Sebuah kapak tiba-tiba muncul dengan gerakan memutar ke arah batu besar yang sudah cukup dekat dengan para tabib. Kapak itu berhasil membelah batu menjadi potongan-potongan kecil. Indra melesat ke atas para tabib, kemudian mengayunkan serangan dengan sangat cepat hingga potongan batu terlempar ke samping.“Kakang Indra.” Sekar Sari terkejut dan bahagia di saat bersamaan karena batu tidak sampai mengenai para tabib.Indra mendarat di tengah-tengah para tabib, kembali menangkap kapaknya.Para tabib tampak terkejut, mengamati keadaan sekeliling yang sudah dipenuhi batu.“Siapa kau?”“Kenapa kau bisa berada di sini?”“Apa kau bagian dari para murid padepokan?”Sekar Sari segera mendekat pada Indra. “Tenanglah. Dia bukan orang jahat. Dia adalah kakak seperguruanku. Dia di sini untuk menjaga kita agar kita bisa tetap memusatkan seluruh perhatian dengan tugas kita. Kita kembali pada tugas masing-masing.”Para tabib mengamati Indra sekilas, kemudian kembali pada pekerjaan masing-masing.Indra
“Matilah kau, Tarusbawa!” teriak Munding Hideung bersamaan dengan sabit api yang membesar dan bersiap menghantam tubuh Tarusbawa. Senyuman bengisnya seolah akan melahap wajahnya sendiri saking senang akan menghabisi lawan tangguh yang sudah merepotkannya berkali-kali. Ia bisa merasakan detak jantung Tarusbawa yang terus-menerus melemah dan ilmu kanuragaannya yang menghilang. Di saat yang sama, Bangkong Bodas dan Simuet Koneng menghimpun kekuatan di tangan kanan hingga memancarkan cahaya merah kehitaman. Di saat ketiga siluman bawahan Nyi Genit itu bersiap melenyapkan Tarusbawa, tubuh mereka tiba-tiba berhenti bergerak di udara. “Apa yang terjadi?” Munding Hideung terkejut, mengamati tubuhnya yang tiba-tiba membatu di udara. Sabit apinya bertambah besar, tetapi mendadak mengecil setelahnya. Ia menghimpun kekuatan untuk mengetahui apa dan siapa yang tiba-tiba menjeratnya. “Rantai putih?” Munding Hideung tercekat ketika tubuhnya sudah dijerat oleh rantai putih. Ia dengan cepat menole
Tarusbawa memberi tanda pada tiruan Limbur Kancana untuk memindahkannya dan anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari ke Jaya Tonggoh meski hal itu membutuhkan waktu lebih lama. Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, Kartasura, Wintara dan Nilasari terus berusaha mendobrak masuk hingga air terjun terciprat ke sekeliling dan bagian gua bergetar hebat. Ketika mereka akan melesatkan serangan, tiba-tiba mereka tertarik ke sebuah arah dan mendadak muncul di Jaya Tonggoh. Serangan-serangan mereka justru saling menumbuk hingga menimbulkan guncangan dan gelombang kuat ke sekeliling. Wulung memutar pecut apinya hingga dari kejauhan terlihat api yang bergerak sangat cepat ke sekeliling arah. “Siapa yang sudah memindahkanku?” “Terkutuk! Apa yang sebenarnya terjadi?” Brajawesi melindungi mata dengan tangan dan kapak merahnya dari serbuan angin dan debu. Ia melompat mundur seraya mengayun-ayun kapak untuk mengusir asap dan debu. “Kenapa aku bisa tiba-tiba kembali ke Jaya Tonggoh?” Argaseni me
Limbur Kancana dan para pendekar sedang berada di sebuah tanah lapang yang cukup jauh dengan Jaya Tonggoh. Ganawirya tampak sibuk mengobati para pendekar. Keadaan mereka mulai membaik meski tidak bisa menutup kenyataan jika mereka sudah berada di batas kekuatan mereka. Beberapa pendekar juga masih tidak sadarkan diri, terbaring di tanah. Limbur Kancana tengah duduk bersila di atas sebuah batu. Tatapannya berkeliling ke berbagai tempat. Ia mendapati Tarusbawa tengah bertarung dengan kelima anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari di Jaya Tonggoh. Pertempuran berlangsung dengan sangat panas di mana Tarusbawa tidak henti menerima serangan demi serangan. Beralih ke tempat lain, Limbur Kancana mendapati Sekar Sari dan para tabib tengah bekerja sangat keras untuk membuat ramuan. Bergesar ke samping, Jaka tengah memeriksa keadaan luar gua yang sudah sangat, berbanding terbalik dengan keadaan Jaya Tonggoh yang kembali panas dengan pertempuran. Jaka segera berlari untuk mengabarkan hal itu
