Bangkong Bodas dan Simeut Koneng menggempur kubah pelindung terus-menerus. Akan tetapi, serangan-serangan mereka masih belum bisa menembus kubah pelindung dan mengenyahkan Limbur Kancana dari tengah kubah.“Terkutuk!” Bangkong Bodas mengerahkan kembali pasukan kataknya. Sebuah gelombang yang memancar dari atap kubah dengan cepat menghempas pasukan kataknya hingga berterbangan and sebagian menghilang. “Kubah pelindung itu semakin kuat seiring waktu.”Simeut Koneng menoleh ke arah selatan. “Mereka segera tiba.”Bangkong Bodas dan Simeut Koneng mulai menjauh dari kubah pelindung, menghimpun kekuatan dalam waktu bersamaan. Pasukan katak dan pasukan belalang mulai menjauh dari kubah, lalu kembali ke tubuh mereka masing-masing.Limbur Kancana merasakan kekuatan besar yang semakin dekat. Empat harimau tiba-tiba kembali ke arahnya, lalu menyatu dengan kubah pelindung. Ia dengan cepat berdiri, mengawasi keadaan sekeliling. “Semua persiapan sudah selesai.”Limbur Kancana mengembus napas panjang
Di atas tunggangan kelelawar raksasa, Kartasura dan Danuseka melihat bagaimana jalannya pertarungan antara keempat anggota Cakar Setan dengan Pendekar Hitam yang nyatanya adalah seorang tiruan.Kartasura dan Danuseka mengerahkan kelelawar mereka untuk menjauh saat serangan dahsyat terjadi. Terjadi guncangan kuat hingga angin berembus ke arah mereka, disusul getaran kuat di tanah hingga membuat beberapa pohon bertumbangan.“Kubah pelindung itu benar-benar kuat,” ujar Kartasura.“Aku merasa aneh dengan kubah itu. Anggota Cakar Setan dan para siluman itu sudah diselimuti racun kalong setan terkuat, tapi kubah pelindung itu belum menandakan akan hancur, padahal seharusnya penawar racun kalong setan yang menyelimutinya tidak akan sekuat itu.” Danuseka menanggapi.“Kau benar, Danuseka. Aku juga merasakan hal yang sama. Satu-satunya yang kupikirkan adalah para pendekar memiliki penawar racun kalong setan yang sama kuatnya dengan racun kalong setan yang digunakan anggota Cakar Setan dan para
“Kubah pelindung itu mulai melemah. Muncul retakan dan lubang di beberapa titik. Kita harus segera menyerang dengan kekuatan penuh,” ujar Bangkong Bodas.“Kau benar, Bangkong Bodas,” sahut Simeut Koneng, “aku yakin yang lain juga sudah menyadari hal ini. Para pendekar bodoh itu tidak akan bisa bertahan lagi.”Bangkong Bodas dan Simeut Koneng melompat ke belakang dalam waktu bersamaan, memutar tubuh di udara, menghimpun kekuatan di kedua tangan.Para siluman menyebar ke sekeliling gua, bersiap untuk melesatkan serangan.Wulung, Argaseni, Brajawesi dan Bangasera mengentak tubuh ke empat arah berbeda, melirik sekeliling dan bersiap dengan serangan. Tak ingin ketinggalan, Wintara dan Nilasari melesatkan serangan susuk dan tombak ke arah langit.“Gawat. Dengan serangan itu, kubah pelindung ini tidak mungkin bisa bertahan lagi. Aku harus melindungi para tabib,” ujar Wirayuda yang bersembunyi di balik pohon. Ia segera memberi tanda pada petinggi golongan putih yang lain untuk kembali.Wiray
Keempat anggota Cakar Setan melesatkan serangan dari empat arah berbeda menuju gua. Serangan itu langsung menghantam kuat hingga beberapa bagian gua roboh dan rata dengan tanah. Guncangan dahsyat langsung terjadi di tempat para tabib dan para pendekat berada. Untungnya, mereka masih bisa bertahan.“Kubah pelindung berhasil dihancurkan,” ujar Limbur Kancana, “keempat anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari serta para siluman sudah bergerak ke arah gua.”Semua orang sontak terkejut ketika mendengarnya. Para tabib kembali bekerja dengan cepat untuk menyelesaikan tahap akhir.“Kami masih membutuhkan sedikit waktu,” ucap Ganawirya.Limbur Kancana segera menghimpun kekuatan, melesatkan empat pukulan ke arah gua. Dari empat pukulan itu muncul empat harimau putih yang tiba-tiba mengaum keras. “Ini bisa menahan mereka meski sebentar.”Limbur Kancana melirik Ganawirya dan Sekar Sari yang masih berkutat dengan ramuan. Ia bergumam dengan tatapan tertuju pada atap gua yang sudah berlubang besar,
