"Berangkatlah secara diam-diam, kamu tidak perlu banyak membawa bekal istriku, bawalah bawaan seperlunya saja," ujar Biswara berpesan.
"Baiklah Kakang, kalau begitu besok pagi aku akan membawa Santana berangkat ke lereng gunung Argapura," ujar Putri Nirmalasari membalas.
"Bagus, berangkatlah, naiklah seekor kuda untuk menemani perjalanan kalian berdua, dan sekarang istirahatlah ... selamat tinggal istriku ..." dan kemudian Putri Nirmalasari pun langsung memejamkan kedua matanya sambil merangkul Putranya untuk tidur.
Keesokan paginya seperti yang sudah dia rencanakan, Putri Nirmalasari pun terlihat juga sudah mempersiapkan semua keperluan yang hendak dia bawa, yakni berupa beberapa potong pakaian dan sedikit perbekalan makanan, lalu dengan mengendarai seekor kuda dengan tanpa adanya kereta sang Putri pun mulai menjalankan tunggangannya itu dengan mendudukkan sang Putra yakni Pangeran Santana di depannya.
Kebetulan juga hari itu memang suasana di sekitaran
"Dan inilah yang akan membuat riwayatmu habis Cayapata! Sebentar lagi kamu juga akan segera menyusul Ibu dan Ayahmu ke alam baka, hehehe ... hehehe ..." ujar Dipasena nampak begitu merasa bahagia dan jumawa.Disaat masih merasa yakin dengan rencana pembunuhannya itu tiba-tiba saja terbesit dalam pikiran Arya Dipasena sebuah rencana lain."Tapi apa ya perlu orang seperti Cayapata itu harus aku bunuh? Bukankah saat ini dia itu tidak lebih dari seekor kera yang sudah masuk perangkap ku, yang bisa saja aku buat mainan untuk sebuah hiburan? Yah ... sepertinya memang tidak perlu aku membunuhnya karena itu malah membuang-buang waktu dan membuat aku repot saja," ujar Arya Dipasena yang nampak meralat rencana yang sudah dipersiapkan itu."Daripada harus aku bunuh lebih baik Cayapata itu akan aku pasung saja dikandang kuda, biar bisa aku jadikan tontonan kalau sewaktu-waktu aku sedang butuh hiburan, hehehe ... hehehe ...!" kembali Arya Dipasena terkekeh-kekeh dalam kesend
"Eits! Kamu mulai saat ini jangan panggil aku dengan sebutan Gusti Patih! Tapi panggil aku Gusti Prabu Arya Dipasena ... mengerti? Hahahaha ... hahahaha ....! Karena saat ini aku telah resmi menjadi Raja, akulah saat ini yang menjadi pemimpin di Karmajaya ini, dengarkan itu!" ucap Arya Dipasena dengan tegas."Baik Gusti Prabu Arya Dipasena ... akan segera kami laksanakan titah Gusti Prabu ..." sahut dua prajurit itu. Dan memang benar akhirnya Raja Karmajaya itu pun langsung diseret oleh dua orang Prajurit itu ke tempat kandang kuda dan kemudian langsung diikat dengan rantai yang cukup besar di tiap masing-masing kaki dan kedua tangannya.Lalu mulai saat itulah akhirnya Arya Dipasena pun langsung menobatkan dirinya sendiri sebagai Raja baru di Kerajaan Karmajaya mendongkel kepemimpinan Raja Cayapata, dan karena hampir seluruh punggawa Kerajaan yang ada saat itu juga merupakan bentukan dari Arya Dipasena sendiri maka begitu ia memproklamirkan dirinya sebagai Raja yang ba
"Ayo buruan! Hari ini tugas kita banyak, menyirami sayuran kita yang sudah mulai layu itu," seru Putri Nirmalasari."Iya-iya Bunda ..." jawab bocah berumur sepuluh tahun itu."Makanya kalau malam itu jangan banyak begadang! Jadi ngantuk gini to akhirnya ...?" ucap Putri Nirmalasari nampak mencela kebiasaan Putranya tersebut.Lalu dengan gelagat masih terlihat malas Santana melangkah menuju ke arah dapur."Lho, lho, lho ...! Ayo berangkat ... ini lho sarapannya sudah Ibu bawakan, nanti kamu makan di ladang saja," seru Putri Nirmalasari. Lalu mereka berdua pun segera bergegas melangkah menuju ke ladang.untuk sekedar diketahui bahwa saat ini ladang yang digarap oleh Putri Nirmalasari dan Santana itu mereka dapatkan dari menyewa, karena sewaktu keluar dari Istana Karmajaya dulu sang Putri memang membawa beberapa keping uang yang hanya cukup untuk menyewa tidak untuk membeli, dan adapun lahan Biswara yang dulu di titipkan pada tetangganya yang bernama
