Home / Pendekar / Pendekar Pedang Tanpa Tanding / 6. Kelemahan Sekte Teratai Putih

Share

6. Kelemahan Sekte Teratai Putih

Author: Iro Magenta
last update Last Updated: 2021-09-03 00:01:33

Dong Wei menggeleng pelan. Ia masih tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Dengan nada protes ia berkata, "Ketua Wang, semes--"

"Simpan pedangmu! Tidak seharusnya kau bersikap lancang pada Panglima Long Feng," bentak Wang Weo memotong perkataan Dong Wei. Kedua matanya melotot. Membuat Dong Wei terintimidasi atas kewibawaannya. Anggota sekaligus temannya itu pun memasukkan kembali pedangnya.

Wang Weo mendongakkan kepala dan merentangkan kedua tangannya yang terkepal. Lalu ia meletakkan tangan kanannya di dada dan tangan kirinya di perut. Seketika itu pula, sebuah pedang muncul. Dengan penuh hormat, Wang Weo menyodorkan pedang itu pada Long Feng dan berkata, "Panglima, terimalah pedang ini sebagai jaminan atas kesetiaan kami padamu."

Para anggota Aliansi Jing Quo langsung lemas atas apa yang mereka lihat. Mereka tahu, pedang itu telah menewaskan ratusan pendekar. Jika Wang Weo memberikan pedangnya, bagaimana bisa mereka melawan Long Feng?

Sementara

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Red Raymond Redington
seru tpy kok harus top up udh pakai internet malah pakai beli koin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   7. Pohon Angel Oak

    Sudah barang tentu jika pernyataan Long Feng kali ini berhasil menghapus kerut di kening semua orang. Kekesalan mereka digantikan dengan terbitnya senyuman. Mereka tidak pernah menduga kalau ada masanya kekuatan Sekte Teratai Putih yang mengerikan itu bisa menghilang. Maka, setelah mengetahui kelemahan sekte terkuat di wilayah Haidong, para anggota Aliansi Jing Quo pun bergegas membuat rencana penyerangan. Hampir semua anggota aktif memberikan usulan. “Orang-orangku yang akan berada di barisan paling depan untuk membombardir Desa Jinchang dengan duri-duri tajam mematikan!” ungkap Dong Wei bersemangat. Ia sangat yakin pada kemampuan para anggota sektenya. Lebih-lebih dengan jurus Perisai Bulu Emas yang dimiliki, tidak akan mungkin orang-orang Jinchang mampu memotong bulu mereka jika hanya menggunakan pedang biasa. "Ketua Wang, aku dan seluruh anggota Golok Beracun akan siap ditempatkan di mana pun. Aku bahkan sudah tidak sabar ingin memenggal kepala Patr

    Last Updated : 2021-09-05
  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   8. Kebohongan Terakhir

    Semua anggota Aliansi Jing Quo sudah berlatih dengan keras menyiapkan penyerangan. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang telah ada di depan mata. Sementara itu, persiapan yang matang juga telah dilakukan oleh Long Feng. Permintaannya pada Kaisar Han Chen beberapa waktu lalu telah dikabulkan. Maka, dengan sebuah gulungan berwarna keemasan yang berisi titah kaisar, ia bersama seluruh prajurit yang berasal dari Sekte Teratai Putih, kembali ke Jinchang. Benar, dengan dalih demi keamanan nyawa para prajurit, Long Feng meminta kaisar untuk memberikan cuti satu hari, tepat pada hari di mana gerhana bulan total akan terjadi. Sebagai gantinya, para pendekar terpilih dari sekte aliran putih membantu mengamankan istana bersama para prajurit yang ada. 'Aku harus mengucapkan salam perpisahan pada orang tua terkutuk itu,' gumam Long Feng dalam benaknya. Ia menghentikan langkahnya di depan kediaman orang tuanya. Long Feng menatap lekat-lekat tem

    Last Updated : 2021-10-07
  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   9. Lorong Bawah Tanah

    "Chen'er, cepat masuk!" perintah seorang lelaki paruh baya pada seorang bocah yang sedang bermain di halaman rumah. Melihat raut wajah lelaki di hadapannya, bocah itu pun mengangguk tanpa membantah atau sekadar bertanya. "Baik, Ayah!" ucapnya, lalu memberi hormat sebelum masuk ke dalam rumah. Patriark Yong Yuwen mendongak, memandang bulan yang bundar sempurna. Ia menghela napas panjang, berharap sesak di dadanya melebur dan hilang bersama embus angin. 'Bukankah malam ini terlalu indah untuk dilewatkan dengan bersembunyi?' batinnya. Bukan tanpa alasan Patriark Yong Yuwen tampak begitu gusar. Firasatnya mengatakan, hal buruk akan terjadi. Bukan hanya padanya, melainkan juga pada seluruh anggota Sekte Teratai Putih di Jinchang. "Petaka apa yang sebenarnya akan menimpa kami?" desisnya lirih. "Apa kau masih cemas?" Sebuah suara lembut membuat Patriark Yong Yuwen menoleh ke belakang. Lelaki itu tersenyum hangat pada perempuan bermata coklat yang mulai muncu

