Baktijaya bergerak memutar seraya mengayunkan tombaknya dengan cepat. Ular-ular beracun yang menyerangnya seketika terpental ke sekeliling. Ia kemudian melempar tomboknya ke arah Bangasera yang terus-menerus mengeluarkan ular beracun.“Kau tidak akan bisa mengalahkanku!” Bangasera menangkis serangan tombak dengan dua ular besar yang mendadak muncul dari tangannya. Saat akan menendang tombak, tanpa diduga tombak tiba-tiba berubah menjadi Baktijaya yang sudah bersiap dengan dua serangan di tangan.“Berhentilah mengoceh, ular sawah!” Baktijaya melesatkan serangan kuat dengan kedua tangan setelah menyingkirkan dua ular Bangasera dengan tendangan.“Kau yang harusnya berhenti mengoceh!” Bangasera dengan cepat menghimpun kekuatan untuk menahan serangan Baktijaya dengan kedua tangan. Dua ekor ular besar tiba-tiba muncul dari balik punggung dan langsung menyerang Baktijaya.Baktijaya segera memanggil kembali tombaknya, memutar-mutar sesaat, lalu menyerang dua ular itu dengan ujung atas dan uju
“Serahkan mereka padaku.” Ekawira segera melompat ke atas, memutar tubuh perlahan seraya menghimpun kekuatan pada pedangnya. Saat ia mengarahkan pedang ke langit, sebuah sinar seketika muncul dan menyebar ke sekeliling. “Aku menemukan kalian.” Ekawira segera memberi tanda pada Galisaka dan Jatiga.Ekawira seketika mengarahkan pedangnya ke arah Kartasura yang masih menunggangi kelelawar raksasanya. Dengan dorongan kuat dari kedua kaki, tubuhnya melesat cepat ke arah Kartasura seperti anak panah.Kartsura yang menyadari bahaya segera melompat dari kelelawarnya. Ia menahan serangan pedang Ekawira dengan kedua tangan di mana tubuhnya terdorong mundur.Sementara itu, Galisaka dan Jatiraga meluncur dengan hunusan pedang ke arah tanah di mana Wintara dan Nilasari bersembunyi. Sayangnya, sesaat sebelum serangan berhasil mendarat, Wintara dan Nilasari berhasil menghindar dan muncul ke permukaan.“Terkutuk! Aku kira aku bisa bersembunyi saat pertarungan ini dimulai. Ternyata mereka berhasil m
Galih Jaya, Dharma, Malawati dan pendekar lain segera melompat tinggi ke udara. Mereka membuka kendi dengan segera, mengerahkan kekuatan sebanyak mungkin. “Ini tandanya!” Wirayuda segera memberi tanda pada para pendekar untuk pergi ke sisi utara Jaya Tonggoh. Ia melayangkan serangan jarak jauh pada para siluman yang masih menyerang pada pendekar sembari terus menjauh dari pecut Wulung yang terus mengejarnya. Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Baktijaya dan Tapasena mulai menjauh dari anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari. Mereka membantu para pendekar untuk mundur dari medan pertempuran. “Mereka melarikan diri,” gumam Bangasera dengan mata memelotot. “Apa yang sedang mereka rencanakan?” gumam Wulung dengan tatapan mengawasi sekeliling. “Apa pun yang kalian rencanakan. Aku tidak akan membiarkan kalian semua lari.” Wulung melesatkan pecutnya ke arah para pendekar yang tengah berlarian. Akan tetapi, pecutnya berhasil ditahan oleh Wirayuda dengan pedangnya. “Kalian tidak ak
Empat siluman raksasa mengamuk ketika melihat satu rekan mereka berhasil diisap oleh para pendekar. Mereka langsung berlari dengan kecepatan penuh seraya mengayun-ayunkan palu godam dengan kuat. Tanah berguncang hebat disertai angin kencang yang bergumuruh. Hal itu membuat para pendekar terdorong ke belakang untuk sesaat.Ketujuh petinggi golongan putih dan Galih Jaya berdiri paling depan dengan kendi yang digenggam erat. Para pendekar berdiri di belakang mereka seraya ikut mengalirkan tenaga dalam.“Bertahan!” teriak Wirayuda dengan kedua kaki yang ditanamkan ke dalam tanah agar ia tidak terdorong ke belakang. Hal serupa juga dilakukan oleh para petinggi golongan putih yang lain. Guncangan tanah begitu kuat terasa hingga beberapa pendekar harus saling berpegangan.Isapan dari kedelapan kendi masih terus terjadi meski hal itu terhalang oleh angin dan guncangan dari keempat siluman raksasa. Sebuan angin dan isapan kendi saling beradu hingga membuat puting beliung yang mengamuk di meda
