Jerit tangis ibu dan anak-anak pun melekat erat pada dinding-dinding ruang bawah tanah. Mereka ingin berhenti melangkah dan kembali menyusul suami dan atau ayah mereka berjuang melawan musuh.
Namun, mereka tidak boleh berhenti berlari. Entah bagaimana kehidupan ini terasa begitu kejam? Bahkan rasa ‘peduli’ menjadi hal yang wajib dimusnahkan.
Meskipun demikian, setelah cukup jauh melangkah, pada akhirnya mereka tidak sanggup lagi untuk menahan diri agar tidak menengok ke belakang. Para wanita itu sungguh berharap para pria menyusul mereka.
“Jangan berhenti! Apa kalian tidak mengerti untuk siapa suami kalian mempertaruhkan nyawa?” pekik Huang Hua begitu keras, membuat beberapa wanita yang sempat berhenti, mulai melanhkah lagi seraya berusaha menghentikan isakan mereka.
“Ibu, aku ingin bersama Ibu,” rengek Yong Chen tidak mau melepaskan pelukannya dari Huang Hua.
“Chen’er! Berhenti merengek dan pergi! Ikut bibimu sekarang!” bentak Huang Hua denga
Wajah penuh luka Patriark Yong Yuwen menatap lelaki yang membuat lehernya tercekik dengan pandangan nanar. Ia benar-benar tidak berdaya. Sungguh ia tidak peduli jika nyawanya yang dipermainkan dan ditumbangkan. Namun, hatinya seperti tertusuk pisau saat melihat warga Jinchang dibantai. Andai saja kitab itu ada padanya, mungkin lelaki itu akan menyerahkannya pada Wang Weo. Meski Patriark Yong Yuwen tahu musuhnya itu tidak akan berbaik hati mengampuni mereka, bahkan mungkin akan menjadikan para penduduk Jinchang sebagai budak, kenyataannya untuk saat ini, hal itu terlihat lebih baik dibandingkan dengan melihat para warga tak berdosa tewas. "Ma-af-kan a-ku, tapi langit ... tidak menakdirkan Kitab Naga Bertuah denganmu," ucapnya tersendat-sendat. "Set*n!" umpat Wang Weo yang kemudian memberikan tendangan kuat ke perut Patriark Yong Yuwen hingga jatuh terpental ke belakang. "Bunuh semuanya! Jangan sisakan satu pun nyawa! Aku ingin mencium tajamnya wangi darah segar,
Kenyataannya, pedang Wang Weo sama sekali tidak membuat Huang Hua gentar. Tidak ada raut takut ataupun cemas dalam mukanya. Perempuan itu justru terlihat menyunggingkan senyum mengejek. "Sampai kapan pun kau tidak akan mendapatkan kitab itu. Ketahuilah, kitab itu berada di tangan yang benar. Jika waktunya telah tiba, dia akan datang padamu. Seorang pendekar pedang tanpa tanding, yang menguasai segala jurus pedang dalam Kitab Naga Bertuah. Lalu kalian akan ma-" Wang Weo tidak kuasa menahan tangannya untuk tidak menggorok leher jenjang Huang Hua. Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dikatakan perempuan itu bisa saja terjadi. Dengan Kitab Naga Bertuah, pendekar selemah apa pun, bisa menjadi seorang pendekar tanpa tandingan. "Habisi semua penduduk Jinchang! Cari kitab itu di rumah-rumah warga, juga di dalam ruang bawah tanah!" Perintah dari Wang Weo menjadi akhir bagi kehidupan di Jinchang. Para pendekar dari sekte aliran hitam itu mengahabisi semua orang, baik bayi, bal
"Patriark! Patriark Yong! Patriark di mana?" teriak Genjo Li setelah memasuki ruang bawah tanah. Ia berjalan melewati mayat-mayat yang tergeletak tak terurus, seperti sesuatu yang tidak berharga. Sejujurnya, rasa mual menyergap pemuda itu akibat anyir darah yang begitu menyengat. Namun, kecemasan membuat Genjo Li tidak punya waktu untuk muntah. Sepanjang lorong ia susuri degan mata menggerayangi setiap mayat yang ia lewati, demi menemukan sang guru. Namun, jauh di halaman hatinya, Genjo Li sungguh berharap tidak ada Patriark Yong Yuwen di antara mayat-mayat itu. Ia berharap sang guru masih hidup. Pada akhirnya, lorong itu mengantarkan Genjo Li pada sebuah goa. Dengan langkah sedikit terhuyung, ia terus berjalan sampai ke ujung goa. Tepat ketika kakinya sampai di bibir goa, mata Genjo Li terbelalak mendapati banyaknya mayat yang berkali lipat jumlahnya daripada yang ia temui sebelumnya. Dengan suara parau dan nyaris tak terdengar, Genjo Li berkata, "Bagaimana mungkin