    Last Updated : 2021-10-10
  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   10. Tragedi Gerhana Bulan Total

    Jerit tangis ibu dan anak-anak pun melekat erat pada dinding-dinding ruang bawah tanah. Mereka ingin berhenti melangkah dan kembali menyusul suami dan atau ayah mereka berjuang melawan musuh. Namun, mereka tidak boleh berhenti berlari. Entah bagaimana kehidupan ini terasa begitu kejam? Bahkan rasa ‘peduli’ menjadi hal yang wajib dimusnahkan. Meskipun demikian, setelah cukup jauh melangkah, pada akhirnya mereka tidak sanggup lagi untuk menahan diri agar tidak menengok ke belakang. Para wanita itu sungguh berharap para pria menyusul mereka. “Jangan berhenti! Apa kalian tidak mengerti untuk siapa suami kalian mempertaruhkan nyawa?” pekik Huang Hua begitu keras, membuat beberapa wanita yang sempat berhenti, mulai melanhkah lagi seraya berusaha menghentikan isakan mereka. “Ibu, aku ingin bersama Ibu,” rengek Yong Chen tidak mau melepaskan pelukannya dari Huang Hua. “Chen’er! Berhenti merengek dan pergi! Ikut bibimu sekarang!” bentak Huang Hua denga

    Last Updated : 2021-10-10
  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   11. Pembunuh Patriark Yong Yuwen

    Wajah penuh luka Patriark Yong Yuwen menatap lelaki yang membuat lehernya tercekik dengan pandangan nanar. Ia benar-benar tidak berdaya. Sungguh ia tidak peduli jika nyawanya yang dipermainkan dan ditumbangkan. Namun, hatinya seperti tertusuk pisau saat melihat warga Jinchang dibantai. Andai saja kitab itu ada padanya, mungkin lelaki itu akan menyerahkannya pada Wang Weo. Meski Patriark Yong Yuwen tahu musuhnya itu tidak akan berbaik hati mengampuni mereka, bahkan mungkin akan menjadikan para penduduk Jinchang sebagai budak, kenyataannya untuk saat ini, hal itu terlihat lebih baik dibandingkan dengan melihat para warga tak berdosa tewas. "Ma-af-kan a-ku, tapi langit ... tidak menakdirkan Kitab Naga Bertuah denganmu," ucapnya tersendat-sendat. "Set*n!" umpat Wang Weo yang kemudian memberikan tendangan kuat ke perut Patriark Yong Yuwen hingga jatuh terpental ke belakang. "Bunuh semuanya! Jangan sisakan satu pun nyawa! Aku ingin mencium tajamnya wangi darah segar,

    Last Updated : 2021-10-19
  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   12. Desa Mati

    Kenyataannya, pedang Wang Weo sama sekali tidak membuat Huang Hua gentar. Tidak ada raut takut ataupun cemas dalam mukanya. Perempuan itu justru terlihat menyunggingkan senyum mengejek. "Sampai kapan pun kau tidak akan mendapatkan kitab itu. Ketahuilah, kitab itu berada di tangan yang benar. Jika waktunya telah tiba, dia akan datang padamu. Seorang pendekar pedang tanpa tanding, yang menguasai segala jurus pedang dalam Kitab Naga Bertuah. Lalu kalian akan ma-" Wang Weo tidak kuasa menahan tangannya untuk tidak menggorok leher jenjang Huang Hua. Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dikatakan perempuan itu bisa saja terjadi. Dengan Kitab Naga Bertuah, pendekar selemah apa pun, bisa menjadi seorang pendekar tanpa tandingan. "Habisi semua penduduk Jinchang! Cari kitab itu di rumah-rumah warga, juga di dalam ruang bawah tanah!" Perintah dari Wang Weo menjadi akhir bagi kehidupan di Jinchang. Para pendekar dari sekte aliran hitam itu mengahabisi semua orang, baik bayi, bal

    Last Updated : 2021-10-19
  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   13. Mayat tanpa Kepala