Lingga mengamati Limbur Kancana dari atas hingga bawah. “Paman tampak aneh.” Hal serupa juga dirasakan Limbur Kancana. Ia merasakan kekuatan besar terpancar dari seluruh tubuh Lingga, kekuatan yang hangat dan menenangkan. “Kau harus segera ikut denganku sekarang, Lingga. Aku sudah menemukan jejak Tarusbawa.” “Aku melihat Paman sudah bertemu dengan Tarusbawa di suatu tempat sebelumnya. Kenapa Paman tidak memberitahuku lebih awal dan justru lebih memilih untuk menyembunyikan hal itu dariku?” “Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya padamu, Lingga. Saat itu, aku sedang memastikan apakah benar pendekar itu Tarusbawa atau bukan. Setelah memastikannya, aku segera menemui di tempat ini. Sekarang, ikutlah denganku. Tarusbawa sedang menunggumu di suatu tempat. Dia akan membawamu ke tempat persembunyiannya selama ini untuk mengajarimu menguasai pusaka kujang emas sepenuhnya. Dia juga akan memberitahumu beberapa hal penting terkait pusaka kujang emas.” Lingga menoleh pada air t
Lingga jatuh dalam kebimbangan yang semakin dalam. Antara menolong para pendekar dan menemui Tarusbawa sama-sama penting untuknya. Ia tidak akan bisa bertemu dengan Tarusbawa dalam keadaan tenang di saat para pendekar tengah berjuang-juang mati-matian. Sebagai sosok yang sudah ditakdirkan menjadi pewaris kujang emas, ia tidak bisa membiarkan orang lain terluka di saat dirinya memiliki kesempatan untuk menolong. Lingga memejamkan mata semakin kuat. Ia kembali teringat dengan perjuangannya untuk meraih ketenangan batin. Di waktu yang sama, ucapan Prabu Nilakendra mengenai ujian ketenangan batin yang bisa menggoyahkan ketenangan batin dan menghancurkannya kembali memenuhi isi kepalanya. Ia merasakan Prabu Nilakendra sedang mengawasinya dari suatu tempat. Limbur Kancana segera memasang kuda-kuda. Kedua tangannya mulai diselimuti cahaya putih berbentuk cakar harimau. Di saat yang sama, dua harimau putih mendadak muncul di sampignya, lalu mengaum dengan sangat keras. “Sepertinya kau lebih
Limbur Kancana kembali ke tubuhnya yang berada di atas air terjun. Ia dengan segera berdiri, mengamati jalannya pertandingan di mana Tarusbawa terus didesak dari berbagai sisi. Untuk kesekian kalinya, sebuah bayangan pintu muncul di langit. “Aku tahu sekarang. Lingga berusaha untuk keluar dari alam lain.” Limbur Kancana mengamati kembali pertarungan. Limbur Kancana menghimpun kekuatan. Tubuhnya seketika diselimuti cahaya putih yang meluap-luap. Kedua tangannya mengentak kuat ke arah Jaya Tonggoh. Cahaya putih yang menyelimuti raganya tiba-tiba berubah menjadi seekor hatimau putih raksasa yang menerjang ke Jaya Tonggoh dengan cepat. Limbur Kancana segera membuka pintu ke alam lain. Sayangnya, ia gagal memasuki cahaya putih menjadi pintu masuk hingga harus kembali mendarat di atas air terjun. “Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak memasuki alam lain?” Limbur Kacana menyentuh cahaya putih di depannya dan seketika menarik tangannya ketika rasa panas menjalar. “Pintu menuju alam sama sekal
“Aku akan menghabisi kalian berdua sekaligus para pendekar bodoh itu!” pekik Nyi Genit dengan wajah yang dikuasai amarah. Angin seketika menerjang kencang ke arah Limbur Kancana dan Limbur Kancana. Para siluman hitam yang datang bersamanya melolong seperti anjing.“Nyi Genit,” ujar kelima anggota Cakar Setan, Wintara, dan Nilasari hampir bersamaan. Mereka tersenyum karena mendapat bantuan kuat dari si pembuat racun kalong setan.Sementara itu, Limbur Kancana dan Tarusbawa terkejut ketika melihat kedatangan Nyi Genit. Keadaan mereka terpojok dengan kalahnya jumlah atau mungkin kekuatan.“Sesuai dugaanku, siluman wanita itu berhasil meloloskan diri dari kendiku, begitupun dengan para siluman hitam yang datang bersamanya,” ujar Tarusbawa, “pertarungan ini akan semakin sulit. Meski begitu, kita masih memiliki kesempatan untuk menang.”“Lingga berhasil lulus dari ujianmu, Raka. Sekarang, dia masih berada di alam lain dan sedang berusaha untuk keluar. Setelah aku keluar dari alam lain, tiba