Samar-samar sinar matahari melewati celah-celah dedaunan. Pagi itu kicauan burung terdengar lebih nyaring, tetapi tidak membawa keceriaan. Sebaliknya, mereka seolah turut melantunkan nyanyian duka atas pemakaman sepasang suami istri yang tewas dalam pertempuran. "Aku tahu, Patriark dan Nyonya Yong adalah pasangan sejati. Bahkan meninggal pun bersama." Suara sendu itu terhenti sejenak. Sebelum akhirnya terdengar lagi dengan nada yang jauh berbeda. "Nyawa harus ditebus dengan nyawa!" ucapnya dengan gigi digertakkan. Benar, ucapan penuh kebencian itu terlontar dari mulut Genjo Li. Ia sampai mencengkeram bajunya sendiri untuk pelampiasan sesaat. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu bangkit dari duduknya. Kepalanya menoleh ke sekeliling karena suara derap langkah kaki kuda tertangkap oleh telinganya. 'Satu, dua ... ah, sialan!' batin Genjo Li mencoba menghitung banyaknya kuda yang berlari. Menurut hasil pendengarannya, setidaknya ada empat kuda yang melesat men
Genjo Li masih menahan napasnya. Bagaimana tidak, jika Dong Wei telah memastikan tanah itu benar-benar basah, pasti lelaki itu tidak akan tinggal diam. Genjo Li yakin, Dong Wei akan menggali tanah itu guna melihat hal apakah yang mungkin tersembunyi di dalamnya. Bila lawan melihat mayat Patriark Yong Yuwen dan istrinya, sudah jelas apa yang akan terjadi berikutnya. Mungkin situasinya tidak akan sepelik ini jika Genjo Li tidak ada di sana. 'Langit, hentikan dia dengan cara apa pun!' batin Genjo Li mulai pasrah. "Tuan Dong! Apa yang begitu menarik dari tanah basah? Mungkin saja seekor rusa kencing di atasnya. Yang pasti, kita harus cepat! Kau bisa bercocok tanam di situ nanti," sindir keras Ju Shen menghentikan tangan Dong Wei. Dong Wei pun menarik kembali tangannya sambil mengumpat dalam diam. Tidak, ia mengumpat tidak karena tersinggung atau marah oleh ucapan Ju Shen. Namun Dong Wei menjadi begitu kesal karena apa yang dikatakan rekannya itu benar. Mere
Wang Weo menelan ludah dengan susah payah. Ucapan Long Feng telah mencekiknya. Itu adalah pertanyaan jebakan, hanya retorika belaka, yang menggiring seseorang pada jawaban yang diinginkan si penanya. Memangnya siapa yang diberi wewenang untuk menolak permintaan kaisar? "Tuan Wang? Apa kau akan memintaku untuk mengembalikan pedangmu?" ucap Long Feng lagi, memberikan desakan pada Wang Weo untuk lekas mengiyakan permintaannya. Sesuai dugaan, sebuah senyum keterpaksaan terkembang di wajah Wang Weo. Ia tidak punya pilihan. Meskipun batinnya menolak keras permintaan Long Feng, mulutnya berkata begiu manis mempersilakan. 'Baj*ngan! Apa kau pikir aku akan diam? Kau akan menyesali ini semua!' umpat Wang Weo dalam batin. Gelak tawa Long Feng pun kembali menggema diikuti pujian untuk Wang Weo. Ia merasa seperti di atas angin. Dengan segala kemampuan bela diri dan jurus-jurus yang ia miliki, sudah cukup untuk membuatnya menjadi pendekar kuat. Sekarang, ditambah dengan Pe