    "Patriark! Patriark Yong! Patriark di mana?" teriak Genjo Li setelah memasuki ruang bawah tanah. Ia berjalan melewati mayat-mayat yang tergeletak tak terurus, seperti sesuatu yang tidak berharga. Sejujurnya, rasa mual menyergap pemuda itu akibat anyir darah yang begitu menyengat. Namun, kecemasan membuat Genjo Li tidak punya waktu untuk muntah. Sepanjang lorong ia susuri degan mata menggerayangi setiap mayat yang ia lewati, demi menemukan sang guru. Namun, jauh di halaman hatinya, Genjo Li sungguh berharap tidak ada Patriark Yong Yuwen di antara mayat-mayat itu. Ia berharap sang guru masih hidup. Pada akhirnya, lorong itu mengantarkan Genjo Li pada sebuah goa. Dengan langkah sedikit terhuyung, ia terus berjalan sampai ke ujung goa. Tepat ketika kakinya sampai di bibir goa, mata Genjo Li terbelalak mendapati banyaknya mayat yang berkali lipat jumlahnya daripada yang ia temui sebelumnya. Dengan suara parau dan nyaris tak terdengar, Genjo Li berkata, "Bagaimana mungkin

    Last Updated : 2021-10-22
  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   14. Tanah Basah

    Samar-samar sinar matahari melewati celah-celah dedaunan. Pagi itu kicauan burung terdengar lebih nyaring, tetapi tidak membawa keceriaan. Sebaliknya, mereka seolah turut melantunkan nyanyian duka atas pemakaman sepasang suami istri yang tewas dalam pertempuran. "Aku tahu, Patriark dan Nyonya Yong adalah pasangan sejati. Bahkan meninggal pun bersama." Suara sendu itu terhenti sejenak. Sebelum akhirnya terdengar lagi dengan nada yang jauh berbeda. "Nyawa harus ditebus dengan nyawa!" ucapnya dengan gigi digertakkan. Benar, ucapan penuh kebencian itu terlontar dari mulut Genjo Li. Ia sampai mencengkeram bajunya sendiri untuk pelampiasan sesaat. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu bangkit dari duduknya. Kepalanya menoleh ke sekeliling karena suara derap langkah kaki kuda tertangkap oleh telinganya. 'Satu, dua ... ah, sialan!' batin Genjo Li mencoba menghitung banyaknya kuda yang berlari. Menurut hasil pendengarannya, setidaknya ada empat kuda yang melesat men

    Last Updated : 2021-10-23

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   119. Kekuatan Cinta atau Dendam?

    Saat Chen Wuji mendapat gilirannya, Wang Shixian kian rajin merapal doa supaya pemuda itu gagal. Dia bahkan sampai memejamkan mata sebab terlalu takut untuk menyaksikan kebenaran.Wang Weo pun tersenyum melihat putrinya demikian. Sayangnya, apa yang dia pikirkan tentang Wang Shixian justru berbanding terbalik dengan yang sebenarnya.Tepat sekali, sang kaisar tersenyum lantaran berpikir kalau gadis itu menyimpan perasaan istimewa untuk Chen Wuji. Hal itu membuat Wang Weo memberikan penilaian lebih pada pengawal baru putrinya itu."Berhasil!"Seketika itu pula Wang Weo bertepuk tangan selagi kerutan memenuhi dahi putrinya. Dia tampak sangat senang melihat 'jagoannya' mampu menyelesaikan tantangan kedua dengan sempurna."Dia benar-benar pemuda yang unggul. Tidak hanya ahli panah, tetapi juga sangat kuat. Bukankah dia lelaki yang sempurna untuk menikah denganmu, Putri?"Wang Shixian menoleh pada sang ayah untuk memberikan tatapan mengintimidasi. Dengan suara rendah saja dia berkata, "Yang

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   118. Firasat Ayah

    Semua orang menatap batu Yangtze dengan mata terbuka lebar. Benak mereka pasti sibuk membayangkan, apakah mampu mengangkat batu sebesar itu?Jangankan mengangkat, menggesernya saja tampak sulit.Beberapa di antara peserta itu juga tampak sangat tegang. Mereka mungkin membayangkan, apa jadinya jika mereka mampu mengangkat tetapi tidak kuat menahan batu dengan kedua tangan?Mereka bisa mati konyol tertimba batu!"Baiklah, supaya aturan dari ujian kedua ini lebih jelas, aku sampaikan hal yang perlu kalian perhatikan. Pertama, kalian harus mengangkat Yangtze dengan tangan kosong, seperti yang telah aku katakan di awal tadi. Kedua, kalian harus mengangkat batu setelah hitungan ketiga. Ketiga, batu harus terangkat di atas kepala dengan kedua tangan selama lima ketukan."Pernyataan ketiga dari Wang Shixian membuat para peserta dengan refleks menelan ludah. Lima ketukan jelas akan terasa sangat berat untuk dilakukan. Jangankan lima ketukan, satu ketukan saja perlu usaha yang sangat keras."Ji

