Wulung tiba-tiba terdorong selangkah ketika pecut apinya tiba-tiba terputus. Begitu mendongak ke atas, ia mendapati sebuah kubah berukuran besar langsung mengurungnya. Begitu mendongak, ia mendapati Limbur Kancana berada di pusat kubah.“Terkutuk! Aku lengah!” Wulung segera melesatkan pecut apinya ke seluruh bagian kubah. Api mulai menyelimuti sekeliling, memaksa menghancurkan kubah. Keempat anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari tertawa mengejek ketika melihat Wulung juga ikut terkurung. Mereka kembali memusatkan seluruh pikiran dan kekuatan untuk keluar dari kurungan.Dengan tidak adanya Wulung, para pendekar bisa kembali menarik keempat Jurig Lolong yang tersisa tanpa hambatan, kecuali kekuatan mereka yang semakin melemah.“Kaki dan tangan keempat siluman itu mulai bisa bergerak!” teriak Kolot Raga.Para pendekar mengerahkan kekuatan penuh. Keempat Jurig Lolong berhasil tertarik hingga jarak mereka dengan kubah semakin menipis. Melihat hal itu, Limbur Kancana segera melesat me
Lingga terpental ke belakang setelah serangannya menumbuk dengan serangan tiruan Kartasura. Pertarungan mereka sudah berlangsung cukup lama, bahkan lebih lama dibanding pertarungannya dengan Ki Petot dan Wira. Setiap kali Lingga akan mengalahkan tiruan Kartasura, bayangan peristiwa saat pertarungan di Ledok Beurit lima tahun lalu tiba-tiba muncul.Lingga mengendalikan napas yang sudah terengah-engah. Tatapannya tertuju pada tiruan Kartasura yag tersenyum merendahkan ke arahnya. Bayangan saat bertarung dengan pendekar itu, disusul bayangan keadaan Ki Petot yang terluka parah lima tahun lalu lagi-lagi bermunculan hingga membuatnya melangkah mundur.Tiruan Kartasura tertawa meremahkan. “Karena kaulah Aji Panday meninggal, Lingga. Kalau saja kau tidak muncul dan menghalangiku untuk mengambil kujang emas, pasti tua bangka itu masih tetap hidup sampai sekarang. Kau adalah pembunuh! Kau adalah pembunuh!”Lingga merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Tan
Tiruan Geni, Jaya, dan Barma seketika mengelingi Lingga. Mata mereka merah menyala seiring dengan warna senjata mereka.Lingga mengamati ketiganya bergantian dengan keadaan bersiaga penuh. Suasana di sekelilingnya mendadak menekannya dengan kuat. Bayangan Geni, Jaya, Barma dan seluruh murid padepokan yang marah padanya saat kejadian di Lebak Angin kembali bermunculan.Lingga merasakan dadanya terasa sangat sesak. Ia seperti berada di puncak gunung tertinggi. Kedua kakinya bergetar hebat hingga kuda-kudanya berubah. Saat akan kembali bersiap, tiruan Geni, Jaya, Barma tiba-tiba menyerangnya dengan senjata-senjata mereka.Lingga menahan serangan itu dengan kedua tangan menyilang di atas kepala. Saat akan melompat ke atas, serangan kembali datang hingga keduanya kakinya menekuk dan membuatnya nyaris ambruk di lantai.Lingga menggunakan jurus harimau mencari mangsa untuk lolos dari kurungan tiruan Geni, Jaya, dan Bharma. Ia segera bersiap dengan jurus harimau putih dengan kedua tangan dan
Lingga segera membungkuk hormat ketika melihat Prabu Nilakendra sudah berada di depannya. Sayangnya, wajah pria itu masih terhalang oleh cahaya putih.“Ketenangan batin yang kau peroleh saat ini bisa berubah sesuai dengan keadaanmu, Lingga. Semakin banyak kau menghadapi peristiwa yang menguras hati, pikiran dan jiwamu, semakin sulit juga kau mempertahankan ketenangan batin. Semua kembali pada kemampuanmu dalam mengendalikan dirimu,” ujar Prabu Nilakendra seraya berbalik menghadap kujang emas yang terbang di atas kursi singgasana. “Angkatlah kepalamu dan ikuti aku.”Lingga mulai mendongak, berjalan mengikuti Prabu Nilakendra. Dua cahaya putih dan emas tiba-tiba muncul di sisi kiri dan kanan pemilik kujang pusakan tersebut.“Dengan keadaanmu saat ini, kau bisa meraih pusaka kujang emas dan menggunakannya dalam keadaan sadar.”Lingga terkejut meski di saat yang sama bahagia ketika mendengarnya. “Dengan ini, aku bisa membantu para pendekar untuk mengalahkan dua siluman ular itu sekaligus