"Aku yakin pasti kesaktiannya itu adalah titisan dari Ayahnya yang bernama Biswara itu, tapi seingatku orang yang bernama Biswara itu mukanya jelek, lha tapi bocah ini wajahnya kok ganteng sekali, yah mungkin saja dia itu niru Ibunya, karena sebenarnya ibunya itu perempuan yang cantik tapi saat ini sudah tidak lagi karena kulitnya sudah hitam dan mukanya juga sudah kusam," lanjut ujar Pak Suripto dengan masih tertegun melihat kejadian aneh bin ajaib terpampang di depan matanya.Begitulah akhirnya Santana pun langsung mengerjakan semua tugasnya itu hingga selesai, lalu setelah itu mereka berdua langsung pulang ke rumah mereka, satu-satunya peninggalan Biswara yang masih tersisa yang tidak ikut diambil oleh Pak Suripto.Berbicara mengenai Santana, meskipun berwatak keras tapi sebenarnya dia itu tergolong anak yang penurut pada sang Bunda, ya meskipun itu tidak berarti bahwa semua apa yang diperintahkan oleh Bunda Nirmalasari akan dia patuhi, karena memang kenyataannya ma
"Lalu bagaimana ini?" tanya remaja yang terlihat paling dewasa."Tahu lah, pokoknya aku gak ikut-ikut," sahut salah satu dari mereka"Aku juga," timpal satunya lagi."Aku juga," dan begitulah akhirnya mereka bersembilan itu pun langsung beranjak kabur dari dalam kuil itu dengan meninggalkan dua gundukan kotoran yang baunya sangat menyengat itu.Sementara itu Santana sendiri setelah keluar dari kuil tadi rupanya tidak berani langsung masuk ke dalam rumah, setelah membersihkan diri dan ganti baju yang memang kebetulan sudah ada di luar rumah bocah itu terlihat hanya duduk-duduk di teras rumahnya, perasaan bersalah dan takut kena marah cukup berkecamuk dalam pikirannya, apalagi dengan sang Bunda yang nyata-nyata sudah berpesan untuk tidak berbuat macam-macam kalau berada di dalam kuil.Sesaat kemudian nampak Santana terlihat melamun, tatapan matanya menerawang jauh menembus keheningan malam yang sebentar lagi akan segera berakhir, dari kejauhan
Rasa kagum dan terkejutnya itupun semakin bertambah manakala sinar matahari pagi menerpa dua bongkahan kecil itu dan kemudian memantulkan sinar kilauan yang begitu indah."Hah! Apakah yang aku lihat ini? Benarkah ini emas? Hoh ... siapakah anak yang bisa mengeluarkan kotoran emas seperti ini?" ujar Pak Santo bertanya dalam keheranannya. Lalu setelah itu Pak Santo pun segera mengambil dan membersihkan dua bongkahan kecil emas itu dan kemudian kembali melanjutkan tugasnya untuk membersihkan kuil. Dan setelah selesai Pak Santo pun langsung pulang ke rumah untuk menyimpan barang istimewa hasil temuannya itu."Nah, sekarang aku akan mencari tahu dari anak-anak itu, siapa diantara mereka yang semalam telah berak di dalam kuil," ujarnya sambil beranjak keluar dari rumah.Lalu mulailah Pak Santo mendatangi rumah mereka satu persatu, dan karena memang sudah mengenali semua maka Pak Santo pun tidak butuh waktu lama untuk melakukannya, di rumah pertama yang dia sambangi Pa
Begitulah akhirnya Pak Santo pun langsung bergegas pergi ke rumah Pak Kuwu melaporkan atas hilangnya Santana, dan kemudian di hari itu juga pencarian Santana yang melibatkan para warga sekitar lereng gunung Argapura pun dimulai, sementara bocah sakti itu terus bergerak menuju ke arah selatan, semakin jauh dia meninggalkan desa tempat tinggalnya itu hingga akhirnya ketika waktu sudah mulai memasuki petang Santana pun nampak memasuki sebuah perkampungan.'Sepertinya malam akan segera tiba, lebih baik aku bermalam di kampung ini saja, tapi kira-kira siapa ya yang berkenan untuk aku tumpangi ...?' tanya Santana dalam gumamnya. Lalu bocah itupun kembali melangkahkan kakinya menyusuri jalanan desa yang berbatu itu, setelah beberapa saat berjalan tiba-tiba bocah itu menghentikan langkahnya."Itu seperti ada keramaian, apa sebaiknya aku numpang di sana saja ya? Ah enggak ah, aku gak berani ke sana, aku takut, jangan-jangan nanti aku ditolak dan di usir," ujarnya lirih.
"Bersiaplah kau bocah edan ...! Hiyyat ... jiak ...!" Dengan segera Rangsang pun melompat dan kemudian langsung menyerang Bojapradata dengan menyabetkan jari-jari besinya ke arah tubuh bocah sakti itu, dan sepertinya Bojapradata pun menyadari bahwa lawannya kali ini memang benar-benar bermaksud untuk melukainya."Rasakan ini bocah Gembel ... hiyyat, hiyyak!"Wuss, wuss ... sring, sring ...Sabetan jari-jari besi Rangsang terlihat berkelebatan mengarah ke hampir seluruh tubuh Bojapradata, namun dengan gesitnya bocah sakti itu nampak masih bisa menghindarinya, hingga pada suatu saat Rangsang membuka kedua tangannya lebar-lebar dan kemudian melakukan serangan menggunting dan disaat itu juga Bojapradata langsung melompat ke atas dan kedua kakinya menginjak dua pundak Rangsang dan kemudian menghentakkannya."Mampus kau bocah edan ...! Hiyyat ...!" teriak Rangsang penuh dengan amarah."Hup hiyyak ...!"Brougs ..."Uuah ...!"Rangsang