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   117. Tantangan Kedua

    Tidak seperti hari kemarin, pagi ini wajah Wang Shixian tampak berseri. Senyumnya tidak turun sedikit pun akibat kebahagiaan yang tidak terkalimatkan. "Xian'er, sepertinya kau terlihat sangat senang hari ini." Wang Weo tersenyum lebar melihat sang putri begitu bersemangat."Tentu saja, Ayah. Aku tidak mengira jika mengadakan sayembara akan terasa sesenang ini. Rasanya sudah tidak sabar ingin menyampaikan tantangan berikutnya pada mereka." Wang Shixian menyesap tehnya dengan penuh kenikmatan. Padahal, apa yang dia sampaikan pada sang ayah tidak sepenuhnya benar. Faktanya, dia menjadi sangat senang setelah mendengar jawaban Genjo Li atas pertanyaan yang dikirimkan melalui Mingyue. Jawaban manis itu membuatnya menjadi begitu ingin bertemu dengan Genjo Li. Jika saja hubungan keduanya telah diketahui khalayak ramai, Wang Shixian bahkan tidak akan berpikir dua kali untuk memeluk sang kekasih di depan semua orang.Sayang sekali karena dia masih harus bersabar."Jadi, apa tantangan berikutn

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   116. Curang?

    "Benarkah Tuan Putri?!"Wang Shixian mengangguk tanpa menoleh pada pelayannya. Dia tampak sibuk dengan kuas di tangannya, menulis karakter demi karakter di atas kertas putih. "Ta-tapi ... bagaimana caranya Tuan Li bisa tiba di istana secepat itu, Tuan Putri? Maksudku, itu sangat ... ajaib. Sangat mengejutkan." Meski Mingyue merasa sangat senang sekaligus lega karena lelaki yang dicintai majikannya tidak terlambat untuk mengikuti sayembara dan bahkan mampu lolos di tahap pertama, dia tetap merasa sulit untuk percaya. Pasalnya, secepat apa pun Genjo Li berlari, bahkan meski menunggangi kuda sekalipun, tidak akan bisa mengejar keterlambatan."Mulai sekarang, persiapkan dirimu untuk terkejut. Percayalah, lelaki yang aku cintai itu bukan sembarang." Wang Shixian tersenyum lebar sambil melipat kertas dan memasukkannya ke dalam amplop cokelat."Si-siapa dia sebenarnya Tuan Putri?""Waktu akan menjawabnya. Kau pasti akan sangat terkejut. Sudah, sekali juga antarkan surat ini pada Kakak Li. P

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   115. Peringatan

    Genjo Li hanya diam dan tersenyum tipis, tetapi daripada membalas tatapan lelaki yang mengejeknya, dia lebih memilih untuk membuang pandangan ke tanah, seolah tanah yang dia injak bahkan lebih layak untuk dipandang. Sebagai seorang yang sepertinya berasal dari kalangan terpelajar, lelaki di hadapan Genjo Li pun mendengkus kesal lantaran lawan bicaranya tidak mau melihatnya. "Karena persik itu belum tentu jatuh karena panahmu, menepilah. Kau masih bisa melihat sayembara ini.""Tunggu!"'Chen Wuji? Untuk apa dia ikut campur?!' desis Wang Shixian curiga. Tentu saja sudah sejak tadi dia ingin membela kekasihnya. Tidak peduli persik itu jatuh karena panah Genjo Li ataupun karena telah masak, yang dia pikirkan hanyalah, sang kekasih harus bisa lolos dalam tantang pertama itu.Melihat Chen Wuji angkat bicara, sudah pasti membuat hati Wang Shixian kian panas saja. Dia sangat yakin jika lelaki itu akan mendukung peserta yang ingin menyingkirkan Genjo Li. Tentu saja dengan cara yang sangat mem

