Lingga segera membungkuk hormat ketika melihat Prabu Nilakendra sudah berada di depannya. Sayangnya, wajah pria itu masih terhalang oleh cahaya putih.“Ketenangan batin yang kau peroleh saat ini bisa berubah sesuai dengan keadaanmu, Lingga. Semakin banyak kau menghadapi peristiwa yang menguras hati, pikiran dan jiwamu, semakin sulit juga kau mempertahankan ketenangan batin. Semua kembali pada kemampuanmu dalam mengendalikan dirimu,” ujar Prabu Nilakendra seraya berbalik menghadap kujang emas yang terbang di atas kursi singgasana. “Angkatlah kepalamu dan ikuti aku.”Lingga mulai mendongak, berjalan mengikuti Prabu Nilakendra. Dua cahaya putih dan emas tiba-tiba muncul di sisi kiri dan kanan pemilik kujang pusakan tersebut.“Dengan keadaanmu saat ini, kau bisa meraih pusaka kujang emas dan menggunakannya dalam keadaan sadar.”Lingga terkejut meski di saat yang sama bahagia ketika mendengarnya. “Dengan ini, aku bisa membantu para pendekar untuk mengalahkan dua siluman ular itu sekaligus
Para pendekar terus terdesak hingga ke sisi Jaya Tonggoh. Mereka bahu membahu menahan dan menghindari serangan yang terus dilancarkam oleh Argaseni, Kartasura, Brajawesi, Bangasera, Wintara dan juga Nilasari. Para pendekar terus bertumbangan di mana hanya tersisa setengah yang masih sadarkan diri dan bertarung.Wirayuda dan keenam petinggi golongan putih yang lain mati-matian melindungi para pendekar dari serangan yang terus berdatangan. Tak sedikit dari mereka terkena serangan hingga menambah deretan luka. Saat serangan besar meluncur ke arah mereka, harimau raksasa milik Limbur Kancana seketika mengubah wujud menjadi kubah pelindung.Limbur Kancana kembali ke tempat para pendekar berada. Ia mengamati banyak pendekar yang sudah terbaring tak berdaya, termasuk ketujuh petinggi golongan putih yang sudah berada di ambang batas. Dengan keadaan seperti ini, para pendekar tidak mungkin bisa bertahan dan ia pun akan kesulitan untuk melawan banyak musuh sekaligus.Ganawirya dan beberapa tiru
Wulung menarik kembali pecut apinya. Tubuhnya perlahan mengecil hingga akhirnya kembali ke ukuran semula. “Para pendekar bodoh itu kembali melarikan diri. Dasar terkutuk!”Brajawesi meraih kembali kapak merahnya, mengawasi keadaan sekeliling. “Mereka hanya beruntung karena berhasil melarikan diri di saat yang tepat.”“Limbur Kancana pasti membawa mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tempat ini. Untuk memindahkan orang sebanyak itu, dia pasti membutuhkan kekuatan yang tidak sedikit, terlebih lima Jurig Lolong bersama mereka.” Argaseni mengentak tongkat ke tanah.Bangasera menoleh ke arah air terjun. “Aku harus segera pergi menuju tempat itu untuk mengetahui apa dan siapa yang berada di dalam air terjun itu.”Bangasera melompat dan seketika muncul di dekat air terjun. Ia memejamkan mata untuk mengetahui keadaan dari ular-ular beracun yang sudah disebarkan lebih dahulu. “Ular-ularku sama sekali tidak bisa mendekat ke air terjun itu. Ada semacam pelindung yang sangat kuat yang meli
Para tabib seketika menoleh ke arah Sekar Sari. Satu per satu dari mereka mulai bangkit, membantu satu sama lain untuk berdiri.“Aku akan menjelaskan hal ini dengan singkat. Kalian semua masih hidup. Pendekar Hitam berhasil menyelematkan kita semua di saat-saat terakhir sebelum serangan datang. Saat ini, kita semua berada di sebuah gua dengan perlindungan yang kuat. Pertarungan terus berlanjut dan para pendekar membutuhkan bantuan kita semua.” Sekar Sari berkata dengan suara keras.Para tabib mulai berbisik satu sama lain.“Mulai saat ini, kita akan kembali bekerja keras untuk membantu para pendekar dari gua ini. Tugas kita adalah membuat ramuan yang memiliki khasiat untuk melemahkan kekuatan para siluman. Ramuan itu akan dicampur dengan ramuan pemusnah siluman yang sudah dibuat sebelumnya. Aku sudah mendapatkan semua bahan-bahannya dan mengerti cara membuatnya.”Sekar Sari menunjuk ke samping di mana kotak berisi daun api merah, akar bambu kuning emas, bunga teratai biru dan beberapa
