Limbur Kancana dan para pendekar sedang berada di sebuah tanah lapang yang cukup jauh dengan Jaya Tonggoh. Ganawirya tampak sibuk mengobati para pendekar. Keadaan mereka mulai membaik meski tidak bisa menutup kenyataan jika mereka sudah berada di batas kekuatan mereka. Beberapa pendekar juga masih tidak sadarkan diri, terbaring di tanah. Limbur Kancana tengah duduk bersila di atas sebuah batu. Tatapannya berkeliling ke berbagai tempat. Ia mendapati Tarusbawa tengah bertarung dengan kelima anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari di Jaya Tonggoh. Pertempuran berlangsung dengan sangat panas di mana Tarusbawa tidak henti menerima serangan demi serangan. Beralih ke tempat lain, Limbur Kancana mendapati Sekar Sari dan para tabib tengah bekerja sangat keras untuk membuat ramuan. Bergesar ke samping, Jaka tengah memeriksa keadaan luar gua yang sudah sangat, berbanding terbalik dengan keadaan Jaya Tonggoh yang kembali panas dengan pertempuran. Jaka segera berlari untuk mengabarkan hal itu
Lingga mengamati Limbur Kancana dari atas hingga bawah. “Paman tampak aneh.” Hal serupa juga dirasakan Limbur Kancana. Ia merasakan kekuatan besar terpancar dari seluruh tubuh Lingga, kekuatan yang hangat dan menenangkan. “Kau harus segera ikut denganku sekarang, Lingga. Aku sudah menemukan jejak Tarusbawa.” “Aku melihat Paman sudah bertemu dengan Tarusbawa di suatu tempat sebelumnya. Kenapa Paman tidak memberitahuku lebih awal dan justru lebih memilih untuk menyembunyikan hal itu dariku?” “Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya padamu, Lingga. Saat itu, aku sedang memastikan apakah benar pendekar itu Tarusbawa atau bukan. Setelah memastikannya, aku segera menemui di tempat ini. Sekarang, ikutlah denganku. Tarusbawa sedang menunggumu di suatu tempat. Dia akan membawamu ke tempat persembunyiannya selama ini untuk mengajarimu menguasai pusaka kujang emas sepenuhnya. Dia juga akan memberitahumu beberapa hal penting terkait pusaka kujang emas.” Lingga menoleh pada air t
Lingga jatuh dalam kebimbangan yang semakin dalam. Antara menolong para pendekar dan menemui Tarusbawa sama-sama penting untuknya. Ia tidak akan bisa bertemu dengan Tarusbawa dalam keadaan tenang di saat para pendekar tengah berjuang-juang mati-matian. Sebagai sosok yang sudah ditakdirkan menjadi pewaris kujang emas, ia tidak bisa membiarkan orang lain terluka di saat dirinya memiliki kesempatan untuk menolong. Lingga memejamkan mata semakin kuat. Ia kembali teringat dengan perjuangannya untuk meraih ketenangan batin. Di waktu yang sama, ucapan Prabu Nilakendra mengenai ujian ketenangan batin yang bisa menggoyahkan ketenangan batin dan menghancurkannya kembali memenuhi isi kepalanya. Ia merasakan Prabu Nilakendra sedang mengawasinya dari suatu tempat. Limbur Kancana segera memasang kuda-kuda. Kedua tangannya mulai diselimuti cahaya putih berbentuk cakar harimau. Di saat yang sama, dua harimau putih mendadak muncul di sampignya, lalu mengaum dengan sangat keras. “Sepertinya kau lebih
Limbur Kancana kembali ke tubuhnya yang berada di atas air terjun. Ia dengan segera berdiri, mengamati jalannya pertandingan di mana Tarusbawa terus didesak dari berbagai sisi. Untuk kesekian kalinya, sebuah bayangan pintu muncul di langit. “Aku tahu sekarang. Lingga berusaha untuk keluar dari alam lain.” Limbur Kancana mengamati kembali pertarungan. Limbur Kancana menghimpun kekuatan. Tubuhnya seketika diselimuti cahaya putih yang meluap-luap. Kedua tangannya mengentak kuat ke arah Jaya Tonggoh. Cahaya putih yang menyelimuti raganya tiba-tiba berubah menjadi seekor hatimau putih raksasa yang menerjang ke Jaya Tonggoh dengan cepat. Limbur Kancana segera membuka pintu ke alam lain. Sayangnya, ia gagal memasuki cahaya putih menjadi pintu masuk hingga harus kembali mendarat di atas air terjun. “Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak memasuki alam lain?” Limbur Kacana menyentuh cahaya putih di depannya dan seketika menarik tangannya ketika rasa panas menjalar. “Pintu menuju alam sama sekal
