Lingga jatuh dalam kebimbangan yang semakin dalam. Antara menolong para pendekar dan menemui Tarusbawa sama-sama penting untuknya. Ia tidak akan bisa bertemu dengan Tarusbawa dalam keadaan tenang di saat para pendekar tengah berjuang-juang mati-matian. Sebagai sosok yang sudah ditakdirkan menjadi pewaris kujang emas, ia tidak bisa membiarkan orang lain terluka di saat dirinya memiliki kesempatan untuk menolong. Lingga memejamkan mata semakin kuat. Ia kembali teringat dengan perjuangannya untuk meraih ketenangan batin. Di waktu yang sama, ucapan Prabu Nilakendra mengenai ujian ketenangan batin yang bisa menggoyahkan ketenangan batin dan menghancurkannya kembali memenuhi isi kepalanya. Ia merasakan Prabu Nilakendra sedang mengawasinya dari suatu tempat. Limbur Kancana segera memasang kuda-kuda. Kedua tangannya mulai diselimuti cahaya putih berbentuk cakar harimau. Di saat yang sama, dua harimau putih mendadak muncul di sampignya, lalu mengaum dengan sangat keras. “Sepertinya kau lebih
Limbur Kancana kembali ke tubuhnya yang berada di atas air terjun. Ia dengan segera berdiri, mengamati jalannya pertandingan di mana Tarusbawa terus didesak dari berbagai sisi. Untuk kesekian kalinya, sebuah bayangan pintu muncul di langit. “Aku tahu sekarang. Lingga berusaha untuk keluar dari alam lain.” Limbur Kancana mengamati kembali pertarungan. Limbur Kancana menghimpun kekuatan. Tubuhnya seketika diselimuti cahaya putih yang meluap-luap. Kedua tangannya mengentak kuat ke arah Jaya Tonggoh. Cahaya putih yang menyelimuti raganya tiba-tiba berubah menjadi seekor hatimau putih raksasa yang menerjang ke Jaya Tonggoh dengan cepat. Limbur Kancana segera membuka pintu ke alam lain. Sayangnya, ia gagal memasuki cahaya putih menjadi pintu masuk hingga harus kembali mendarat di atas air terjun. “Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak memasuki alam lain?” Limbur Kacana menyentuh cahaya putih di depannya dan seketika menarik tangannya ketika rasa panas menjalar. “Pintu menuju alam sama sekal
“Aku akan menghabisi kalian berdua sekaligus para pendekar bodoh itu!” pekik Nyi Genit dengan wajah yang dikuasai amarah. Angin seketika menerjang kencang ke arah Limbur Kancana dan Limbur Kancana. Para siluman hitam yang datang bersamanya melolong seperti anjing.“Nyi Genit,” ujar kelima anggota Cakar Setan, Wintara, dan Nilasari hampir bersamaan. Mereka tersenyum karena mendapat bantuan kuat dari si pembuat racun kalong setan.Sementara itu, Limbur Kancana dan Tarusbawa terkejut ketika melihat kedatangan Nyi Genit. Keadaan mereka terpojok dengan kalahnya jumlah atau mungkin kekuatan.“Sesuai dugaanku, siluman wanita itu berhasil meloloskan diri dari kendiku, begitupun dengan para siluman hitam yang datang bersamanya,” ujar Tarusbawa, “pertarungan ini akan semakin sulit. Meski begitu, kita masih memiliki kesempatan untuk menang.”“Lingga berhasil lulus dari ujianmu, Raka. Sekarang, dia masih berada di alam lain dan sedang berusaha untuk keluar. Setelah aku keluar dari alam lain, tiba
Nyi Genit tersenyum bengis. “Lalu, apa yang kalian tunggu?” Kelima anggota Cakar Setan, Wintara, dan Nilasari seketika melesatkan serangan pada Limbur Kancana dan Tarusbawa dalma waktu bersamaan. Harimau putih Limbur Kancana segera berubah menjadi kubah pelindung. Kubah bergetar sementara waktu dan mulai mengalami retak di beberapa bagian hingga akhirnya berlubang. “Serangan mereka bertambah kuat,” ujar Limbur Kancana. Limbur Kancana dan Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, melesat mundur saat Wulung, Argaseni, dan Brajawesi menyerang dari depan serta Kartasura dan Bangasera dari belakang. Di saat yang sama, kubah pelindung sepenuhnya hancur berkeping-keping. Limbur Kancana dan Tarusbawa melompat ke atas ketika Wintara dan Nilasari menyerang dari bawah tanah. Saat sudah berada di langit, keduanya dikejutkan dengan Nyi Genit yang sudah bersiap menyambut mereka. Nyi Genit melesatkan dua bagian selendang kuningnya dengan sangat cepat. Limbur Kancana menangkis dengan kujang, sed