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   114. Putusan

    "Semua gagal!" teriak prajurit yang memimpin jalannya sayembara.Seketika itu pula Wang Shixian berusaha keras untuk tidak pingsan. 'Apa katanya? Semua gagal? Kakak Li gagal? Kekasihku gagal?!' batin perempuan itu tidak berhenti bertanya karena tidak percaya selagi kedua matanya masih terkatup, kian rapat.Wang Shixian tidak berani membuka matanya untuk melihat kenyataan yang terjadi. Dia bahkan tidak berhenti menyalahkan diri sendiri karena memilih tantangan sesulit itu di tahap awal hingga membuat kekasihnya gugur begitu saja.Mulanya dia berpikir pelayan kedai itu adalah seorang ahli panah karena Genjo Li mampu memanah para pembunuh bayaran itu dengan tepat dari jarak yang jauh dalam keadaan gelap ketika menyamar menjadi Pendekar Bertopeng. Namun, ternyata ...Sungguh, jika bukan karena ingin menjaga perasaan sang ayah, perempuan itu akan nekat memanah dirinya sendiri. 'Lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak dicintai!' Begitulah yang ada di dalam benak Wang Shixia

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   113. Persik untuk Putri Wang 

    Tantangan memanah yang harus dilakukan para peserta lomba bukanlah sekadar memanah biasa, melainkan memanah yang akan memerlukan kemampuan tingkat tinggi. Peserta dengan kemampuan memanah pas-pasan atau biasa saja, akan sulit untuk lolos dalam tantangan pertama ini. "Kalian harus memanah dari jarak 10 meter." Beberapa lelaki tersenyum mendengar ucapan sang putri. Mereka merasa cukup mampu untuk melewatinya. "Sekarang, berbaliklah," perintah Wang Shixian. Para peserta sayembara serentak balik badan. Di hadapan mereka kini terlihat pohon-pohon persik yang tingginya sekitar 8-10 meter. Banyaknya pohon persik di lahan itu membuatnya tampak seperti kebun buah persik. "Aku suka sekali buah persik. Oleh sebab itu, aku meminta kalian memetiknya untukku. Bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan memanahnya." Sontak saja para peserta terkejut hingga tanpa sadar mulut mereka terbuka dengan sendirinya. Tadi Putri Wang mengatakan bahwa mereka harus memanah dari jarak 10 meter. Dan sekarang

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   112. Sayembara Dimulai

    Para peserta sayembara telah berkumpul di halaman belakang istana. Bisa dilihat betapa besar antusiasme masyarakat atas kompetisi untuk mencari lelaki terbaik yang akan menjadi suami untuk sang putri itu. Lapangan yang luas bahkan terlihat penuh oleh mereka.Pada mulanya para lelaki itu saling berbicara dengan orang-orang yang berada di sekitar hingga kemudian kedatangan Wang Weo dan putrinya membuat mereka diam seketika. Sebagai pihak yang mengadakan sayembara, Wang Weo memang sengaja hadir untuk membuka kompetisi itu. Dia memberikan kalimat penyemangat sekaligus peringatan bahwa sayembara itu tidak akan mudah."Aku pastikan hanya lelaki terpilih yang bisa lolos dan menjadi menantuku."Mendengar kalimat terakhir sang kaisar ada perbedaan yang dirasakan para peserta. Banyak di antara mereka yang menjadi lebih bersemangat untuk memenangkan perlombaan. Namun tidak sedikit pula yang merasa takut. Tentu mereka tidak akan lupa, biar bagaimanapun lelaki yang menjadi ayah dari 'hadiah' peme

  • Pendekar Pedang Tanpa Tanding   111. Deretan Pria Tak Beruntung 

    Pintu gerbang depan istana Haidong telah ditutup rapat ketika matahari berada di atas kepala. Tidak sedikit lelaki yang harus gigit jari karena datang terlambat untuk mendaftarkan diri dalam sayembara. Seperti belum rela dengan kenyataan pahit itu, mereka bahkan masih berdiri dengan tubuh menempel pada gerbang demi melihat para lelaki yang mendaftar di detik-detik terakhir tetapi tidak memiliki nasib seburuk mereka.Meski seandainya mereka berhasil terdaftar sebagai peserta sayembara, belum tentu juga berhasil memenangkannya, setidak-tidaknya mereka telah mencoba. Dan sekarang, apa boleh buat? Bahkan kesempatan untuk menjadi peserta saja sudah tidak mereka miliki.Seorang lelaki yang berada di barisan paling akhir tampak menatap lekat ke arah gerbang. Sepertinya dia sedang mengamati orang-orang yang telah gugur bahkan sebelum mereka terjun ke arena pertempuran.'Jika saja Junsi tidak mengingatkanku, pasti kini aku berada di antara lelaki itu.'Tepat sekali, pria yang memandang ke arah

DMCA.com Protection Status