Fajar menyongsong. Hujan turun dengan derasnya. Air hujan menyapu bersih darah yang berserakan di desa Buncitan, mengalirkannya lewat parit misterius di dekat pohon beringin.
Asoka terbangun saat genangan air mengelilingi tubuhnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar demi bisa mengais serpihan air hujan. Kepalanya terlampau pening. Tubuhnya terbaring di sebuah kubangan yang airnya berwarna cokelat kemerahan.
“Di mana ini?” tanyanya kebingungan.
“Apa aku sudah mati? Apa sudah waktuku menyusul bapak dan ibu ke alam baka? Jika memang begitu, aku bisa bersyukur. Aku mati tanpa rasa sakit. Tulang-tulangku juga tidak ada yang bermasalah.”
“Tapi sebentar, ini bukan mimpi, ini nyata! Apa yang terjadi denganku?”
Bingung membuat Asoka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan belantara. Tidak ada rumah ataupun jejak kaki yang nampak. Asoka sadar dia masih hidup walau badannya penuh dengan luka. Saat menoleh ke belakang, dia terkejut bukan main.
Lubang setinggi satu hasta seperti ingin melahap Asoka hidup-hidup.
Kala matahari perlahan naik, Asoka mendengar derap langkah kaki yang menginjak dedaunan kering di sisi kirinya. Jaraknya lumayan jauh, tapi Asoka bisa merasakan kehadiran tiga orang di sini.
Ingin sekali Asoka berteriak minta tolong, tapi dia teringat pembantaian yang dilakukan Elang Hitam malam kemarin.
Bermodal satu pisau yang dililitkan di celana belakang, Asoka mulai masuk menjelajahi hutan. Namun baru beberapa langkah dia berjalan, terasa hembusan nafas yang membuat bulu kuduk lehernya berdiri.
“Mau pergi ke mana kau? Aku bisa merasakan nafasmu. Sejauh apapun kau bersembunyi, sejauh apapun kau menghindari kami, kami tetap bisa menemukanmu!”
Asoka memberanikan diri untuk menoleh. Seorang lelaki jangkung berdiri dengan pedang siap diayunkan. Tanpa basa-basi, Asoka menusukkan pisau tumpulnya ke pinggang lelaki itu.
Ugh!
Pria jangkung melepas cengkeramannya di leher Asoka setelah pisau tumpul itu menusuk pinggang kanannya. Darah mengalir deras walaupun pisaunya tidak begitu lancip.
Memanfaatkan kesempatan yang ada, Asoka lari menjauhi si pria jangkung yang ternyata adalah Bono.
“Jangan kabur kau, Bocah! Aku akan membunuhmu!” Bono berteriak. “Cepat kejar bocah itu, jangan biarkan dia lolos!”
Saat tengah berlari menyusuri hutan, sebilah pisau melayang dan menancap di pohon pisang. Jika saja Asoka tidak menghentikan langkahnya, pisau itu bisa membelah kepalanya.
“Bukankah sudah kubilang, kau tidak bisa kabur dariku? Penciuman pendekar tingkat langit tidak bisa diremehkan. Aku memang tidak ahli dalam ilmu berpedang atau jurus-jurus seperti pendekar pada umumnya. Tapi penciuman ini yang jadi andalanku dalam bertarung!”
Setelah memuji dirinya sendiri, Bono bergerak mendekati Asoka. “Aku akan menyiksamu lebih dulu. Kau tidak boleh mati sebelum merasakan rasa sakit yang amat pedih!”
Asoka hanya bisa diam dan membatin. ‘Ibu, Bapak, maafkan aku. Asoka tidak bisa memenuhi keinginan kalian untuk jadi pendekar sejati.’
Doa dan harapan belum selesai dibatinkan, tapi tiba-tiba terdengar suara auman harimau dari sisi kiri.
Bono memanggil dua anak buahnya. Tiga kali memanggil, tetap tidak ada jawaban. Bono semakin yakin anak buahnya mati diterkam dua harimau yang mengaum-ngaum itu.
Semak-semak di bagian kiri bergetar. Tiga muka harimau muncul dari balik sana. Ketiganya mengincar Bono karena Asoka melakukan kamuflase, seakan-akan Asoka tidak ingin mengusik harimau itu.
Pedang lancip tentu menarik perhatian sang harimau. Mereka mengeluarkan cakar-cakar tajam, bergantian melompat ke arah Bono.
Jleb!
Jleb!
Bono berhasil melumpuhkan dua ekor harimau.