Para siluman terus bergerak sembari memekik kencang. Suara mereka menggema ke seluruh bagian gua, terutama ke tempat para tabib berada.“Apa yang terjadi?”“Siapa yang berteriak barusan?”“Apa ada seseorang atau sekelompok orang yang mendekat?”“Suara riuh apa ini?”Para tabib mulai ketakutan, menatap satu sama lain. Getaran, guncangan, dan teriakan terasa dan terdengar dengan sangat jelas.“Tetap lakukan tugas kalian!” pekik Sekar Sari yang masih berkutat dengan ramuan dan kendi-kendi. “Kita hampir menyelesaikannya. Jangan menyerah.”“Kami akan menghadapi mereka,” ujar Indra yang kemudian memberi tanda pada Meswara, Jaka, dan Arya untuk bersiap.“Apa itu?” teriak seorang tabib sembari menunjuk pintu masuk di mana para siluman tengah berusaha untuk masuk.“Segera berkumpul dan tetap lakukan tugas kalian!” Indra mengentak tanah, menggenggam kapak, lalu melesatkan serangan jarak jauh dengan kapaknya. Sebuahsabit angin seketika tercipta dan langsung menghadang para siluman hitam yang ber
Di saat terdesak, Sekar Sari segera melempar bibit merah ke arah para siluman yang mengurung Indra, Meswara, Jaka dan Arya, termasuk para siluman yang datang menyerang dari berbagai arah. Api berkobar seketika muncul dan membakar para siluman. Gua mendadak terang untuk sesaat. Para tabib hanya melihat dengan tatapan ketakutan, kekaguman dan rasa penasaran.Indra, Meswara, Jaka dan Arya segera mendekat pada Sekar Sari, memegangi bagian tubuh mereka yang terluka. Darah mengucur deras dan kulit mereka tampak menghitam.Para siluman kembali menyerang setelah api menghilang. Asap tampak muncul dari kulit mereka. Meski begitu, serangan api berhasil meninggalkan bekas luka. Para Siluman memekik sangat kencang hingga gua bergetar untuk sementara waktu.“Aku tidak lagi memiliki bibit merah.” Sekar Sari mengambil bibit hijau dan saat para siluman mendekat, ia segera melempar bibit hijau pada mereka. Dalam sekejap, tanaman hijau tumbuh dan menjerat para siluman, lalu menarik mereka menjauh hingg
Pertarungan di Jaya Tonggoh semakin memanas. Limbur Kancana dan Tarusbawa terdesak karena serangan yang silih berganti datang dalam waktu yang singkat. Keduanya terkurung oleh kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari dan para siluman hitam. Sementara itu, Nyi Genit hanya menyimak pertarungan dari tempatnya berdiri. Nyi Genit mengibas selendangnya ketika menatap ke air terjun. “Aku tidak merasakan para siluman bergerak. Apa yang sudah terjadi pada mereka?” Kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari dan para siluman hitam menjauh dari Limbur Kancana dan Tarusbawa ketika sebuah batu besar melesat ke arah mereka. Harimau putih milik Limbur Kancana segera berubah menjadi kubah pelindung. Batu besar itu terpecah dan hancur berkeping-keping ketika mendapat serangan dalam waktu bersamaan. Potongan batu itu menghujani tanah jaya tonggoh hingga menimbulkan guncangan. “Sekar Sari dan para tabib memberikan ramuan ini padaku,” ujar Limbur Kancana seraya mengangkat satu buah keranjang ke
Limbur Kancana dan Tarusbawa mendarat di tanah dengan satu tangan memegang perut yang terus mengeluarkan darah. Luka mereka terbilang dalam dan menyakitkan. “Tubuhku terasa panas dan sulit digerakkan di saat bersamaan. Kemungkinan siluman wanita itu memberikan semacam racun pada serangannya,” ujar Limbur Kancana seraya menekan kuat perut untuk menutup lukanya. “Kita berdua lengah.” Tarusbawa menepuk perutnya cukup kuat hingga aliran darahnya berhenti. Ia mulai berdiri meski tubuhnya sempat oleng. Kedua rantainya kembali muncul dan dengan segera menangkis serangan selendang kuning Nyi Genit. “Aku harus mempertahankan para tiruanku yang berada bersama para pendekar sekaligus para murid padepokan. Lukaku cukup dalam dan aku membutuhkan sedikit waktu untuk mengatasinya, Raka.” Limbur Kancana mengambil sebuah bulatan kecil yang diberikan Ganawirya padanya. Nyi Genit melemparkan sebuah kendi kecil ke langit, lantas melayangkan serangan selendang hingga kendi hancur dan isinya berhamburan