Para pendekar terus terdesak hingga ke sisi Jaya Tonggoh. Mereka bahu membahu menahan dan menghindari serangan yang terus dilancarkam oleh Argaseni, Kartasura, Brajawesi, Bangasera, Wintara dan juga Nilasari. Para pendekar terus bertumbangan di mana hanya tersisa setengah yang masih sadarkan diri dan bertarung.Wirayuda dan keenam petinggi golongan putih yang lain mati-matian melindungi para pendekar dari serangan yang terus berdatangan. Tak sedikit dari mereka terkena serangan hingga menambah deretan luka. Saat serangan besar meluncur ke arah mereka, harimau raksasa milik Limbur Kancana seketika mengubah wujud menjadi kubah pelindung.Limbur Kancana kembali ke tempat para pendekar berada. Ia mengamati banyak pendekar yang sudah terbaring tak berdaya, termasuk ketujuh petinggi golongan putih yang sudah berada di ambang batas. Dengan keadaan seperti ini, para pendekar tidak mungkin bisa bertahan dan ia pun akan kesulitan untuk melawan banyak musuh sekaligus.Ganawirya dan beberapa tiru
Wulung menarik kembali pecut apinya. Tubuhnya perlahan mengecil hingga akhirnya kembali ke ukuran semula. “Para pendekar bodoh itu kembali melarikan diri. Dasar terkutuk!”Brajawesi meraih kembali kapak merahnya, mengawasi keadaan sekeliling. “Mereka hanya beruntung karena berhasil melarikan diri di saat yang tepat.”“Limbur Kancana pasti membawa mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tempat ini. Untuk memindahkan orang sebanyak itu, dia pasti membutuhkan kekuatan yang tidak sedikit, terlebih lima Jurig Lolong bersama mereka.” Argaseni mengentak tongkat ke tanah.Bangasera menoleh ke arah air terjun. “Aku harus segera pergi menuju tempat itu untuk mengetahui apa dan siapa yang berada di dalam air terjun itu.”Bangasera melompat dan seketika muncul di dekat air terjun. Ia memejamkan mata untuk mengetahui keadaan dari ular-ular beracun yang sudah disebarkan lebih dahulu. “Ular-ularku sama sekali tidak bisa mendekat ke air terjun itu. Ada semacam pelindung yang sangat kuat yang meli
Para tabib seketika menoleh ke arah Sekar Sari. Satu per satu dari mereka mulai bangkit, membantu satu sama lain untuk berdiri.“Aku akan menjelaskan hal ini dengan singkat. Kalian semua masih hidup. Pendekar Hitam berhasil menyelematkan kita semua di saat-saat terakhir sebelum serangan datang. Saat ini, kita semua berada di sebuah gua dengan perlindungan yang kuat. Pertarungan terus berlanjut dan para pendekar membutuhkan bantuan kita semua.” Sekar Sari berkata dengan suara keras.Para tabib mulai berbisik satu sama lain.“Mulai saat ini, kita akan kembali bekerja keras untuk membantu para pendekar dari gua ini. Tugas kita adalah membuat ramuan yang memiliki khasiat untuk melemahkan kekuatan para siluman. Ramuan itu akan dicampur dengan ramuan pemusnah siluman yang sudah dibuat sebelumnya. Aku sudah mendapatkan semua bahan-bahannya dan mengerti cara membuatnya.”Sekar Sari menunjuk ke samping di mana kotak berisi daun api merah, akar bambu kuning emas, bunga teratai biru dan beberapa
Gua tiba-tiba berguncang cukup keras. Indra, Meswara, Jaka, Arya dan para murid tampak waspada, begitupun dengan Sekar Sari dan para tabib yang tengah membuat ramuan.“Jaka benar. Tidak mungkin kita meninggalkan Sekar Sari dan para tabib sendirian. Bagaimanapun juga mereka memiliki peran penting dalam pertarungan ini.” Indra menoleh pada para murid yang tampak khawatir. “Meswara, Jaka, kalian berdua akan bertugas untuk melindungi para murid. Aku dan Arya akan melindungi para tabib di sini.”Indra memberikan sebuah kendi pada Meswara. “Kendi ini akan membantu kau dan Jaka jika terjadi sesuatu yang berbahaya. Aku masih memiliki satu kendi untuk aku dan Arya gunakan untuk melindungi Sekar Sari dan para tabib.”“Aku mengerti.” Meswara mengangguk, menoleh pada para murid. “Kita sebaiknya memberi tahu para murid mengenai keadaan ini.” “Kita bergerak sekarang.” Indra memberi anggukan kecil pada Arya. Keduanya dengan cepat mendekat ke arah ruangan di mana Sekar Sari dan para tabib berada, ke