Para tabib seketika menoleh ke arah Sekar Sari. Satu per satu dari mereka mulai bangkit, membantu satu sama lain untuk berdiri.“Aku akan menjelaskan hal ini dengan singkat. Kalian semua masih hidup. Pendekar Hitam berhasil menyelematkan kita semua di saat-saat terakhir sebelum serangan datang. Saat ini, kita semua berada di sebuah gua dengan perlindungan yang kuat. Pertarungan terus berlanjut dan para pendekar membutuhkan bantuan kita semua.” Sekar Sari berkata dengan suara keras.Para tabib mulai berbisik satu sama lain.“Mulai saat ini, kita akan kembali bekerja keras untuk membantu para pendekar dari gua ini. Tugas kita adalah membuat ramuan yang memiliki khasiat untuk melemahkan kekuatan para siluman. Ramuan itu akan dicampur dengan ramuan pemusnah siluman yang sudah dibuat sebelumnya. Aku sudah mendapatkan semua bahan-bahannya dan mengerti cara membuatnya.”Sekar Sari menunjuk ke samping di mana kotak berisi daun api merah, akar bambu kuning emas, bunga teratai biru dan beberapa
Gua tiba-tiba berguncang cukup keras. Indra, Meswara, Jaka, Arya dan para murid tampak waspada, begitupun dengan Sekar Sari dan para tabib yang tengah membuat ramuan.“Jaka benar. Tidak mungkin kita meninggalkan Sekar Sari dan para tabib sendirian. Bagaimanapun juga mereka memiliki peran penting dalam pertarungan ini.” Indra menoleh pada para murid yang tampak khawatir. “Meswara, Jaka, kalian berdua akan bertugas untuk melindungi para murid. Aku dan Arya akan melindungi para tabib di sini.”Indra memberikan sebuah kendi pada Meswara. “Kendi ini akan membantu kau dan Jaka jika terjadi sesuatu yang berbahaya. Aku masih memiliki satu kendi untuk aku dan Arya gunakan untuk melindungi Sekar Sari dan para tabib.”“Aku mengerti.” Meswara mengangguk, menoleh pada para murid. “Kita sebaiknya memberi tahu para murid mengenai keadaan ini.” “Kita bergerak sekarang.” Indra memberi anggukan kecil pada Arya. Keduanya dengan cepat mendekat ke arah ruangan di mana Sekar Sari dan para tabib berada, ke
Sebuah kapak tiba-tiba muncul dengan gerakan memutar ke arah batu besar yang sudah cukup dekat dengan para tabib. Kapak itu berhasil membelah batu menjadi potongan-potongan kecil. Indra melesat ke atas para tabib, kemudian mengayunkan serangan dengan sangat cepat hingga potongan batu terlempar ke samping.“Kakang Indra.” Sekar Sari terkejut dan bahagia di saat bersamaan karena batu tidak sampai mengenai para tabib.Indra mendarat di tengah-tengah para tabib, kembali menangkap kapaknya.Para tabib tampak terkejut, mengamati keadaan sekeliling yang sudah dipenuhi batu.“Siapa kau?”“Kenapa kau bisa berada di sini?”“Apa kau bagian dari para murid padepokan?”Sekar Sari segera mendekat pada Indra. “Tenanglah. Dia bukan orang jahat. Dia adalah kakak seperguruanku. Dia di sini untuk menjaga kita agar kita bisa tetap memusatkan seluruh perhatian dengan tugas kita. Kita kembali pada tugas masing-masing.”Para tabib mengamati Indra sekilas, kemudian kembali pada pekerjaan masing-masing.Indra
“Matilah kau, Tarusbawa!” teriak Munding Hideung bersamaan dengan sabit api yang membesar dan bersiap menghantam tubuh Tarusbawa. Senyuman bengisnya seolah akan melahap wajahnya sendiri saking senang akan menghabisi lawan tangguh yang sudah merepotkannya berkali-kali. Ia bisa merasakan detak jantung Tarusbawa yang terus-menerus melemah dan ilmu kanuragaannya yang menghilang. Di saat yang sama, Bangkong Bodas dan Simuet Koneng menghimpun kekuatan di tangan kanan hingga memancarkan cahaya merah kehitaman. Di saat ketiga siluman bawahan Nyi Genit itu bersiap melenyapkan Tarusbawa, tubuh mereka tiba-tiba berhenti bergerak di udara. “Apa yang terjadi?” Munding Hideung terkejut, mengamati tubuhnya yang tiba-tiba membatu di udara. Sabit apinya bertambah besar, tetapi mendadak mengecil setelahnya. Ia menghimpun kekuatan untuk mengetahui apa dan siapa yang tiba-tiba menjeratnya. “Rantai putih?” Munding Hideung tercekat ketika tubuhnya sudah dijerat oleh rantai putih. Ia dengan cepat menole