"Tidak, Ketua Wang!" sahut Dong Wei lantang. Ucapannya yang menentang perkataan Wang Weo, jelas membuat orang-orang yang ada di ruangan itu menanyakan kewarasan ketua Sekte Taring Setan itu.Meski Wang Weo belum menceritakan apa pun menyoal Long Feng yang mengingkari janji untuk mengembalikan Pedang Dewa Iblis, kemurkaan ketua aliansi itu sudah terlihat jelas dari mimik dan gesturnya. Jadi, untuk apa Dong Wei memperkeruh suasana dengan menentangnya?"Apa maksudmu? Long Feng tidak memberikan manfaat apa pun untuk kita. Sebaliknya, dia bertindak semaunya tanpa memikirkan apa yang kita inginkan. Kerja sama ini hanya menguntungkan satu pihak. Satu-satunya hal yang dia berikan pada kita hanyalah informasi tentang kelemahan Sekte Teratai Putih, lain itu tidak ada. Akan sangat bagus kalau lelaki itu binasa saja!" sergap Ju Shen yang sudah lama menginginkan kematian Long Feng.Sejak pertama kali Long Feng mengenalkan dirinya sebagai seorang panglima kerajaan, Ju Shen su
Matahari mungkin frustrasi lantaran setiap hari Zhouyang Hong selalu bangun mendahuluinya. Jika orang pada umumnya selalu terlelap lebih nyenyak saat dini hari menjelang subuh, tidak demikian dengan lelaki tua itu. Entah bagaimana matanya sudah tidak bisa lagi terpejam ketika semburat merah di ufuk barat mulai terlihat.Lelaki itu selalu disiplin bangun menjelang subuh. Ia akan langsung bergegas ke pekarangan belakang rumahnya untuk berlatih. Baru ketika matahari terbit, ia akan menyudahi latihannya dan langsung ke sungai untuk mandi. Namun, tidak untuk hari ini. "Hah, bocah pemalas itu pasti belum bangun. Akan sangat bagus kalau dia tidur selamanya. Jika saja aku tidak ingat sial*n itu murid Patriark Yong, aku pasti sudah membunuhnya," gerutu Zhouyang Hong sambil berjalan ke dapur.Zhouyang Hong mengambil sebuah ember dan mengisinya dengan lima gayung air. Dengan tangkas ia mengangkat ember itu dan berjalan cepat menuju pintu utama rumahnya.'Dasar pemala
Saat Chen Wuji mendapat gilirannya, Wang Shixian kian rajin merapal doa supaya pemuda itu gagal. Dia bahkan sampai memejamkan mata sebab terlalu takut untuk menyaksikan kebenaran.Wang Weo pun tersenyum melihat putrinya demikian. Sayangnya, apa yang dia pikirkan tentang Wang Shixian justru berbanding terbalik dengan yang sebenarnya.Tepat sekali, sang kaisar tersenyum lantaran berpikir kalau gadis itu menyimpan perasaan istimewa untuk Chen Wuji. Hal itu membuat Wang Weo memberikan penilaian lebih pada pengawal baru putrinya itu."Berhasil!"Seketika itu pula Wang Weo bertepuk tangan selagi kerutan memenuhi dahi putrinya. Dia tampak sangat senang melihat 'jagoannya' mampu menyelesaikan tantangan kedua dengan sempurna."Dia benar-benar pemuda yang unggul. Tidak hanya ahli panah, tetapi juga sangat kuat. Bukankah dia lelaki yang sempurna untuk menikah denganmu, Putri?"Wang Shixian menoleh pada sang ayah untuk memberikan tatapan mengintimidasi. Dengan suara rendah saja dia berkata, "Yang
Semua orang menatap batu Yangtze dengan mata terbuka lebar. Benak mereka pasti sibuk membayangkan, apakah mampu mengangkat batu sebesar itu?Jangankan mengangkat, menggesernya saja tampak sulit.Beberapa di antara peserta itu juga tampak sangat tegang. Mereka mungkin membayangkan, apa jadinya jika mereka mampu mengangkat tetapi tidak kuat menahan batu dengan kedua tangan?Mereka bisa mati konyol tertimba batu!"Baiklah, supaya aturan dari ujian kedua ini lebih jelas, aku sampaikan hal yang perlu kalian perhatikan. Pertama, kalian harus mengangkat Yangtze dengan tangan kosong, seperti yang telah aku katakan di awal tadi. Kedua, kalian harus mengangkat batu setelah hitungan ketiga. Ketiga, batu harus terangkat di atas kepala dengan kedua tangan selama lima ketukan."Pernyataan ketiga dari Wang Shixian membuat para peserta dengan refleks menelan ludah. Lima ketukan jelas akan terasa sangat berat untuk dilakukan. Jangankan lima ketukan, satu ketukan saja perlu usaha yang sangat keras."Ji
