Sabit api itu berputar cepat dan semakin membesar di saat yang bersamaan. Angin tiba-tiba berembus karena putaran sabit dan berubah menjadi sabit angin. Dua rantai Tarusbawa berhasil menahan serangan sabit api dan sabit angin untuk sesaat meski akhirnya terpental dan melesat ke arah Tarusbawa.
Munding Hideung seketika melesat maju, bersiap dengan serangan kejutan. Hanya saja sabit api miliknya hanya menerobos tempat kosong dan sabit angin menyabit pepohonan di sekitar tanpa mengenai Tarusbawa. “Ke mana perginya, Tarusbawa?”
Munding Hideung berbalik ke belakang dan terhenyak ketika Tarusbawa sudah berada di dekatnya dengan dua rantai putih yang bersiap untuk menyekapnya.
Munding Hideung menangkis kedua rantai itu dengan ayunan sabit. Sayangnya, ia telat menahan tendangan Tarusbawa ke perutnya hingga ia terlempar ke belakang. “Kurang ajar!”
Munding Hideung berhenti di puncak pohon. Sabit apinya terbagi menjadi empat sabit yang lebih
Para petinggi golongan putih dan para pendekar masih berada di bekas reruntuhan Jaya Tonggoh. Mereka mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Beberapa kali getaran terasa di mana kawanan burung dan hewan menjauh dari jalur di depan.“Musuh sebentar lagi tiba di sini,” ujar Galisaka yang baru saja meluncur turun dari langit, “jika kita tidak segera bertindak, pertarungan tidak mungkin kita hindari. Dengan keadaan kita dan pasukan kita saat ini, kita tidak memiliki kemungkinan untuk menang.”“Pendekar Hitam sedang memulihkan diri saat ini. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung padanya. Di sini atau berpindah tempat sekalipun, pertarungan akan tetap terjadi.” Wirayuda mengepalkan tangan erat-erat, menoleh ke depan ketika getaran kembali terasa. “Kita harus bisa menahan musuh dan menyatukan semua kekuatan kita.”“Aku ingin mengatakan hal serupa seperti yang kau katakan, Wirayuda. Hanya saja melihat musuh kita dan keadaan kita saat ini, kesempatan kita untuk menang sangatlah tipis.
Wulung, Argaseni, Brajawesi dan Bangasera mendarat di tanah dalam waktu hampir bersamaan. Mereka melihat kelima siluman raksasa dan para siluman terus menyerang kubah pelindung para pendekar tanpa henti.“Para pendekar bodoh itu sepertinya tidak tahu hal apa yang sedang mereka hadapi. Jika mereka menyerah, mereka tidak akan merasakan sakit yang berlipat-lipat,” ujar Argaseni di mana tongkatnya perlahan memanjang ke langit.“Mereka memang bodoh sepertimu, Argaseni,” ledek Brajawesi seraya melempar-lempar kapak merahnya ke langit.“Kubah pelindung itu cukup kuat untuk menahan serangan kelima siluman raksasa. Hanya saja, kubah itu tidak bisa bertahan lama. Aku bisa melihat kubah pelindung itu perlahan retak di beberapa bagian.” Bangasera mengawasi keadaan langit sesaat. Sisik-sisik di lengan kiri dan kanannya tampak bergerak-gerak.“Berhentilah mengoceh sebelum aku menghajar kalian semua.” Wulung melirik kanan dan kiri di mana pecutnya mendadak diselimuti api.Wulung, Argaseni, Brajawesi
Pertarungan pendekar golongan putih dengan anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari dan para siluman akhirnya pecah. Kelima siluman raksasa mengamuk dengan mengayunkan palu godam mereka pada para pendekar. Para siluman bergerak cepat menerjang ke depan. Jaya Tonggoh yang sepi akhirnya menjadi saksi perang besar terjadi. Wulung mengayunkan pecutnya dengan sangat kuat ke arah Wirayuda yang masih terbaring di tanah. Menyadari serangan tersebut, Wirayuda segera berguling ke samping, mendorong kakinya ke tanah hingga tubuhnya bergerak menjauh dengan bertumpu pada pedangnya yang menggurat tanah.Wirayuda segera bediri, merasakan dadanya memanas. “Jadi pria hitam legam itu yang sudah menyerangku. Dia sangat kuat. Aku akan kesulitan jika harus menghadapinya di tengah keadaanku saat ini.”Wulung tertawa. “Kau boleh juga. Akulah yang akan menjadi lawanmu.”Wulung kembali melempar pecutnya ke arah Wirayuda, bergerak cepat ke depan hingga para pendekar dan para siluman yang berada di sekelilingny
Kolot Raga berhasil menahan kapak merah Brajawesi dengan pedang. Sayangnya, tubuhnya terus terdorong ke bawah hingga ia harus berlutut dan kakinya terus tertanam di tanah.Brajawesi tertawa keras. “Biar kucincang daging alotmu sekarang juga, pendekar tua! Kau hanya besar mulut di hadapanku!”Kolot Raga mendorong tubuhnya ke belakang di saat-saat Brajawesi mengayunkan serangan kuat ke arahnya. Ia segera menancapkan pedang apinya untuk menahan serangan retakan tanah yang menjalar ke arahnya.Benturan serangan Brajawesi dan Kolot Raga seketika menimbulkan guncangan kuat di tanah hingga para pendekar di sekeliling tempat pertarungan berjatuhan dan nyaris dikalahkan para siluman yang tengah bertarung dengan mereka.Kolot Raga melompat ke atas seraya mengayunkan pedang apinya. Bola-bola berukuran kecil seketika berterbangan dan menyerang para siluman yang akan menyerang para pendekar. Brajawesi tiba-tiba datang dengan satu ayunan kuat kapak. Kolot Raga mampu menahan serangan itu untuk sesa
