“Sekarang musim hujan ya, Pak? Asoka ingin hujan-hujan, tapi Asoka harus pergi dari sini. Asoka sedih harus pisah sama Bapak saat hujan seperti ini.”
Yang di atas memanglah hujan, tapi bukan hujan biasa. Ratusan anak panah melesat bagai air hujan. Darmono yang mengetahui hal tersebut, langsung melingkarkan tubuhnya ke tubuh anaknya.
Crat!
Darah mengucur begitu sebuah anak panah menusuk punggung Darmono hingga tembus sampai ke perut. Ada cairan hijau di ujung panah, menandakan panah ini sudah dilumuri racun mematikan.
“Pergilah temui ibumu!” kata Darmono, suaranya semakin lemah. “Bapak sudah tidak kuat lagi. Hanya ini yang bisa Bapak lakukan untuk melindungimu. Pengorbanan Bapak jangan kau sia-siakan, Asoka!”
“Tapi Bapak dulu pernah bilang ingin melihatku jadi pendekar sejati. Kenapa Bapak malah melukai diri seperti ini?”
“Nak, dengarkan Bapak! Kamu harus pergi sekarang. Temui ibumu dan peluk dia sampai puas! Bapak tidak bisa bergerak lagi. Racun panah ini terlalu kuat. Kaki dan tangan Bapak sudah mati rasa. Cepat pergi ke rumah dan ajak ibumu pergi!”
Asoka berbalik badan dan lari menuju ujung desa. Tangis mengiringi langkah kakinya meninggalkan Darmono yang terduduk lesu. Belasan anak panah beracun menembus tubuh lelaki paruh baya itu. Padahal dia tidak ingin mati sebelum melihat anaknya menjadi pendekar sejati.
Tanpa memperdulikan bapaknya, Asoka terus berlari hingga sampai di perbatasan desa.
Desa Buncitan terbagi jadi dua wilayah. Selatan tempat khusus untuk bekerja dan Utara adalah rumah sebenarnya. Bila ada penyerangan, maka musuh harus melewati gerbang Selatan untuk mencapai rumah-rumah warga.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Darmono menatap punggung anaknya yang semakin menjauh. Tubuhnya semakin lemas dan kaku, bahkan rongga mulutnya terasa seperti dicekik dua orang sekaligus. Pandangannya gelap. Dia mati.
“Kenapa jembatan penyeberangannya roboh?” Asoka berbicara dengan dirinya sendiri. “Padahal tadi pagi jembatan ini masih berdiri kokoh.”
“Ada apa di sana?” Asoka terkejut saat mendengar tebaran debu dari balik bukit Selatan. “Oh Dewata, aku mohon, lindungi desaku. Jika memang ini takdirnya, setidaknya beri aku kesempatan melihat ibu untuk yang terakhi kalinya.”
Asoka berenang melewati sungai yang alirannya lumayan deras. Dari balik hutan, dia mendengar suara derapan kaki. Puluhan orang bergerak jauh lebih cepat dari Asoka.
Hal yang tidak pernah terduga sebelumnya terjadi. Desa bagian Selatan dikepung oleh puluhan pendekar dengan ikat kepala hitam. Mereka membabi-buta, membunuh tiap warga tanpa belas kasihan.
Pertempuran tidak bisa dielakkan. Darah bertebaran di mana-mana. Suara tangisan rasa sakit seringkali bersahutan dengan suara tawa yang menyeringai.
Saat tengah berlari menuju rumahnya, leher Asoka diincar oleh seorang pemanah. Panah itu melesat sangat kencang. Asoka berhasil menghindari panah itu, tapi seorang lelaki mencegatnya.
“Mau lari ke mana kau, Bocah? Ketua kami menginginkan nyawamu. Jika kami berhasil mendapatkan kepalamu, perguruan kami akan diakui oleh Serikat Zhang Ze,” kata lelaki itu.
Asoka dua kali menghindari ayunan pedang dan berhasil menendang titik sensitif sang lelaki hingga merintih kesakitan. Asoka tidak membuang kesempatan. Dia menggigit lengan lelaki itu hingga berdarah.
Satu pendekar lain marah melihat rekannya dilukai. Dia lari ke arah Asoka lalu mengayunkan pedangnya dengan sangat cepat.
Trang!
Sebelum pedang itu menebas punggung Asoka, seorang lelaki paruh baya berjenggot putih datang menangkisnya. Dia adalah Manan, tetangga sebelah rumah Asoka.
“Pulanglah dan segera temui ibumu!” kata Manan.