Gua tiba-tiba berguncang cukup keras. Indra, Meswara, Jaka, Arya dan para murid tampak waspada, begitupun dengan Sekar Sari dan para tabib yang tengah membuat ramuan.“Jaka benar. Tidak mungkin kita meninggalkan Sekar Sari dan para tabib sendirian. Bagaimanapun juga mereka memiliki peran penting dalam pertarungan ini.” Indra menoleh pada para murid yang tampak khawatir. “Meswara, Jaka, kalian berdua akan bertugas untuk melindungi para murid. Aku dan Arya akan melindungi para tabib di sini.”Indra memberikan sebuah kendi pada Meswara. “Kendi ini akan membantu kau dan Jaka jika terjadi sesuatu yang berbahaya. Aku masih memiliki satu kendi untuk aku dan Arya gunakan untuk melindungi Sekar Sari dan para tabib.”“Aku mengerti.” Meswara mengangguk, menoleh pada para murid. “Kita sebaiknya memberi tahu para murid mengenai keadaan ini.” “Kita bergerak sekarang.” Indra memberi anggukan kecil pada Arya. Keduanya dengan cepat mendekat ke arah ruangan di mana Sekar Sari dan para tabib berada, ke
Sebuah kapak tiba-tiba muncul dengan gerakan memutar ke arah batu besar yang sudah cukup dekat dengan para tabib. Kapak itu berhasil membelah batu menjadi potongan-potongan kecil. Indra melesat ke atas para tabib, kemudian mengayunkan serangan dengan sangat cepat hingga potongan batu terlempar ke samping.“Kakang Indra.” Sekar Sari terkejut dan bahagia di saat bersamaan karena batu tidak sampai mengenai para tabib.Indra mendarat di tengah-tengah para tabib, kembali menangkap kapaknya.Para tabib tampak terkejut, mengamati keadaan sekeliling yang sudah dipenuhi batu.“Siapa kau?”“Kenapa kau bisa berada di sini?”“Apa kau bagian dari para murid padepokan?”Sekar Sari segera mendekat pada Indra. “Tenanglah. Dia bukan orang jahat. Dia adalah kakak seperguruanku. Dia di sini untuk menjaga kita agar kita bisa tetap memusatkan seluruh perhatian dengan tugas kita. Kita kembali pada tugas masing-masing.”Para tabib mengamati Indra sekilas, kemudian kembali pada pekerjaan masing-masing.Indra
“Matilah kau, Tarusbawa!” teriak Munding Hideung bersamaan dengan sabit api yang membesar dan bersiap menghantam tubuh Tarusbawa. Senyuman bengisnya seolah akan melahap wajahnya sendiri saking senang akan menghabisi lawan tangguh yang sudah merepotkannya berkali-kali. Ia bisa merasakan detak jantung Tarusbawa yang terus-menerus melemah dan ilmu kanuragaannya yang menghilang. Di saat yang sama, Bangkong Bodas dan Simuet Koneng menghimpun kekuatan di tangan kanan hingga memancarkan cahaya merah kehitaman. Di saat ketiga siluman bawahan Nyi Genit itu bersiap melenyapkan Tarusbawa, tubuh mereka tiba-tiba berhenti bergerak di udara. “Apa yang terjadi?” Munding Hideung terkejut, mengamati tubuhnya yang tiba-tiba membatu di udara. Sabit apinya bertambah besar, tetapi mendadak mengecil setelahnya. Ia menghimpun kekuatan untuk mengetahui apa dan siapa yang tiba-tiba menjeratnya. “Rantai putih?” Munding Hideung tercekat ketika tubuhnya sudah dijerat oleh rantai putih. Ia dengan cepat menole
Tarusbawa memberi tanda pada tiruan Limbur Kancana untuk memindahkannya dan anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari ke Jaya Tonggoh meski hal itu membutuhkan waktu lebih lama. Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, Kartasura, Wintara dan Nilasari terus berusaha mendobrak masuk hingga air terjun terciprat ke sekeliling dan bagian gua bergetar hebat. Ketika mereka akan melesatkan serangan, tiba-tiba mereka tertarik ke sebuah arah dan mendadak muncul di Jaya Tonggoh. Serangan-serangan mereka justru saling menumbuk hingga menimbulkan guncangan dan gelombang kuat ke sekeliling. Wulung memutar pecut apinya hingga dari kejauhan terlihat api yang bergerak sangat cepat ke sekeliling arah. “Siapa yang sudah memindahkanku?” “Terkutuk! Apa yang sebenarnya terjadi?” Brajawesi melindungi mata dengan tangan dan kapak merahnya dari serbuan angin dan debu. Ia melompat mundur seraya mengayun-ayun kapak untuk mengusir asap dan debu. “Kenapa aku bisa tiba-tiba kembali ke Jaya Tonggoh?” Argaseni me