Baktijaya bergerak memutar seraya mengayunkan tombaknya dengan cepat. Ular-ular beracun yang menyerangnya seketika terpental ke sekeliling. Ia kemudian melempar tomboknya ke arah Bangasera yang terus-menerus mengeluarkan ular beracun.“Kau tidak akan bisa mengalahkanku!” Bangasera menangkis serangan tombak dengan dua ular besar yang mendadak muncul dari tangannya. Saat akan menendang tombak, tanpa diduga tombak tiba-tiba berubah menjadi Baktijaya yang sudah bersiap dengan dua serangan di tangan.“Berhentilah mengoceh, ular sawah!” Baktijaya melesatkan serangan kuat dengan kedua tangan setelah menyingkirkan dua ular Bangasera dengan tendangan.“Kau yang harusnya berhenti mengoceh!” Bangasera dengan cepat menghimpun kekuatan untuk menahan serangan Baktijaya dengan kedua tangan. Dua ekor ular besar tiba-tiba muncul dari balik punggung dan langsung menyerang Baktijaya.Baktijaya segera memanggil kembali tombaknya, memutar-mutar sesaat, lalu menyerang dua ular itu dengan ujung atas dan uju
“Serahkan mereka padaku.” Ekawira segera melompat ke atas, memutar tubuh perlahan seraya menghimpun kekuatan pada pedangnya. Saat ia mengarahkan pedang ke langit, sebuah sinar seketika muncul dan menyebar ke sekeliling. “Aku menemukan kalian.” Ekawira segera memberi tanda pada Galisaka dan Jatiga.Ekawira seketika mengarahkan pedangnya ke arah Kartasura yang masih menunggangi kelelawar raksasanya. Dengan dorongan kuat dari kedua kaki, tubuhnya melesat cepat ke arah Kartasura seperti anak panah.Kartsura yang menyadari bahaya segera melompat dari kelelawarnya. Ia menahan serangan pedang Ekawira dengan kedua tangan di mana tubuhnya terdorong mundur.Sementara itu, Galisaka dan Jatiraga meluncur dengan hunusan pedang ke arah tanah di mana Wintara dan Nilasari bersembunyi. Sayangnya, sesaat sebelum serangan berhasil mendarat, Wintara dan Nilasari berhasil menghindar dan muncul ke permukaan.“Terkutuk! Aku kira aku bisa bersembunyi saat pertarungan ini dimulai. Ternyata mereka berhasil m
Galih Jaya, Dharma, Malawati dan pendekar lain segera melompat tinggi ke udara. Mereka membuka kendi dengan segera, mengerahkan kekuatan sebanyak mungkin. “Ini tandanya!” Wirayuda segera memberi tanda pada para pendekar untuk pergi ke sisi utara Jaya Tonggoh. Ia melayangkan serangan jarak jauh pada para siluman yang masih menyerang pada pendekar sembari terus menjauh dari pecut Wulung yang terus mengejarnya. Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Baktijaya dan Tapasena mulai menjauh dari anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari. Mereka membantu para pendekar untuk mundur dari medan pertempuran. “Mereka melarikan diri,” gumam Bangasera dengan mata memelotot. “Apa yang sedang mereka rencanakan?” gumam Wulung dengan tatapan mengawasi sekeliling. “Apa pun yang kalian rencanakan. Aku tidak akan membiarkan kalian semua lari.” Wulung melesatkan pecutnya ke arah para pendekar yang tengah berlarian. Akan tetapi, pecutnya berhasil ditahan oleh Wirayuda dengan pedangnya. “Kalian tidak ak
Empat siluman raksasa mengamuk ketika melihat satu rekan mereka berhasil diisap oleh para pendekar. Mereka langsung berlari dengan kecepatan penuh seraya mengayun-ayunkan palu godam dengan kuat. Tanah berguncang hebat disertai angin kencang yang bergumuruh. Hal itu membuat para pendekar terdorong ke belakang untuk sesaat.Ketujuh petinggi golongan putih dan Galih Jaya berdiri paling depan dengan kendi yang digenggam erat. Para pendekar berdiri di belakang mereka seraya ikut mengalirkan tenaga dalam.“Bertahan!” teriak Wirayuda dengan kedua kaki yang ditanamkan ke dalam tanah agar ia tidak terdorong ke belakang. Hal serupa juga dilakukan oleh para petinggi golongan putih yang lain. Guncangan tanah begitu kuat terasa hingga beberapa pendekar harus saling berpegangan.Isapan dari kedelapan kendi masih terus terjadi meski hal itu terhalang oleh angin dan guncangan dari keempat siluman raksasa. Sebuan angin dan isapan kendi saling beradu hingga membuat puting beliung yang mengamuk di meda