“Ta-tapi…”
“Tidak ada tapi! Ibumu sudah menunggu di rumah. Cepat temui dia dan dengarkan pesan-pesan terakhirnya! Sudah tidak ada waktu untuk berkata tapi, semua pendekar Elang Hitam sedang mengincar nyawamu!”
“Ba-baik, aku akan pergi. Terima kasih, Paman.”
Asoka lari hingga sampai di ujung desa, dekat gerbang Utara yang berbatasan langsung dengan hutan berantara.
Saat pintu dibuka, Asoka menyaksikan ibunya disiksa hingga berdarah-darah. Patmi, ibu Asoka, ditidurkan di atas ranjang dengan tangan dan kaki terikat. Bayangkan ketika anak 13 tahun melihat ibunya sendiri dikuliti oleh 3 orang lelaki tepat di depan mata!
Ketiganya tertawa saat mendengar rintihan Patmi. Bukan rintihan nikmat, tapi rintihan rasa sakit karena mereka menyiksanya dengan sangat brutal. Patmi tidak bisa melawan keberingasan orang-orang itu.
Kletak!
Patmi sadar ada yang membuka pintu. Dia menoleh dan melihat Asoka mengintip dari celah kecil pintu rumahnya. Melihat anaknya menangis, Patmi langsung tersenyum dan menghentikan tangisannya.
“Cepat pergi dari sini, jangan pedulikan ibu!” Patmi menggerakkan mulutnya dan berujar tanpa suara.
Asoka tidak peduli. Dia membuka pintu lebar-lebar hingga tiga lelaki tadi menoleh ke arahnya. Seorang lelaki dengan ikat kepala putih mendekati Asoka.
“Ibumu sangat cantik, apa kau tidak mau jadi anak angkatku?” tanya Bono, pemimpin regu B yang menyerbu desa bagian Utara.
“TIDAK!” Teriakan Asoka membuat kayu-kayu gubuk itu retak. Getarannya sangat kuat hingga langit pun bergetar mendengarnya. “Aku tidak sudi menjadikanmu bapak!”
“Yaa terserah, itu pilihanmu. Jika kau tidak mau, maka ibumu akan kusiksa seperti ini!”
Kengerian itu dipertontonkan Bono tepat di depan mata Asoka. Asoka melihat sendiri seberapa bengisnya Bono, memperlakukan Patmi seperti boneka yang bisa dimainkan sepuasanya.
“Cepat pergi!” Patmi membentak Asoka.
“Tidak, Ibu, aku harus menyelamatkanmu dari penderitaan ini. Aku akan menolong warga desa. Aku akan menolong semua orang baik di dunia ini!”
“Hahahaha…”
Tiga pendekar Elang Hitam tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin seorang bocah bisa mengalahkan pendekar Elang Hitam yang rata-rata sudah berada di tingkatan pendekar langit.
“Tidak ada waktu lagi!”
“Jangan bicara!’ Bono menampar pipi Patmi sangat keras.
“Apa? Kau ingin membunuhku? Lakukan selagi kau bisa melakukannya! Tapi jangan salahkan aku jika anakku nanti yang akan membalasnya!”
Bono melirik Patmi dengan tatapan sinis.
Juih!
Patmi meludahi wajah Bono dan membuat Bono naik pitam. Pisau dikeluarkan Bono untuk menikam perut Patmi tiga kali.
“Cepat pergi, Nak, ibu selalu mendoakanmu!” ujar Patmi.
“Mau mati saja masih berisik!”
“Bu-bunuh aku, cepat!”
“Baiklah jika itu yang kau inginkan.” Bono mencabut pisaunya dan menusukkannya ke leher Patmi. “Lebih baik kau mati dari pada suaramu mengganggu kesenangan kami bertiga!”
Asoka lari terbirit-birit melewati gerbang Utara desa. Dia mencari parit yang pernah ditunjukkan bapaknya dulu. Tapi sayang, parit itu sudah tertutup semak dan rerumputan tinggi.
Di belakang, Bono dan dua kawannya mengejar Asoka dengan pedang terhunus.
Berlari dengan pandangan kosong, Asoka tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak peduli apapun, bahkan tidak merasakan sakit saat duri dan ilalang menggores kakinya.
“Jangan kabur atau kubunuh kau!” teriak Bono.
Asoka terus berlari hingga dia menginjak dedaunan kering yang ada di samping daun beringin. Itu adalah beringin terbesar yang sudah hidup 200 tahun lalu. Asoka tiba-tiba hilang dan hanya tersisa…
Aaaaaaaa!
Bocah itu jatuh ke dalam parit yang sangat dalam.
Konon, parit itu dibuat untuk menjebak penyusup yang ingin menerobos masuk melalui gerbang Utara desa. Tidak ada jaminan hidup bagi siapapun yang jatuh ke dalamnya.