Tidak seperti hari kemarin, pagi ini wajah Wang Shixian tampak berseri. Senyumnya tidak turun sedikit pun akibat kebahagiaan yang tidak terkalimatkan. "Xian'er, sepertinya kau terlihat sangat senang hari ini." Wang Weo tersenyum lebar melihat sang putri begitu bersemangat."Tentu saja, Ayah. Aku tidak mengira jika mengadakan sayembara akan terasa sesenang ini. Rasanya sudah tidak sabar ingin menyampaikan tantangan berikutnya pada mereka." Wang Shixian menyesap tehnya dengan penuh kenikmatan. Padahal, apa yang dia sampaikan pada sang ayah tidak sepenuhnya benar. Faktanya, dia menjadi sangat senang setelah mendengar jawaban Genjo Li atas pertanyaan yang dikirimkan melalui Mingyue. Jawaban manis itu membuatnya menjadi begitu ingin bertemu dengan Genjo Li. Jika saja hubungan keduanya telah diketahui khalayak ramai, Wang Shixian bahkan tidak akan berpikir dua kali untuk memeluk sang kekasih di depan semua orang.Sayang sekali karena dia masih harus bersabar."Jadi, apa tantangan berikutn
"Benarkah Tuan Putri?!"Wang Shixian mengangguk tanpa menoleh pada pelayannya. Dia tampak sibuk dengan kuas di tangannya, menulis karakter demi karakter di atas kertas putih. "Ta-tapi ... bagaimana caranya Tuan Li bisa tiba di istana secepat itu, Tuan Putri? Maksudku, itu sangat ... ajaib. Sangat mengejutkan." Meski Mingyue merasa sangat senang sekaligus lega karena lelaki yang dicintai majikannya tidak terlambat untuk mengikuti sayembara dan bahkan mampu lolos di tahap pertama, dia tetap merasa sulit untuk percaya. Pasalnya, secepat apa pun Genjo Li berlari, bahkan meski menunggangi kuda sekalipun, tidak akan bisa mengejar keterlambatan."Mulai sekarang, persiapkan dirimu untuk terkejut. Percayalah, lelaki yang aku cintai itu bukan sembarang." Wang Shixian tersenyum lebar sambil melipat kertas dan memasukkannya ke dalam amplop cokelat."Si-siapa dia sebenarnya Tuan Putri?""Waktu akan menjawabnya. Kau pasti akan sangat terkejut. Sudah, sekali juga antarkan surat ini pada Kakak Li. P
Genjo Li hanya diam dan tersenyum tipis, tetapi daripada membalas tatapan lelaki yang mengejeknya, dia lebih memilih untuk membuang pandangan ke tanah, seolah tanah yang dia injak bahkan lebih layak untuk dipandang. Sebagai seorang yang sepertinya berasal dari kalangan terpelajar, lelaki di hadapan Genjo Li pun mendengkus kesal lantaran lawan bicaranya tidak mau melihatnya. "Karena persik itu belum tentu jatuh karena panahmu, menepilah. Kau masih bisa melihat sayembara ini.""Tunggu!"'Chen Wuji? Untuk apa dia ikut campur?!' desis Wang Shixian curiga. Tentu saja sudah sejak tadi dia ingin membela kekasihnya. Tidak peduli persik itu jatuh karena panah Genjo Li ataupun karena telah masak, yang dia pikirkan hanyalah, sang kekasih harus bisa lolos dalam tantang pertama itu.Melihat Chen Wuji angkat bicara, sudah pasti membuat hati Wang Shixian kian panas saja. Dia sangat yakin jika lelaki itu akan mendukung peserta yang ingin menyingkirkan Genjo Li. Tentu saja dengan cara yang sangat mem