“Kita harus tetap melenyapkan dua ular siluman itu.” Jatiraga mangayunkan serangan ke arah dua ekor ular siluman. Sabit angin yang tajam segera memotong kedua ular itu hingga menjadi potongan kecil yang kemudian menghilang.Tanah yang dipijak Jatiraga tiba-tiba ambruk. Ia segera mendorong Galisaka dan para pendekar di belakangnya agar menjauh. Kedua kakinya mendadak ditarik ke dalam tanah dengan kuat. Pendekar itu mengayunkan pedang dengan kuat hingga ekor ular yang menariknya terpotong-potong dan lenyap.Jatiraga mengentak udara untuk melompat ke atas. Ketika sudah berada di udara, tiba-tiba saja ia dilahap dan ditarik ke dalam tanah oleh seekor ular yang tidak lain jelemaan dari Wintara.“Jatiraga!” teriak Galisaka karena terkejut. Ia mengentak kedua kaki kuat-kuat, melesat ke dalam tanah untuk menolong Jatiraga. Sayangnya, serangan ekor mendarat telak di tubuhnya hingga ia terdorong dan menabrak beberapa pendekar.“Tetap bertahan!” Wirayuda mengerahkan kekuatan lebih banyak saat ke
Sekar Sari memijat kepalanya yang masih terasa pening. Ia memindai keadaan sekeliling dan terkejut ketika menyadari di mana dirinya saat ini. “Bukankah ini gua di mana Sagara Herang berada? Kenapa aku bisa berada di sini?”Sekar Sari perlahan berdiri, mengamati keadaan sekeliling. Ia mendapati para tabib terbaring tidak sadarkan diri tak jauh darinya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Sekar Sari tercenung di tempat, mengingat-ingat di mana ia dan yang berada terakhir kali. “Aku dan para tabib berada di gua yang sedang diserang oleh musuh saat kami masih berusaha membuat penawar racun kalong setan.”Sekar Sari kembali menoleh ke sekeliling dan mendapati Limbur Kancana sedang duduk bersila di atas sebuah batu runcing. “Kakang Guru. Kemungkinan Kakang Guru yang memindahkan aku dan para tabib ke tempat ini. Aku ingat jika musuh mengirim serangan dahsyat yang hampir membunuh kami semua.”Guncangan tiba-tiba terasa cukup kuat hingga menggetarkan tanah dan dinding gua. Terdengar benda jatuh dan
“Guru, aku merasakan hawa keberadaan seseorang di luar gua. Ada kemungkinan jika dia menggunakan sebuah jurus untuk menyembunyikan keberadaannya.” Sekar Sari mendekat. “Dengan batu ini yang diperkuat dengan penawar racun kalong setan, kita bisa mengungkap siapa yang sedang mengawasi gua.”Ganawirya menerima batu kuning dari Sekar Sari. “Serahkan hal itu pada mereka.”Indra dan Arya dengan cepat memasuki ruangan setelah mendapat tanda dari Ganawirya.“Kakang Indra, Kakang Arya.” Sekar Sari terkejut karena keduanya bisa memasuki ruangan ini, terlebih tidak terlihat bingung melihatnya.“Sekar Sari, syukurlah kau sudah sadar.” Indra bahagia ketika melihat Sekar Sari setelah sekian lama terpisah. Meski begitu, ada hal lebih penting yang harus dilakukan dibanding berbicang dengan gadis itu. Ia segera menoleh pada Ganawirya. “Guru, kami siap menerima perintah.”“Sekar Sari merasakan ada seseorang yang sedang mengawasi gua ini.” Ganawirya memberikan batu kuning pada Indra. “Gunakan batu kunin
Arya kembali bersama Indra di atas gua. Kedua pendekar muda itu melihat Danuseka tengah mengamati keadaan sekeliling.Arya memusatkan seluruh perhatian pada Danuseka. Setelah merasa waktunya, ia melemparkan batu hijau ke arah bawahan Kartasura itu. Lemparannya berhasil mengenai Danuseka dan asap putih seketika mengitarinya.Danuseka tercekat hingga memberi tanda pada kelelawarnya untuk berhenti. “Apa itu tadi? Aku merasa ada sesuatu yang mengenaiku. Lalu asap apa tadi?”Danuseka melihat sesuatu bergerak turun. Ia mulai mencium bau pekat yang amat kuat hingga terbatuk beberapa kali. Kelelawarnya mendadak terbang tidak tentu arah hingga ia harus menghilangkan keberadaan kelelawarnya.Danuseka melompat turun, mendarat di sebuah batu di tengah-tengah air sungai yang berarus deras. Ia mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Saat menoleh ke atas, sebuah kapak memutar ke arahnya.Danuseka segera menghadapi kapak itu dengan sebuah tendangan. Ia memutar tubuh sesaat, lalu menepis tombak
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me