“Mungkin bocah itu sudah mati karena jatuh dari lubang setinggi ini,” lirih Bono.
Fajar menyongsong. Hujan turun dengan derasnya. Air hujan menyapu bersih darah yang berserakan di desa Buncitan, mengalirkannya lewat parit misterius di dekat pohon beringin.Asokaterbangun saat genangan air mengelilingi tubuhnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar demi bisa mengais serpihan air hujan. Kepalanya terlampau pening. Tubuhnya terbaring di sebuah kubangan yang airnya berwarna cokelat kemerahan.“Di mana ini?” tanyanya kebingungan.“Apa aku sudah mati? Apa sudah waktuku menyusul bapak dan ibu ke alam baka? Jika memang begitu, aku bisa bersyukur. Aku mati tanpa rasa sakit. Tulang-tulangku juga tidak ada yang bermasalah.”“Tapi sebentar, ini bukan mimpi, ini nyata! Apa yang terjadi denganku?”Bingung membuat Asokamengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan belantara. Tidak ada rumah ataupun jejak kaki yang nampak. Asokasadar dia masih hidup walau badannya penuh dengan luka. Saat menoleh ke
Asoka berteriak kesakitan. Pedang kecil yang dibawa si kakek berhasil melukai leher Asoka. Darah keluar dari leher Asoka, mengalir lumayan deras. Jika terus dibiarkan, Asoka bisa mati kehabisan darah."Sialan kau!" Asoka menendang Ki Seno Aji dan berlari menyusuri hutan.Ki Seno hanya tersenyum. Dia sengaja membuat goresan di leher Asoka meskipun tidak terlalu dalam. Untuk sementara waktu, Ki Seno membiarkan Asoka melarikan diri ke dalam hutan.Asoka kecil sering dididik agar tidak takut pada siapapun. Manusia sama-sama makan nasi dan minum air. Darmono bahkan melarang Asoka sujud pada siapapun, kecuali pada orang tua dan guru yang mengajarkan ilmu. Sebesar apapun kekuatan yang dimiliki manusia, itu semua tak lepas dari kehendak Dewata.Asoka tahu yang menolongnya adalah Ki Seno Aji, pendekar terkuat yang namanya terkenal di seluruh daratan Jawa, bahkan seluruh dunia. Tapi ketika dia merasa terancam, dia berhak untuk melawan tanpa takut mati sedikitpun.
Bersama Ki Seno Aji, Asoka menghabiskan waktunya hingga dia berhasil mencapai tingkat pendekar bumi awal. Sejauh ini tidak ada latihan fisik yang diajarkan Ki Seno Aji.Asoka hanya disuruh mencari kayu bakar di hutan, berburu hewan dengan panah dan tombak, serta memanjat pohon-pohon tinggi untuk mengasah kekuatan tangan dan kakinya. Kadang Asoka bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia mau disuruh-suruh seperti ini. Bahkan Asoka diperlakukan seperti pembantu, sedangkan Ki Seno hanya duduk menunggu di gubuk.Memasak, berburu, mencari buah, bahkan menimba dua gentong besar air di sungai yang letaknya sangat jauh dari gubuk, semua dilakukan Asoka.Hingga suatu hari, Asoka bertanya pada Ki Seno."Apa ini yang disebut latihan, Kek? Aku harus melakukan pekerjaan seperti pembantu?""Sepertinya tulangmu bertambah kuat," lirih Ki Seno, tidak menghiraukan pertanyaan Asoka. Ki Seno mengajak Asoka duduk, menikmati kopi panas di bawah mentari senja. "Sudah tig
Asoka menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sakit yang amat menyiksa di punggungnya. Keringat mengucur dari pori-pori Asoka, mengalir membersihkan darah di sobekan bibirnya. Panasnya semakin terasa kala air sungai makin mendidih.Panas luar akibat uap air sungai, panas di dalam akibat energi yang dialirkan dari telapak tangan Ki Seno.Ingin rasanya Asoka menyerah menghadapi penderitaan ini, tapi ingatannya kembali memutar pembantaian beberapa minggu lalu. Seketika ucapan bapaknya terngiang di telinganya."Asoka janji memenuhi cita-cita Bapak. Asoka akan jadi pendekar sejati!"Pemindahan energi serta pembenahan detak nadi selesai dilakukan. Ki Seno lemas tak berdaya. Tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk begitu saja.Menjelang sore, Ki Seno sadar dan melihat Asoka duduk di atas batu besar tadi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Ki Seno."Aku tidak memikirkan apa-apa, Kek, hanya menunggumu siuman. Di sebelah goa ada ikan bakar untuk Kakek, aku tadi m