"Semua gagal!" teriak prajurit yang memimpin jalannya sayembara.Seketika itu pula Wang Shixian berusaha keras untuk tidak pingsan. 'Apa katanya? Semua gagal? Kakak Li gagal? Kekasihku gagal?!' batin perempuan itu tidak berhenti bertanya karena tidak percaya selagi kedua matanya masih terkatup, kian rapat.Wang Shixian tidak berani membuka matanya untuk melihat kenyataan yang terjadi. Dia bahkan tidak berhenti menyalahkan diri sendiri karena memilih tantangan sesulit itu di tahap awal hingga membuat kekasihnya gugur begitu saja.Mulanya dia berpikir pelayan kedai itu adalah seorang ahli panah karena Genjo Li mampu memanah para pembunuh bayaran itu dengan tepat dari jarak yang jauh dalam keadaan gelap ketika menyamar menjadi Pendekar Bertopeng. Namun, ternyata ...Sungguh, jika bukan karena ingin menjaga perasaan sang ayah, perempuan itu akan nekat memanah dirinya sendiri. 'Lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang tidak dicintai!' Begitulah yang ada di dalam benak Wang Shixia
Tantangan memanah yang harus dilakukan para peserta lomba bukanlah sekadar memanah biasa, melainkan memanah yang akan memerlukan kemampuan tingkat tinggi. Peserta dengan kemampuan memanah pas-pasan atau biasa saja, akan sulit untuk lolos dalam tantangan pertama ini. "Kalian harus memanah dari jarak 10 meter." Beberapa lelaki tersenyum mendengar ucapan sang putri. Mereka merasa cukup mampu untuk melewatinya. "Sekarang, berbaliklah," perintah Wang Shixian. Para peserta sayembara serentak balik badan. Di hadapan mereka kini terlihat pohon-pohon persik yang tingginya sekitar 8-10 meter. Banyaknya pohon persik di lahan itu membuatnya tampak seperti kebun buah persik. "Aku suka sekali buah persik. Oleh sebab itu, aku meminta kalian memetiknya untukku. Bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan memanahnya." Sontak saja para peserta terkejut hingga tanpa sadar mulut mereka terbuka dengan sendirinya. Tadi Putri Wang mengatakan bahwa mereka harus memanah dari jarak 10 meter. Dan sekarang
Para peserta sayembara telah berkumpul di halaman belakang istana. Bisa dilihat betapa besar antusiasme masyarakat atas kompetisi untuk mencari lelaki terbaik yang akan menjadi suami untuk sang putri itu. Lapangan yang luas bahkan terlihat penuh oleh mereka.Pada mulanya para lelaki itu saling berbicara dengan orang-orang yang berada di sekitar hingga kemudian kedatangan Wang Weo dan putrinya membuat mereka diam seketika. Sebagai pihak yang mengadakan sayembara, Wang Weo memang sengaja hadir untuk membuka kompetisi itu. Dia memberikan kalimat penyemangat sekaligus peringatan bahwa sayembara itu tidak akan mudah."Aku pastikan hanya lelaki terpilih yang bisa lolos dan menjadi menantuku."Mendengar kalimat terakhir sang kaisar ada perbedaan yang dirasakan para peserta. Banyak di antara mereka yang menjadi lebih bersemangat untuk memenangkan perlombaan. Namun tidak sedikit pula yang merasa takut. Tentu mereka tidak akan lupa, biar bagaimanapun lelaki yang menjadi ayah dari 'hadiah' peme
Pintu gerbang depan istana Haidong telah ditutup rapat ketika matahari berada di atas kepala. Tidak sedikit lelaki yang harus gigit jari karena datang terlambat untuk mendaftarkan diri dalam sayembara. Seperti belum rela dengan kenyataan pahit itu, mereka bahkan masih berdiri dengan tubuh menempel pada gerbang demi melihat para lelaki yang mendaftar di detik-detik terakhir tetapi tidak memiliki nasib seburuk mereka.Meski seandainya mereka berhasil terdaftar sebagai peserta sayembara, belum tentu juga berhasil memenangkannya, setidak-tidaknya mereka telah mencoba. Dan sekarang, apa boleh buat? Bahkan kesempatan untuk menjadi peserta saja sudah tidak mereka miliki.Seorang lelaki yang berada di barisan paling akhir tampak menatap lekat ke arah gerbang. Sepertinya dia sedang mengamati orang-orang yang telah gugur bahkan sebelum mereka terjun ke arena pertempuran.'Jika saja Junsi tidak mengingatkanku, pasti kini aku berada di antara lelaki itu.'Tepat sekali, pria yang memandang ke arah