Lingga menggunakan jurus harimau putih untuk menghadapi sosok tiruan Wira. Pertarungan keduanya tampak imbang dengan serangan yang beberapa kali saling menumbuk. Di tengah keadaan yang masih dipenuhi oleh asap putih, Lingga berusaha mengalahkan sosok tiruan yang dahulu pernah menjadi rekannya dan sosok yang dikaguminya.Lingga terdorong mundur ketika serangannya lagi-lagi berbenturan dengan sosok tiruan Wira. Kedua tangannya yang diselimuti cahaya putih seperti cakar harimau mendadak menghilang. Lingga berusaha tenang di tengah bayangan menyakitkan saat tahu Wira adalah sosok pengkhianat yang menjadi dalang kematian Ki Petot.“Aku harus tenang. Aku pasti bisa mengalahkan sosok tiruan itu.” Lingga kembali bersiaga, mengamati setiap gerak-gerik sosok tiruan Wira. Saat akan melangkah, suara hinaan yang berasal dari sosok itu menghadangnya.“Dasar manusia bodoh. Karena kebodohan dan kelemahanmulah tua bangka itu mati. Kau adalah pembawa sial makhluk rendahan yang tidak pantas hidup.”Ling
Sebuah ledakan terjadi akibat serangan yang diluncurkan keempat anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari dan para siluman. Guncangan terasa kuat ke sekeliling, menimbulkan embusan angin kencang, asap tebal dan hitam yang mengudara ke langit. Pepohonan di sekitar kawasan roboh hingga rata dengan tanah.Wulung, Argaseni, Brajawesi dan Bangasera melancarkan serangan jarak jauh. Asap seketika menghilang hingga keadaan gua terlihat dengan jelas. Sayangnya, tidak ditemukan satu pun pendekar maupun para tabib, yang terlihat justru sisa-sisa runtuhan gua yang sudah rata dengan tanah.“Apa? Ke mana para pendekar bodoh itu pergi?” Wulung berdecak kesal, memelotot tajam. “Bagaimana mungkin mereka bisa melarikan diri secepat ini? Limbur Kancana. Ini semua pasti ulahnya. Dia benar-benar membuat darahku mendidih.”Argaseni menarik dirinya ke arah reruntuhan kabah, mengawasi keadaan sekeliling. Ia menemukan sisa dan kendi bekas ramuan yang tercecer di tanah. “Mereka berhasil melarikan diri di saat-s
Wulung melesatkan pecutnya ke arah utara, menarik dirinya, melakukan gerakan yang sama berkali-kali untuk mengejar kelima siluman. Argaseni dan Brajawesi segera menyusul dengan bantuan tongkat dan kapaknya.Sementara itu, Bangasera tertawa ketika melihat kekesalan di wajah Wintara dan Nilasari. “Akhirnya kalian merasakan bagaimana kejamnya penghinaan. Harga untuk membantu kalian tidaklah murah. Kalian harus membuktikan jika kalian pantas ditolong. Jika tidak, bisa saja kalian akan berakhir menjadi sampah tak berguna.”“Kau!” Nilasari bersiap menyerang, tetapi Wintara kembali menghadangnya.Bangasera mengubah wujudnya menjadi ular, lalu bergerak cepat menyusul yang lain.“Kakang, kenapa kau terus menghalangiku?” Nilasari berdecak kesal. “Pria hitam dan siluman ular jelek itu harus kita beri pelajaran.”“Tenanglah, Nilasari. Aku tahu kau sangat kesal. Perlu kau tahu jika aku juga merasakan hal yang sama. Tapi membalas perbuatan mereka saat ini tidak akan menguntungkan bagi kita. Kita ha
Indra, Meswara, Jaka dan Arya memberikan salam penghormatan khas pendekar pada Limbur Kancana dan Ganawirya.“Apa yang terjadi pada Sekar Sari, Kakang Guru, Guru?” tanya Indra dengan wajah penuh kekhawatiran, “dan siapa orang-orang ini?”“Tenanglah, Indra. Sekar Sari hanya tidak sadarkan diri. Setelah dia beristirahat, dia akan kembali seperti semula,” jawab Ganawirya, “lalu orang-orang ini adalah para tabib yang sudah berkerja sangat keras untuk membuat penawar racun kalong setan brsamaku. Mereka akan beristirahat di tempat ini untuk sementara waktu.”“Syukurlah.” Indra menoleh pada para murid yang mendekat ke arah tempat ini. “Lalu bagaimana dengan para murid yang lain, Guru? Mereka akan bertanya-tanya mengenai orang-orang ini, terutama Sekar Sari. Bisa saja ingatan mereka kembali ketika melihatnya.”“Biar aku yang mengatasi hal ini.” Limbur Kancana menciptakan dinding tak kasat mata. “Dalam pandangan orang biasa, ruangan ini akan terlihat seperti dinding tebal yang tidak mungkin bi