Melihat ada kesempatan, Asoka memaksakan diri menerobos ilalang tinggi yang ada di sisi kanan. Lengannya berdarah tersayat ilalang, tapi dia bersyukur. Dia berhasil kabur dari kematian.
“Hahaha… kau tidak bisa kabur, Bocah!” suara Bono tiba-tiba terdengar padahal Asoka sudah lari secepat mungkin. “Jangan kira tiga harimau tadi bisa membunuhku!”
Pisau tumpul di tangan Bono berlumuran darah. Pisau itu digunakan untuk menikam harimau terakhir. Dan sekarang, Bono ingin menggunakannya untuk menguliti Asoka, menyiksanya sampai bocah itu mati mengenaskan.
Asoka bergetar. Dia ketakutan, berjalan mundur dengan langkah gontai. Saat pisau itu diayunkan, Asoka reflek memejamkan mata.
Ting!
Bunyi gesekan dua besi terdengar nyaring di telinga.
Asoka masih belum membuka matanya. Dia terlampau takut hingga pikirannya kacau. Dia terus membatin, apakah aku sudah mati? Tapi kenapa tidak ada rasa sakit?
Membuka mata karena penasaran, Asoka melihat pisau bermata dua beradu tepat di depan matnaya. Telat sepersekian detik saja, pisau tumpul tadi sudah menyayat pipi Asoka yang masih mulus.
Seorang kakek tua berjenggot abu-abu datang menolong Asoka.
“Berita tentang perburuan anak dalam ramalan ternyata benar. Aku tidak menyangka Serikat Zhang Ze akan menyuruh Wusasena melakukan pembantaian ini. Yang lebih parah, kalian membantai semua orang demi membunuh seorang bocah?”
“Perguruan Elang Hitam terkanal buas akan kekuatan murid-muridnya, terkenal kuat dan tak tertandingi di pulau ini. Tapi tingkahnya sungguh memalukan!” Kakek itu mendorong tubuh Bono hingga dia hampir jatuh.
Bono mundur beberapa langkah dan berhasil menyeimbangkan tubuhnya lagi. “Ka-kau kan… kenapa kau ada di sini?” ujar Bono dengan mulut gemetar.
“Hahaha, ini adalah kebetulan yang sudah dirancang Dewata, kau dan aku tidak bisa mencegahnya. Aura bocah ini sangat kuat sampai-sampai aku bisa merasakannya dari tempat yang sangat jauh.” Kakek tua itu terkekeh ringan. “Silakan, kau boleh pergi!”
Asoka melihat kakek tua itu maju beberapa langkah. Dia memotong telinga kanan Bono dan Bono tidak memberikan perlawanan sedikitpun. “Persembahkan ini pada ketuamu! Katakan padanya, Seno Aji masih hidup dan melindungi sang anak dalam ramalan!”
“Mustahil. Aku pasti mati kehabisan darah,” kata Bono.
“Lihat telingamu, hanya sedikit darah yang mengalir dari sana! Aku mengalirkan energi alam di pedang ini. Karena itulah, darahmu tidak akan mengucur sebelum kau sampai di perguruan.”
“Tapi kenapa tidak ada rasa sakit?”
“Baiklah, ini rasa sakitnya,” kata Seno Aji sambil menjetikkan jemarinya.
Teriakan rasa sakit terdengar nyaring. Asoka tidak mau menyiakan kesempatan. Dia kabur karena takut dengan keberingasan si kakek. Namun langkah kakinya terlalu lambat. Telunjuk sang kakek lebih cepat menyentuh leher Asoka.
Bocah itu tiba-tiba pingsan.
***
Asoka merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan. Efek dari totokan si kakek tua membuatnya lumpuh. Ingin rasanya dia bunuh diri dan segera menyusul orang tuanya ke alam baka.
Terdengar suara langkah kaki dari balik air terjun. Sang kakek keluar sembari menyunggingkan senyum,
“Siapa kau!” Asoka membentak kakek tua itu. “Jika kau ingin membunuhku, maka lakukanlah! Jangan siksa aku seperti ini!”
Kakek tua itu tidak bergeming. Dia tetap duduk sambil mengelus-elus jenggot abuabunya. Di tangannya terdapat sebuah pedang kecil berukuran telunjuk manusia.
“Cepat bunuh aku, Kek! Gunakan pedangmu untuk menggorok leherku! Biarkan semua dunia tahu kalau keluargaku ditakdirkan mati mengenaskan di tangan orang-orang aliran hitam!” Asoka berteriak hingga membuat air terjun di sampingnya bergetar.
Shaat!
Sang kakek mendekati Asoka sambil menggenggam pedang kecilnya erat-erat. Asoka hanya bisa melihat pedang itu berayun cepat ke lehernya.