Semakin lama Asoka memandangi batu itu, nyala cahayanya semakin membesar. Asoka tidak kuat menatapnya terlalu lama. Dia khawatir cahaya itu bisa membutakan kedua matanya.Asoka menggeliat dan pergi ke sungai untuk membersihkan tubuhnya. Dia menguap lebar karena tadi malam tidak bisa tidur. Sambil bersiul kecil, dia masuk ke goa untuk mengambil kayu yang biasa dia gunakan menombak ikan.Lumayan lama Asoka menunggui ikan di sungai, sampai dia bosan dan tertidur. Nampaknya tidak ada ikan yang selamat akibat ledakan energi yang terjadi semalam.Asoka membangunkan Ki Seno, minta diajari ilmu meringankan tubuh."Untuk apa?" tanya Ki Seno singkat."Aku ingin pergi ke atas mencari buah-buahan yang bisa kita makan."Ki Seno mengajari Asoka ilmu meringankan tubuh."Untuk pemula sepertimu, kau harus bisa memusatkan energi di bagian paha dan punggung. Letakkan kedua tanganmu di atas lutut, pastikan telapak tanganmu terbuka. Tegakkan punggung dan
Asokamenderita luka bakar di lengan kanannya. Rasanya panas sekali. Untung saja bukan api hitam yang digunakan Gatra.Pertarungan itu berlangsung cukup lama hingga membuat seperlima hutan terbakar. Asokaterus-terusan menghindar tanpa melayangkan satu serangan pun. "Gunakan pedang itu untuk melawanku!" teriak Gatrayang terbang agak tinggi di udara. "Gitu dong, mbok ya ngomong kalau aku boleh makai pedang ini buat ngelawanmu." Ki Senomenepuk jidatnya sendiri. Ternyata ada orang yang lebih bodoh darinya dulu waktu pertarungan pertama melawan Gatra. "Terapkan apa yang kuajarkan padamu, Asoka!" teriak Ki Senodari atas gua. "Kakek sialan! Udah nggak mau bantu malah marah-marah tanpa solusi!" "Siapa yang marah, Setan!" Semburan api Gatrakembali mengenai baju Asokadan membuat pemuda itu lari kocar-kacir. Karena apinya sangat panas, Asokaterpaksa memotong bajunya dan membuangnya di su
Dengan cepat, Ki Senomelesat menggunakan Ajian Sepuh Angin dan menyelamatkan Asokadari bebatuan sungai. Telat sepersekian detik saja tubuh Asokasudah hancur. “Byuh, syukurlah aku masih sempat,” lirih Ki Seno, lalu membaringkan Asokadi dekat goa. Di sisi lain, Gatramasih belum percaya kalau teriakan itu muncul begitu saja dari mulut Asoka. Dia mengepakkan sayap dan bertengger di atas goa. Ki Senomenyibak pakaian Asokadan Gatrapun melihat tato gagak hitam yang ada di leher pemuda itu. Tatonya menyala dan mengeluarkan cahaya keemasan. Mulai saat itu, Gatramengikuti kemana pun Asokapergi. Pada saat mencari pisang di keesokan harinya, Ki Senoterkejut karena tato gagak hitam milik Asokahilang. Dia bertanya serius, tapi Asokamenjawabnya dengan enteng. “Ya mana Asokatahu, ngelihat leher sendiri saja tidakbisa!” “Ooo bocah semprul! Aku tanya serius malah s
Sepintas terbayang kejadian pembantaian waktu itu, Asoka naik pitam. Energi Gatra meluap-luap dalam tubuhnya. Api kemerahan menyelimuti tubuh Asoka; api amarah bercampur api kekuatan mustika merah.Bono mundur beberapa langkah. Dia tidak pernah merasakan energi sebesar ini. Langkahnya gontai dan pandangannya mulai sayu.Asoka mendekati Bono dengan pedang terhunus. Entah siapa yang mengajarinya ilmu berpedang, dia tiba-tiba bisa menggunakannya. Asoka yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Amarah menguasainya.- Pedang Tanpo Wujud -Satu kali kibatan pedang tidak berimbas apapun pada Bono."Lucu sekali. Kau hanya membelah angin," ejek Bono."Aku memang membelah angin, tapi angin itu akan membelahmu!"Bono mengernyitkan dahi. Namun tak berselang lama, muncul angin berbentuk baling-baling dari belakang Asoka. Angin itu memotong setiap yang dia lalui. Tubuh Bono terpecah menjadi dua. Asoka mendekati jasad Bono, mengambil peta yang ada di
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As