiri. 'Lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak dicintai!' Begitulah yang ada di dalam benak Wang Shixia
Tantangan memanah yang harus dilakukan para peserta lomba bukanlah sekadar memanah biasa, melainkan memanah yang akan memerlukan kemampuan tingkat tinggi. Peserta dengan kemampuan memanah pas-pasan atau biasa saja, akan sulit untuk lolos dalam tantangan pertama ini. "Kalian harus memanah dari jarak 10 meter." Beberapa lelaki tersenyum mendengar ucapan sang putri. Mereka merasa cukup mampu untuk melewatinya. "Sekarang, berbaliklah," perintah Wang Shixian. Para peserta sayembara serentak balik badan. Di hadapan mereka kini terlihat pohon-pohon persik yang tingginya sekitar 8-10 meter. Banyaknya pohon persik di lahan itu membuatnya tampak seperti kebun buah persik. "Aku suka sekali buah persik. Oleh sebab itu, aku meminta kalian memetiknya untukku. Bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan memanahnya." Sontak saja para peserta terkejut hingga tanpa sadar mulut mereka terbuka dengan sendirinya. Tadi Putri Wang mengatakan bahwa mereka harus memanah dari jarak 10 meter. Dan sekarang
Para peserta sayembara telah berkumpul di halaman belakang istana. Bisa dilihat betapa besar antusiasme masyarakat atas kompetisi untuk mencari lelaki terbaik yang akan menjadi suami untuk sang putri itu. Lapangan yang luas bahkan terlihat penuh oleh mereka.Pada mulanya para lelaki itu saling berbicara dengan orang-orang yang berada di sekitar hingga kemudian kedatangan Wang Weo dan putrinya membuat mereka diam seketika. Sebagai pihak yang mengadakan sayembara, Wang Weo memang sengaja hadir untuk membuka kompetisi itu. Dia memberikan kalimat penyemangat sekaligus peringatan bahwa sayembara itu tidak akan mudah."Aku pastikan hanya lelaki terpilih yang bisa lolos dan menjadi menantuku."Mendengar kalimat terakhir sang kaisar ada perbedaan yang dirasakan para peserta. Banyak di antara mereka yang menjadi lebih bersemangat untuk memenangkan perlombaan. Namun tidak sedikit pula yang merasa takut. Tentu mereka tidak akan lupa, biar bagaimanapun lelaki yang menjadi ayah dari 'hadiah' peme
Pintu gerbang depan istana Haidong telah ditutup rapat ketika matahari berada di atas kepala. Tidak sedikit lelaki yang harus gigit jari karena datang terlambat untuk mendaftarkan diri dalam sayembara. Seperti belum rela dengan kenyataan pahit itu, mereka bahkan masih berdiri dengan tubuh menempel pada gerbang demi melihat para lelaki yang mendaftar di detik-detik terakhir tetapi tidak memiliki nasib seburuk mereka.Meski seandainya mereka berhasil terdaftar sebagai peserta sayembara, belum tentu juga berhasil memenangkannya, setidak-tidaknya mereka telah mencoba. Dan sekarang, apa boleh buat? Bahkan kesempatan untuk menjadi peserta saja sudah tidak mereka miliki.Seorang lelaki yang berada di barisan paling akhir tampak menatap lekat ke arah gerbang. Sepertinya dia sedang mengamati orang-orang yang telah gugur bahkan sebelum mereka terjun ke arena pertempuran.'Jika saja Junsi tidak mengingatkanku, pasti kini aku berada di antara lelaki itu.'Tepat sekali, pria yang memandang ke arah