“Aku akan menghabisi kalian berdua sekaligus para pendekar bodoh itu!” pekik Nyi Genit dengan wajah yang dikuasai amarah. Angin seketika menerjang kencang ke arah Limbur Kancana dan Limbur Kancana. Para siluman hitam yang datang bersamanya melolong seperti anjing.“Nyi Genit,” ujar kelima anggota Cakar Setan, Wintara, dan Nilasari hampir bersamaan. Mereka tersenyum karena mendapat bantuan kuat dari si pembuat racun kalong setan.Sementara itu, Limbur Kancana dan Tarusbawa terkejut ketika melihat kedatangan Nyi Genit. Keadaan mereka terpojok dengan kalahnya jumlah atau mungkin kekuatan.“Sesuai dugaanku, siluman wanita itu berhasil meloloskan diri dari kendiku, begitupun dengan para siluman hitam yang datang bersamanya,” ujar Tarusbawa, “pertarungan ini akan semakin sulit. Meski begitu, kita masih memiliki kesempatan untuk menang.”“Lingga berhasil lulus dari ujianmu, Raka. Sekarang, dia masih berada di alam lain dan sedang berusaha untuk keluar. Setelah aku keluar dari alam lain, tiba
Nyi Genit tersenyum bengis. “Lalu, apa yang kalian tunggu?” Kelima anggota Cakar Setan, Wintara, dan Nilasari seketika melesatkan serangan pada Limbur Kancana dan Tarusbawa dalma waktu bersamaan. Harimau putih Limbur Kancana segera berubah menjadi kubah pelindung. Kubah bergetar sementara waktu dan mulai mengalami retak di beberapa bagian hingga akhirnya berlubang. “Serangan mereka bertambah kuat,” ujar Limbur Kancana. Limbur Kancana dan Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, melesat mundur saat Wulung, Argaseni, dan Brajawesi menyerang dari depan serta Kartasura dan Bangasera dari belakang. Di saat yang sama, kubah pelindung sepenuhnya hancur berkeping-keping. Limbur Kancana dan Tarusbawa melompat ke atas ketika Wintara dan Nilasari menyerang dari bawah tanah. Saat sudah berada di langit, keduanya dikejutkan dengan Nyi Genit yang sudah bersiap menyambut mereka. Nyi Genit melesatkan dua bagian selendang kuningnya dengan sangat cepat. Limbur Kancana menangkis dengan kujang, sed
Para siluman terus bergerak sembari memekik kencang. Suara mereka menggema ke seluruh bagian gua, terutama ke tempat para tabib berada.“Apa yang terjadi?”“Siapa yang berteriak barusan?”“Apa ada seseorang atau sekelompok orang yang mendekat?”“Suara riuh apa ini?”Para tabib mulai ketakutan, menatap satu sama lain. Getaran, guncangan, dan teriakan terasa dan terdengar dengan sangat jelas.“Tetap lakukan tugas kalian!” pekik Sekar Sari yang masih berkutat dengan ramuan dan kendi-kendi. “Kita hampir menyelesaikannya. Jangan menyerah.”“Kami akan menghadapi mereka,” ujar Indra yang kemudian memberi tanda pada Meswara, Jaka, dan Arya untuk bersiap.“Apa itu?” teriak seorang tabib sembari menunjuk pintu masuk di mana para siluman tengah berusaha untuk masuk.“Segera berkumpul dan tetap lakukan tugas kalian!” Indra mengentak tanah, menggenggam kapak, lalu melesatkan serangan jarak jauh dengan kapaknya. Sebuahsabit angin seketika tercipta dan langsung menghadang para siluman hitam yang ber
Di saat terdesak, Sekar Sari segera melempar bibit merah ke arah para siluman yang mengurung Indra, Meswara, Jaka dan Arya, termasuk para siluman yang datang menyerang dari berbagai arah. Api berkobar seketika muncul dan membakar para siluman. Gua mendadak terang untuk sesaat. Para tabib hanya melihat dengan tatapan ketakutan, kekaguman dan rasa penasaran.Indra, Meswara, Jaka dan Arya segera mendekat pada Sekar Sari, memegangi bagian tubuh mereka yang terluka. Darah mengucur deras dan kulit mereka tampak menghitam.Para siluman kembali menyerang setelah api menghilang. Asap tampak muncul dari kulit mereka. Meski begitu, serangan api berhasil meninggalkan bekas luka. Para Siluman memekik sangat kencang hingga gua bergetar untuk sementara waktu.“Aku tidak lagi memiliki bibit merah.” Sekar Sari mengambil bibit hijau dan saat para siluman mendekat, ia segera melempar bibit hijau pada mereka. Dalam sekejap, tanaman hijau tumbuh dan menjerat para siluman, lalu menarik mereka menjauh hingg