Tarusbawa memberi tanda pada tiruan Limbur Kancana untuk memindahkannya dan anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari ke Jaya Tonggoh meski hal itu membutuhkan waktu lebih lama. Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, Kartasura, Wintara dan Nilasari terus berusaha mendobrak masuk hingga air terjun terciprat ke sekeliling dan bagian gua bergetar hebat. Ketika mereka akan melesatkan serangan, tiba-tiba mereka tertarik ke sebuah arah dan mendadak muncul di Jaya Tonggoh. Serangan-serangan mereka justru saling menumbuk hingga menimbulkan guncangan dan gelombang kuat ke sekeliling. Wulung memutar pecut apinya hingga dari kejauhan terlihat api yang bergerak sangat cepat ke sekeliling arah. “Siapa yang sudah memindahkanku?” “Terkutuk! Apa yang sebenarnya terjadi?” Brajawesi melindungi mata dengan tangan dan kapak merahnya dari serbuan angin dan debu. Ia melompat mundur seraya mengayun-ayun kapak untuk mengusir asap dan debu. “Kenapa aku bisa tiba-tiba kembali ke Jaya Tonggoh?” Argaseni me
Limbur Kancana dan para pendekar sedang berada di sebuah tanah lapang yang cukup jauh dengan Jaya Tonggoh. Ganawirya tampak sibuk mengobati para pendekar. Keadaan mereka mulai membaik meski tidak bisa menutup kenyataan jika mereka sudah berada di batas kekuatan mereka. Beberapa pendekar juga masih tidak sadarkan diri, terbaring di tanah. Limbur Kancana tengah duduk bersila di atas sebuah batu. Tatapannya berkeliling ke berbagai tempat. Ia mendapati Tarusbawa tengah bertarung dengan kelima anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari di Jaya Tonggoh. Pertempuran berlangsung dengan sangat panas di mana Tarusbawa tidak henti menerima serangan demi serangan. Beralih ke tempat lain, Limbur Kancana mendapati Sekar Sari dan para tabib tengah bekerja sangat keras untuk membuat ramuan. Bergesar ke samping, Jaka tengah memeriksa keadaan luar gua yang sudah sangat, berbanding terbalik dengan keadaan Jaya Tonggoh yang kembali panas dengan pertempuran. Jaka segera berlari untuk mengabarkan hal itu
Lingga mengamati Limbur Kancana dari atas hingga bawah. “Paman tampak aneh.” Hal serupa juga dirasakan Limbur Kancana. Ia merasakan kekuatan besar terpancar dari seluruh tubuh Lingga, kekuatan yang hangat dan menenangkan. “Kau harus segera ikut denganku sekarang, Lingga. Aku sudah menemukan jejak Tarusbawa.” “Aku melihat Paman sudah bertemu dengan Tarusbawa di suatu tempat sebelumnya. Kenapa Paman tidak memberitahuku lebih awal dan justru lebih memilih untuk menyembunyikan hal itu dariku?” “Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya padamu, Lingga. Saat itu, aku sedang memastikan apakah benar pendekar itu Tarusbawa atau bukan. Setelah memastikannya, aku segera menemui di tempat ini. Sekarang, ikutlah denganku. Tarusbawa sedang menunggumu di suatu tempat. Dia akan membawamu ke tempat persembunyiannya selama ini untuk mengajarimu menguasai pusaka kujang emas sepenuhnya. Dia juga akan memberitahumu beberapa hal penting terkait pusaka kujang emas.” Lingga menoleh pada air t
Lingga jatuh dalam kebimbangan yang semakin dalam. Antara menolong para pendekar dan menemui Tarusbawa sama-sama penting untuknya. Ia tidak akan bisa bertemu dengan Tarusbawa dalam keadaan tenang di saat para pendekar tengah berjuang-juang mati-matian. Sebagai sosok yang sudah ditakdirkan menjadi pewaris kujang emas, ia tidak bisa membiarkan orang lain terluka di saat dirinya memiliki kesempatan untuk menolong. Lingga memejamkan mata semakin kuat. Ia kembali teringat dengan perjuangannya untuk meraih ketenangan batin. Di waktu yang sama, ucapan Prabu Nilakendra mengenai ujian ketenangan batin yang bisa menggoyahkan ketenangan batin dan menghancurkannya kembali memenuhi isi kepalanya. Ia merasakan Prabu Nilakendra sedang mengawasinya dari suatu tempat. Limbur Kancana segera memasang kuda-kuda. Kedua tangannya mulai diselimuti cahaya putih berbentuk cakar harimau. Di saat yang sama, dua harimau putih mendadak muncul di sampignya, lalu mengaum dengan sangat keras. “Sepertinya kau lebih
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me