Asoka berteriak kesakitan. Pedang kecil yang dibawa si kakek berhasil melukai leher Asoka. Darah keluar dari leher Asoka, mengalir lumayan deras. Jika terus dibiarkan, Asoka bisa mati kehabisan darah."Sialan kau!" Asoka menendang Ki Seno Aji dan berlari menyusuri hutan.Ki Seno hanya tersenyum. Dia sengaja membuat goresan di leher Asoka meskipun tidak terlalu dalam. Untuk sementara waktu, Ki Seno membiarkan Asoka melarikan diri ke dalam hutan.Asoka kecil sering dididik agar tidak takut pada siapapun. Manusia sama-sama makan nasi dan minum air. Darmono bahkan melarang Asoka sujud pada siapapun, kecuali pada orang tua dan guru yang mengajarkan ilmu. Sebesar apapun kekuatan yang dimiliki manusia, itu semua tak lepas dari kehendak Dewata.Asoka tahu yang menolongnya adalah Ki Seno Aji, pendekar terkuat yang namanya terkenal di seluruh daratan Jawa, bahkan seluruh dunia. Tapi ketika dia merasa terancam, dia berhak untuk melawan tanpa takut mati sedikitpun.
Bersama Ki Seno Aji, Asoka menghabiskan waktunya hingga dia berhasil mencapai tingkat pendekar bumi awal. Sejauh ini tidak ada latihan fisik yang diajarkan Ki Seno Aji.Asoka hanya disuruh mencari kayu bakar di hutan, berburu hewan dengan panah dan tombak, serta memanjat pohon-pohon tinggi untuk mengasah kekuatan tangan dan kakinya. Kadang Asoka bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia mau disuruh-suruh seperti ini. Bahkan Asoka diperlakukan seperti pembantu, sedangkan Ki Seno hanya duduk menunggu di gubuk.Memasak, berburu, mencari buah, bahkan menimba dua gentong besar air di sungai yang letaknya sangat jauh dari gubuk, semua dilakukan Asoka.Hingga suatu hari, Asoka bertanya pada Ki Seno."Apa ini yang disebut latihan, Kek? Aku harus melakukan pekerjaan seperti pembantu?""Sepertinya tulangmu bertambah kuat," lirih Ki Seno, tidak menghiraukan pertanyaan Asoka. Ki Seno mengajak Asoka duduk, menikmati kopi panas di bawah mentari senja. "Sudah tig
Asoka menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sakit yang amat menyiksa di punggungnya. Keringat mengucur dari pori-pori Asoka, mengalir membersihkan darah di sobekan bibirnya. Panasnya semakin terasa kala air sungai makin mendidih.Panas luar akibat uap air sungai, panas di dalam akibat energi yang dialirkan dari telapak tangan Ki Seno.Ingin rasanya Asoka menyerah menghadapi penderitaan ini, tapi ingatannya kembali memutar pembantaian beberapa minggu lalu. Seketika ucapan bapaknya terngiang di telinganya."Asoka janji memenuhi cita-cita Bapak. Asoka akan jadi pendekar sejati!"Pemindahan energi serta pembenahan detak nadi selesai dilakukan. Ki Seno lemas tak berdaya. Tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk begitu saja.Menjelang sore, Ki Seno sadar dan melihat Asoka duduk di atas batu besar tadi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Ki Seno."Aku tidak memikirkan apa-apa, Kek, hanya menunggumu siuman. Di sebelah goa ada ikan bakar untuk Kakek, aku tadi m
Semakin lama Asoka memandangi batu itu, nyala cahayanya semakin membesar. Asoka tidak kuat menatapnya terlalu lama. Dia khawatir cahaya itu bisa membutakan kedua matanya.Asoka menggeliat dan pergi ke sungai untuk membersihkan tubuhnya. Dia menguap lebar karena tadi malam tidak bisa tidur. Sambil bersiul kecil, dia masuk ke goa untuk mengambil kayu yang biasa dia gunakan menombak ikan.Lumayan lama Asoka menunggui ikan di sungai, sampai dia bosan dan tertidur. Nampaknya tidak ada ikan yang selamat akibat ledakan energi yang terjadi semalam.Asoka membangunkan Ki Seno, minta diajari ilmu meringankan tubuh."Untuk apa?" tanya Ki Seno singkat."Aku ingin pergi ke atas mencari buah-buahan yang bisa kita makan."Ki Seno mengajari Asoka ilmu meringankan tubuh."Untuk pemula sepertimu, kau harus bisa memusatkan energi di bagian paha dan punggung. Letakkan kedua tanganmu di atas lutut, pastikan telapak tanganmu terbuka. Tegakkan punggung dan
