“Serahkan mereka padaku.” Ekawira segera melompat ke atas, memutar tubuh perlahan seraya menghimpun kekuatan pada pedangnya. Saat ia mengarahkan pedang ke langit, sebuah sinar seketika muncul dan menyebar ke sekeliling. “Aku menemukan kalian.” Ekawira segera memberi tanda pada Galisaka dan Jatiga.Ekawira seketika mengarahkan pedangnya ke arah Kartasura yang masih menunggangi kelelawar raksasanya. Dengan dorongan kuat dari kedua kaki, tubuhnya melesat cepat ke arah Kartasura seperti anak panah.Kartsura yang menyadari bahaya segera melompat dari kelelawarnya. Ia menahan serangan pedang Ekawira dengan kedua tangan di mana tubuhnya terdorong mundur.Sementara itu, Galisaka dan Jatiraga meluncur dengan hunusan pedang ke arah tanah di mana Wintara dan Nilasari bersembunyi. Sayangnya, sesaat sebelum serangan berhasil mendarat, Wintara dan Nilasari berhasil menghindar dan muncul ke permukaan.“Terkutuk! Aku kira aku bisa bersembunyi saat pertarungan ini dimulai. Ternyata mereka berhasil m
Galih Jaya, Dharma, Malawati dan pendekar lain segera melompat tinggi ke udara. Mereka membuka kendi dengan segera, mengerahkan kekuatan sebanyak mungkin. “Ini tandanya!” Wirayuda segera memberi tanda pada para pendekar untuk pergi ke sisi utara Jaya Tonggoh. Ia melayangkan serangan jarak jauh pada para siluman yang masih menyerang pada pendekar sembari terus menjauh dari pecut Wulung yang terus mengejarnya. Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Baktijaya dan Tapasena mulai menjauh dari anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari. Mereka membantu para pendekar untuk mundur dari medan pertempuran. “Mereka melarikan diri,” gumam Bangasera dengan mata memelotot. “Apa yang sedang mereka rencanakan?” gumam Wulung dengan tatapan mengawasi sekeliling. “Apa pun yang kalian rencanakan. Aku tidak akan membiarkan kalian semua lari.” Wulung melesatkan pecutnya ke arah para pendekar yang tengah berlarian. Akan tetapi, pecutnya berhasil ditahan oleh Wirayuda dengan pedangnya. “Kalian tidak ak
Empat siluman raksasa mengamuk ketika melihat satu rekan mereka berhasil diisap oleh para pendekar. Mereka langsung berlari dengan kecepatan penuh seraya mengayun-ayunkan palu godam dengan kuat. Tanah berguncang hebat disertai angin kencang yang bergumuruh. Hal itu membuat para pendekar terdorong ke belakang untuk sesaat.Ketujuh petinggi golongan putih dan Galih Jaya berdiri paling depan dengan kendi yang digenggam erat. Para pendekar berdiri di belakang mereka seraya ikut mengalirkan tenaga dalam.“Bertahan!” teriak Wirayuda dengan kedua kaki yang ditanamkan ke dalam tanah agar ia tidak terdorong ke belakang. Hal serupa juga dilakukan oleh para petinggi golongan putih yang lain. Guncangan tanah begitu kuat terasa hingga beberapa pendekar harus saling berpegangan.Isapan dari kedelapan kendi masih terus terjadi meski hal itu terhalang oleh angin dan guncangan dari keempat siluman raksasa. Sebuan angin dan isapan kendi saling beradu hingga membuat puting beliung yang mengamuk di meda
“Kita harus tetap melenyapkan dua ular siluman itu.” Jatiraga mangayunkan serangan ke arah dua ekor ular siluman. Sabit angin yang tajam segera memotong kedua ular itu hingga menjadi potongan kecil yang kemudian menghilang.Tanah yang dipijak Jatiraga tiba-tiba ambruk. Ia segera mendorong Galisaka dan para pendekar di belakangnya agar menjauh. Kedua kakinya mendadak ditarik ke dalam tanah dengan kuat. Pendekar itu mengayunkan pedang dengan kuat hingga ekor ular yang menariknya terpotong-potong dan lenyap.Jatiraga mengentak udara untuk melompat ke atas. Ketika sudah berada di udara, tiba-tiba saja ia dilahap dan ditarik ke dalam tanah oleh seekor ular yang tidak lain jelemaan dari Wintara.“Jatiraga!” teriak Galisaka karena terkejut. Ia mengentak kedua kaki kuat-kuat, melesat ke dalam tanah untuk menolong Jatiraga. Sayangnya, serangan ekor mendarat telak di tubuhnya hingga ia terdorong dan menabrak beberapa pendekar.“Tetap bertahan!” Wirayuda mengerahkan kekuatan lebih banyak saat ke
