Selama satu minggu terakhir, Asoka mendapat latihan khusus dari Mahapatih Saptajaya.
Perhatian itu mengakibatkan rasa cemburu dan kedengkian dari beberapa pendekar istana yang lain, terutama Mangkualam.
Pagi, siang, sore, hingga malam, Asoka tidak pernah lepas dari pengawasan mahapatih. “Aku tidak menyesal menunda keberangkatanku menuju perguruan. Asoka bisa jadi tombak unggulan Ringin Anom untuk mengalahkan Balidipa di Turnamen Tapak Iblis nanti.”
Pagi harinya Asoka berlari menyusuri pinggiran pantai Kuta hingga berkilo meter jauhnya. Itu dilakukan untuk membakar lemak tubuh Asoka sekaligus pemanasan. Setelah berlari, barulah Asoka menikmati sarapan yang disiapkan khusus untuknya.
Setelah istirahat lumayan lama, siang sampai sore digunakan untuk melatih gerakan khusus yang selama ini Asoka belum tahu. Dan malamnya, Asoka diizinkan memakai ring latihan tanpa harus izin kepada Mangkualam.
Hal
Sudah tiga kali Asokamenolak tantangan Mangkualam, tapi panglima istana terus mendesaknya agar mau menerima tantangan. Beberapa kali pedang diayunkan mengincar leher Asoka.Dengan ilmu meringankan tubuh, Asokabisa berkelittanpa harus membuang energi cuma-cuma.“Sial, dia cepat juga,” batin Mangkualamyang beberapa serangannya dapat dihindari dengan mudah.Mangkualammeminta pedang salah satu prajurit, di tangannya kini ada dua pedang, namun ukuran panjangnya berbeda.Asokajuga memiliki dua pedang, tapi masih disarungkan, yang satu pedang Arjuno dan satunya pedang yang tidak bisa pisah dari badannya, tepat di bawah perut.Semakin lama dibiarkan, Mangkualamsemakin brutal menyerang. Terpaksa, Asokamenunjukkan sedikit keahliannya dalam ilmu berpedang.Trang! Trang!Asokamengayunkan pedangnya horizontal ke atas, menangkis serangan dua pedang Mangkualam. Gesekan besi terdengar
Pedang itu tidakternyata tidakmengincar leher Mangkualam, melainkan tanah tandus biasa. Salah perkiraan sedikit, Mangkualampasti sudah mati. Tapi Asokamemberi ampun pada pria rambut cepak.“Jangan sombong hanya karena kau panglima di sini! Aku bisa saja membunuhmu, tapi aku sadar, aku hanya tamu.Kau masih berada di tingkat kahyangan menengah … menantangku adalah hal paling bodoh yang pernah kau lakukan!”Asoka sekali lagi meludahi Mangkualam, kali ini tepat di lencana panglima yang selama ini dibangga-banggakan pria rambut cepak. “Kau terlalu cepat 20 tahun menantangku karena aku sudah menapaki tingkat naga awal. Seranganmu masih jauh dari kata baik, sebaiknya kau latih kembali nafas dan juga emosimu!”Sebelum memasuki gerbang, Asokaberhenti sejenak, lantas bicara tanpa menolehkepada Mangkualam dan para prajurit.“Ingatlah bahwa di atas langit masih ada langit. Untuk ukuran pra
Semua mata memadang Arnawama, tapi tidak satu pun menaruh kebencian pada pria berambur putih itu karena wibawanya sangat tinggi, bahkan Raja Swarespati kadang menaruh sungkan pada mahapatihnya sendiri.“Ada satu orang, dan kalian telah menyiakannya,” ujar Mahapatih Arnawama, pembawaannya sangat dingin dengan tatapan mata menyelidik.“Katakan siapa orangnya!” pinta raja tanpa basa-basi.“Dia pendekar kuat, penguasa elemen api amplifi tujuh, tidak satu pun pendekar Dwipa yang sanggup mengalahkan elemen apinya selain Datuk Lembu Sora, Anda pasti tahu siapa orangnya.”Memikirkan ucapan mahapatih istana, Raja Swarespati duduk termenung, coba mengingat tahanan mana yang pernah dia sia-siakan. “Aku tidak tahu, cepat sebut namanya!”“Ranu, pendekar yang kalian hina, lalu kalian bunuh tanpa alasan logis.”Panglima Cakra Bumi, Pangeran Wayan, pemimpin pleton, dan para penasehat meneguk ludah
Kedatangan Datuk Lembu Sora selaku pemilik mustika cokelat sangat ditunggumurid Perguruan Tapak Iblis, termasuk ketua perguruan bernama Ki Andara. Dia adalah mantan murid kesayangan Datuk Lembu Sora yang diamanati langsung memegang perguruan milik kakek pria tua itu.“SIlakan, Datuk, kami sudah siapkan hidangan terbaik.”Ki Andara dan beberapa murid memanggil Datuk yang berarni bapak, mereka sudah seperti anak sendiri di mata Datuk Lembu Sora, lebih-lebih Ki Andara.Yatim piatu sejak kecil, Andara menghabiskan masa kecilnya dengan berlatih bersama Datuk Lembu Sora sampai usianya beranjak dua puluh tahun. Setelah itu, dia dipindah-latihkan ke Perguruan Pasir Putih untuk mengenyam teknik bertahan serta menguatkan tulang keringnya.Latihan di atas lumpur hisap berdampak banyak pada pertumbuhan energi Andara, dia berhasil menyabet gelar pendekar kahyangan akhir di usia 25 tahun, sebuah prestasi tersendiri bagi pendekar tanah Dwipa.&ldq