Asokamenderita luka bakar di lengan kanannya. Rasanya panas sekali. Untung saja bukan api hitam yang digunakan Gatra.Pertarungan itu berlangsung cukup lama hingga membuat seperlima hutan terbakar. Asokaterus-terusan menghindar tanpa melayangkan satu serangan pun. "Gunakan pedang itu untuk melawanku!" teriak Gatrayang terbang agak tinggi di udara. "Gitu dong, mbok ya ngomong kalau aku boleh makai pedang ini buat ngelawanmu." Ki Senomenepuk jidatnya sendiri. Ternyata ada orang yang lebih bodoh darinya dulu waktu pertarungan pertama melawan Gatra. "Terapkan apa yang kuajarkan padamu, Asoka!" teriak Ki Senodari atas gua. "Kakek sialan! Udah nggak mau bantu malah marah-marah tanpa solusi!" "Siapa yang marah, Setan!" Semburan api Gatrakembali mengenai baju Asokadan membuat pemuda itu lari kocar-kacir. Karena apinya sangat panas, Asokaterpaksa memotong bajunya dan membuangnya di su
Dengan cepat, Ki Senomelesat menggunakan Ajian Sepuh Angin dan menyelamatkan Asokadari bebatuan sungai. Telat sepersekian detik saja tubuh Asokasudah hancur. “Byuh, syukurlah aku masih sempat,” lirih Ki Seno, lalu membaringkan Asokadi dekat goa. Di sisi lain, Gatramasih belum percaya kalau teriakan itu muncul begitu saja dari mulut Asoka. Dia mengepakkan sayap dan bertengger di atas goa. Ki Senomenyibak pakaian Asokadan Gatrapun melihat tato gagak hitam yang ada di leher pemuda itu. Tatonya menyala dan mengeluarkan cahaya keemasan. Mulai saat itu, Gatramengikuti kemana pun Asokapergi. Pada saat mencari pisang di keesokan harinya, Ki Senoterkejut karena tato gagak hitam milik Asokahilang. Dia bertanya serius, tapi Asokamenjawabnya dengan enteng. “Ya mana Asokatahu, ngelihat leher sendiri saja tidakbisa!” “Ooo bocah semprul! Aku tanya serius malah s
Sepintas terbayang kejadian pembantaian waktu itu, Asoka naik pitam. Energi Gatra meluap-luap dalam tubuhnya. Api kemerahan menyelimuti tubuh Asoka; api amarah bercampur api kekuatan mustika merah.Bono mundur beberapa langkah. Dia tidak pernah merasakan energi sebesar ini. Langkahnya gontai dan pandangannya mulai sayu.Asoka mendekati Bono dengan pedang terhunus. Entah siapa yang mengajarinya ilmu berpedang, dia tiba-tiba bisa menggunakannya. Asoka yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Amarah menguasainya.- Pedang Tanpo Wujud -Satu kali kibatan pedang tidak berimbas apapun pada Bono."Lucu sekali. Kau hanya membelah angin," ejek Bono."Aku memang membelah angin, tapi angin itu akan membelahmu!"Bono mengernyitkan dahi. Namun tak berselang lama, muncul angin berbentuk baling-baling dari belakang Asoka. Angin itu memotong setiap yang dia lalui. Tubuh Bono terpecah menjadi dua. Asoka mendekati jasad Bono, mengambil peta yang ada di
Pertemuan Asoka dengan Mbok Sari berlangsung singkat. Banyak pelajaran yang bisa diambil, terutama alasan kenapa harus memilih pendekar tanpa aliran. Berjalan menyusuri hutan belantara, Asoka terus memikirkan kalimat terakhir yang diucapkan Mbok Sari, mengulanginya sampai Gatra bosan. Hitam belum tentu buruk, dan putih tidak selamanya baik, namun mereka berdua tidak bisa bersatu. Banyak sekali pendekar aliran hitam yang menolong sesama, memiliki asas gotong royong yang kuat, bahkan rela mengorbankan nyawa demi golongannya sendiri. Begitu juga pendekar aliran putih, tidak selamanya nampak baik di benak pendekar. Jawa merupakan markas pendekar aliran putih, penyebarannya begitu merata. Berbeda dengan aliran hitam yang hanya ada di bagian Timur. Namun pemikiran masyarakat sudah bergeser akibat maraknya pemalakan yang dilakukan oleh pendekar aliran putih. Perguruan Teratai Hijau dan Perguruan Awan Putih merupakan dua dari sekian perguruan yang ser
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As