“Jadi kalian bertiga masih mengingat Lingga. Bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya Ganawirya dengan tatapan tajam.Geni, Jaya, dan Barma sontak terkejut dan ketakutan. Ketiganya dengan cepat berdiri, mundur hingga punggung mereka menempel di dinding gua.“Katakan sekarang juga. Kenapa kalian masih bisa mengingat Lingga?”Geni. Jaya dan Barma saling menyikut, menatap satu sama lain, memberi tanda siapa yang akan berbicara pada Ganawirya.“Kami mengingat Lingga saat kami tersadar. Kami menulis nama Lingga di senjata masing-masing sehingga kami bisa mengingat Lingga. Kami bertiga juga menayksikan kepergian Lingga, Kakang Guru dan Sekar Sari,” jawab Geni pada akhirnya.Ganawirya diam sesaat. Seperti yang dikatakan Limbur Kancana, jurus penghilang ingatan akan mudah dipatahkan oleh orang yang memiliki ingatan dan hubungan kuat dengan sosok yang ingin dilupakan. Hal ini juga terjadi pada Sekar Sari sebelumnya.“Aku tidak ingin jika kabar mengenai Lingga sampai bocor pada murid lain. Jika s
Sabit api itu berputar cepat dan semakin membesar di saat yang bersamaan. Angin tiba-tiba berembus karena putaran sabit dan berubah menjadi sabit angin. Dua rantai Tarusbawa berhasil menahan serangan sabit api dan sabit angin untuk sesaat meski akhirnya terpental dan melesat ke arah Tarusbawa.Munding Hideung seketika melesat maju, bersiap dengan serangan kejutan. Hanya saja sabit api miliknya hanya menerobos tempat kosong dan sabit angin menyabit pepohonan di sekitar tanpa mengenai Tarusbawa. “Ke mana perginya, Tarusbawa?”Munding Hideung berbalik ke belakang dan terhenyak ketika Tarusbawa sudah berada di dekatnya dengan dua rantai putih yang bersiap untuk menyekapnya.Munding Hideung menangkis kedua rantai itu dengan ayunan sabit. Sayangnya, ia telat menahan tendangan Tarusbawa ke perutnya hingga ia terlempar ke belakang. “Kurang ajar!”Munding Hideung berhenti di puncak pohon. Sabit apinya terbagi menjadi empat sabit yang lebih
Para petinggi golongan putih dan para pendekar masih berada di bekas reruntuhan Jaya Tonggoh. Mereka mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Beberapa kali getaran terasa di mana kawanan burung dan hewan menjauh dari jalur di depan.“Musuh sebentar lagi tiba di sini,” ujar Galisaka yang baru saja meluncur turun dari langit, “jika kita tidak segera bertindak, pertarungan tidak mungkin kita hindari. Dengan keadaan kita dan pasukan kita saat ini, kita tidak memiliki kemungkinan untuk menang.”“Pendekar Hitam sedang memulihkan diri saat ini. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung padanya. Di sini atau berpindah tempat sekalipun, pertarungan akan tetap terjadi.” Wirayuda mengepalkan tangan erat-erat, menoleh ke depan ketika getaran kembali terasa. “Kita harus bisa menahan musuh dan menyatukan semua kekuatan kita.”“Aku ingin mengatakan hal serupa seperti yang kau katakan, Wirayuda. Hanya saja melihat musuh kita dan keadaan kita saat ini, kesempatan kita untuk menang sangatlah tipis.
Wulung, Argaseni, Brajawesi dan Bangasera mendarat di tanah dalam waktu hampir bersamaan. Mereka melihat kelima siluman raksasa dan para siluman terus menyerang kubah pelindung para pendekar tanpa henti.“Para pendekar bodoh itu sepertinya tidak tahu hal apa yang sedang mereka hadapi. Jika mereka menyerah, mereka tidak akan merasakan sakit yang berlipat-lipat,” ujar Argaseni di mana tongkatnya perlahan memanjang ke langit.“Mereka memang bodoh sepertimu, Argaseni,” ledek Brajawesi seraya melempar-lempar kapak merahnya ke langit.“Kubah pelindung itu cukup kuat untuk menahan serangan kelima siluman raksasa. Hanya saja, kubah itu tidak bisa bertahan lama. Aku bisa melihat kubah pelindung itu perlahan retak di beberapa bagian.” Bangasera mengawasi keadaan langit sesaat. Sisik-sisik di lengan kiri dan kanannya tampak bergerak-gerak.“Berhentilah mengoceh sebelum aku menghajar kalian semua.” Wulung melirik kanan dan kiri di mana pecutnya mendadak diselimuti api.Wulung, Argaseni, Brajawesi