“Wintara, Nilasari,” ujar Wirayuda yang dengan cepat bersiaga. Para petinggi golongan utih dan pendekat ikut melakukan hal serupa.Ganawirya terdiam sesaat ketika melihat dua sosok siluman berwujud manusia di depannya. Ia bisa merasakan hawa membunuh yang sangat kuat. “Sedikit lagi sampai cairan ini aku masukan ke dalam ramuan lain.”Sekar Sari mendekat, menatap para pendekar yang sudah sepenuhnya bersiaga. “Guru.”“Setelah aku memasukkan cairan ini, kita membutuhkan sedikit tambahan waktu agar penawar racun kalong setan ini sempurna. Sayangnya, kita tidak memiliki banyak waktu untuk mencoban ramuan penawar ini lebih dahulu.”Para siluman muncul dari sekeliling arah, mengelilingi para pendekar. Sebuah serangan yang datang dari berbagai arah membuat seluruh gua sudah sepenuhnya hancur. Para pendekar dan tabib bisa melihat keadaan sekitar yang sudah porak poranda.Wintara dan Nilasari menghimpun kekuatan. Dari kedua lengan mereka muncul sisik-sisik ular yang kemudian melesat ke arah dep
Lingga menggunakan jurus harimau putih untuk menghadapi sosok tiruan Wira. Pertarungan keduanya tampak imbang dengan serangan yang beberapa kali saling menumbuk. Di tengah keadaan yang masih dipenuhi oleh asap putih, Lingga berusaha mengalahkan sosok tiruan yang dahulu pernah menjadi rekannya dan sosok yang dikaguminya.Lingga terdorong mundur ketika serangannya lagi-lagi berbenturan dengan sosok tiruan Wira. Kedua tangannya yang diselimuti cahaya putih seperti cakar harimau mendadak menghilang. Lingga berusaha tenang di tengah bayangan menyakitkan saat tahu Wira adalah sosok pengkhianat yang menjadi dalang kematian Ki Petot.“Aku harus tenang. Aku pasti bisa mengalahkan sosok tiruan itu.” Lingga kembali bersiaga, mengamati setiap gerak-gerik sosok tiruan Wira. Saat akan melangkah, suara hinaan yang berasal dari sosok itu menghadangnya.“Dasar manusia bodoh. Karena kebodohan dan kelemahanmulah tua bangka itu mati. Kau adalah pembawa sial makhluk rendahan yang tidak pantas hidup.”Ling
Sebuah ledakan terjadi akibat serangan yang diluncurkan keempat anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari dan para siluman. Guncangan terasa kuat ke sekeliling, menimbulkan embusan angin kencang, asap tebal dan hitam yang mengudara ke langit. Pepohonan di sekitar kawasan roboh hingga rata dengan tanah.Wulung, Argaseni, Brajawesi dan Bangasera melancarkan serangan jarak jauh. Asap seketika menghilang hingga keadaan gua terlihat dengan jelas. Sayangnya, tidak ditemukan satu pun pendekar maupun para tabib, yang terlihat justru sisa-sisa runtuhan gua yang sudah rata dengan tanah.“Apa? Ke mana para pendekar bodoh itu pergi?” Wulung berdecak kesal, memelotot tajam. “Bagaimana mungkin mereka bisa melarikan diri secepat ini? Limbur Kancana. Ini semua pasti ulahnya. Dia benar-benar membuat darahku mendidih.”Argaseni menarik dirinya ke arah reruntuhan kabah, mengawasi keadaan sekeliling. Ia menemukan sisa dan kendi bekas ramuan yang tercecer di tanah. “Mereka berhasil melarikan diri di saat-s
Wulung melesatkan pecutnya ke arah utara, menarik dirinya, melakukan gerakan yang sama berkali-kali untuk mengejar kelima siluman. Argaseni dan Brajawesi segera menyusul dengan bantuan tongkat dan kapaknya.Sementara itu, Bangasera tertawa ketika melihat kekesalan di wajah Wintara dan Nilasari. “Akhirnya kalian merasakan bagaimana kejamnya penghinaan. Harga untuk membantu kalian tidaklah murah. Kalian harus membuktikan jika kalian pantas ditolong. Jika tidak, bisa saja kalian akan berakhir menjadi sampah tak berguna.”“Kau!” Nilasari bersiap menyerang, tetapi Wintara kembali menghadangnya.Bangasera mengubah wujudnya menjadi ular, lalu bergerak cepat menyusul yang lain.“Kakang, kenapa kau terus menghalangiku?” Nilasari berdecak kesal. “Pria hitam dan siluman ular jelek itu harus kita beri pelajaran.”“Tenanglah, Nilasari. Aku tahu kau sangat kesal. Perlu kau tahu jika aku juga merasakan hal yang sama. Tapi membalas perbuatan mereka saat ini tidak akan menguntungkan bagi kita. Kita ha