Sekar Sari memijat kepalanya yang masih terasa pening. Ia memindai keadaan sekeliling dan terkejut ketika menyadari di mana dirinya saat ini. “Bukankah ini gua di mana Sagara Herang berada? Kenapa aku bisa berada di sini?”Sekar Sari perlahan berdiri, mengamati keadaan sekeliling. Ia mendapati para tabib terbaring tidak sadarkan diri tak jauh darinya. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Sekar Sari tercenung di tempat, mengingat-ingat di mana ia dan yang berada terakhir kali. “Aku dan para tabib berada di gua yang sedang diserang oleh musuh saat kami masih berusaha membuat penawar racun kalong setan.”Sekar Sari kembali menoleh ke sekeliling dan mendapati Limbur Kancana sedang duduk bersila di atas sebuah batu runcing. “Kakang Guru. Kemungkinan Kakang Guru yang memindahkan aku dan para tabib ke tempat ini. Aku ingat jika musuh mengirim serangan dahsyat yang hampir membunuh kami semua.”Guncangan tiba-tiba terasa cukup kuat hingga menggetarkan tanah dan dinding gua. Terdengar benda jatuh dan
“Guru, aku merasakan hawa keberadaan seseorang di luar gua. Ada kemungkinan jika dia menggunakan sebuah jurus untuk menyembunyikan keberadaannya.” Sekar Sari mendekat. “Dengan batu ini yang diperkuat dengan penawar racun kalong setan, kita bisa mengungkap siapa yang sedang mengawasi gua.”Ganawirya menerima batu kuning dari Sekar Sari. “Serahkan hal itu pada mereka.”Indra dan Arya dengan cepat memasuki ruangan setelah mendapat tanda dari Ganawirya.“Kakang Indra, Kakang Arya.” Sekar Sari terkejut karena keduanya bisa memasuki ruangan ini, terlebih tidak terlihat bingung melihatnya.“Sekar Sari, syukurlah kau sudah sadar.” Indra bahagia ketika melihat Sekar Sari setelah sekian lama terpisah. Meski begitu, ada hal lebih penting yang harus dilakukan dibanding berbicang dengan gadis itu. Ia segera menoleh pada Ganawirya. “Guru, kami siap menerima perintah.”“Sekar Sari merasakan ada seseorang yang sedang mengawasi gua ini.” Ganawirya memberikan batu kuning pada Indra. “Gunakan batu kunin
Arya kembali bersama Indra di atas gua. Kedua pendekar muda itu melihat Danuseka tengah mengamati keadaan sekeliling.Arya memusatkan seluruh perhatian pada Danuseka. Setelah merasa waktunya, ia melemparkan batu hijau ke arah bawahan Kartasura itu. Lemparannya berhasil mengenai Danuseka dan asap putih seketika mengitarinya.Danuseka tercekat hingga memberi tanda pada kelelawarnya untuk berhenti. “Apa itu tadi? Aku merasa ada sesuatu yang mengenaiku. Lalu asap apa tadi?”Danuseka melihat sesuatu bergerak turun. Ia mulai mencium bau pekat yang amat kuat hingga terbatuk beberapa kali. Kelelawarnya mendadak terbang tidak tentu arah hingga ia harus menghilangkan keberadaan kelelawarnya.Danuseka melompat turun, mendarat di sebuah batu di tengah-tengah air sungai yang berarus deras. Ia mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Saat menoleh ke atas, sebuah kapak memutar ke arahnya.Danuseka segera menghadapi kapak itu dengan sebuah tendangan. Ia memutar tubuh sesaat, lalu menepis tombak
“Mereka bisa mengetahui keberadaanku.” Danuseka berdecak, melompat untuk menendangan kapak dan tombak. Sesaat sebelum berhasil menjauhkan kedua senjata itu, Indra dan Arya mendadak muncul dan langsung menerjangnya hingga ia terjatuh dari kelelawarnya.Indra dan Arya terlibat pertarungan jarak dekat dengan Danuseka di tengah tubuh mereka yang melesat turun ke arah sungai.Danuseka membuka kendi berisi racun kalong setan di sela-sela menyerang, menepis dan bertahan. Tubuhnya yang masih belum sepenuhnya pulih membuatnya cukup kesulitan menghadapi perlawanan Indra dan Arya.Indra dan Arya melesatkan tendangan bersamaan, disusul dengan tendangan beruntun. Danuseka menahan serangan itu dengan pasukan kelelawarnya yang langsung mengerubungi Indra dan Arya. Akan tetapi, pasukan kelelawarnya berhasil dimusnahkan dalam sekejap.Danuseka terdorong mundur dan berhasil menghindar dari serangan susulan dengan mengerahkan sayap kelelawar yang muncul dari punggungnya. Ia memanjangkan kuku beracun, la