Lima hari berlalu, perseteruan antara Mangkualam dan Asoka tak kunjung selesai. Saptajaya berada di posisi serba salah, dia ingin membela Asoka, tapi rasanya tidak elok membiarkan tamu bertindak semena-mena.Di sisi lain, mahapatih juga tidak bisa membenarkan perilaku Mangkualam yang terus-menerus iri pada perlakuan paduka raja pada Asoka, sementara dia tidak mendapat perlakuan istimewa selama menjabat sebagai panglima.Solusi yang tepat adalah membiarkan Asoka pulang ke tanah Jawa mengingat sebentar lagi Turnamen Neraka Bumi kembali digelar setelah ditunda hampir satu bulan lamanya.“Kau sudah berkembang pesat, tiga gerakan dasar yang kuajarkan ternyata bisa kau kembangkan menjadi gerakan yang lebih efisien, tidak terlalu menguras energi. Baru kali ini aku bahagia memiliki murid sepertimu.” Saptajaya menepuk pundak Asoka seraya menunjukkan gigi-gigi putihnya.“Mohon maaf sebelumnya … tapi kalau boleh jujur, sebenarnya aku sudah m
Sebelum meninggalkan Ringin Anom, pemuda berkuncir lebih dulu mampir ke Perguruan Pasir Putih atas permintaan Saptajaya.Sempat diminta menunjukkan gerakan terbang di udara pada murid-murid Perguruan Pasir Putih, Asoka mengaku segan karena mereka sempat mengajarinya cara menjaga keseimbangan kaki di atas pasir hisap.“Tidak elok seorang murid menunjukkan kebolehan di hadapan gurunya sendiri.” Ucapan Asoka membuat semuanya tertegun.“Bukannya kau sudah menapaki tingkat pendekar naga awal, tapi kenapa kau tetap menganggap murid-murid perguruan sebagai gurumu?” Saptajaya keheranan, dia tidak habis pikir, pemuda sekuat Asoka masih mau merendahkan diri pada murid-murid perguruan.“Semua yang mengajariku adalah guruku, walau hanya satu gerakan, walau hanya satu tarikan nafas. Selayaknya aku harus menghormati mereka, sama halnya aku menghormati guru-guruku yang lain. Bapak telah menanamkan pikiran ini sejak aku berusia lima tahun.&r
Asoka terhenyak melihat pemukiman yang hancur akibat bombardir panah api. Di setiap jalan yang dia lalui, ada banyak sekali jasad berjatuhan, dibuang di atas batu, tidak dimakamkan secara manusiawi.“Karim, apa kau tahu siapa yang melakukan ini?” Pertanyaan Asoka tidak ditanggapi Karim, dia turun dari kuda, mencium bau darah dan mencari sisa-sisa pusaka yang digunakan untuk membantai orang-orang tidak bersalah ini.Ada serpihan pedang yang tertimbun beberapa tangan manusia, Karim menemukannya di dekat pohon beringin besar.“Bau anyir apa ini!” Karim mendengus kesal, dia menginjak-injak tanah, hingga tercebur ke sebuah parit yang cukup dalam.Isinya mayat semua!Asoka dan Kirom membantu Karim keluar dari parit, mereka tidak habis pikir, siapa gerangan yang melakukan perbuatan sekeji ini.Prajurit yang berjaga di perbatasan dimintai keterangan oleh Asoka, mereka ternyata tidak tahu apapun. Kejadian itu terjadi dalam sek
Hari esok tiba. Asoka bangun lebih dulu karena terik matahari menyengat tubuhnya. Lana Ari tidak sedikitpun terlihat lesu, dia tetap terbang seperti biasa, bunyi dengung sayapnya sungguh mengganggu sampai-sampai Gatra keluar dari tubuh Asoka hanya untuk memaki roh lebah itu. “Woi Tawon Gemulai! Bisa kau kecilkan suara kepak sayapmu, tidak? Aku tidak bisa tidur, Bodoh!” Asoka hanya tertawa melihat Gatra, namun si gagak merasa tidak nyaman dengan suara tawa pemuda berkuncir. “Matamu! Bangun tidur langsung tertawa, dasar orang gila!” “Kau yang gila, hanya karena kepak sayap saja tidak bisa tidur. Dasar gagak manja!” Perdebatan itu hanya dibalas senyuman oleh Lana Ari, dia perlahan turun dari ketinggian, menepi di dekat pintu keluar hutan bakau. Berbeda dengan Gatra, Lana Ari lebih pendiam dan suka menikmati suasana. Semua sifat roh mustika merupakan cerminan dari pemiliknya, dan karena itulah, Lana Ari lebih santai. “Kenap
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As