Indra, Meswara, Jaka dan Arya memberikan salam penghormatan khas pendekar pada Limbur Kancana dan Ganawirya.“Apa yang terjadi pada Sekar Sari, Kakang Guru, Guru?” tanya Indra dengan wajah penuh kekhawatiran, “dan siapa orang-orang ini?”“Tenanglah, Indra. Sekar Sari hanya tidak sadarkan diri. Setelah dia beristirahat, dia akan kembali seperti semula,” jawab Ganawirya, “lalu orang-orang ini adalah para tabib yang sudah berkerja sangat keras untuk membuat penawar racun kalong setan brsamaku. Mereka akan beristirahat di tempat ini untuk sementara waktu.”“Syukurlah.” Indra menoleh pada para murid yang mendekat ke arah tempat ini. “Lalu bagaimana dengan para murid yang lain, Guru? Mereka akan bertanya-tanya mengenai orang-orang ini, terutama Sekar Sari. Bisa saja ingatan mereka kembali ketika melihatnya.”“Biar aku yang mengatasi hal ini.” Limbur Kancana menciptakan dinding tak kasat mata. “Dalam pandangan orang biasa, ruangan ini akan terlihat seperti dinding tebal yang tidak mungkin bi
“Jadi kalian bertiga masih mengingat Lingga. Bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya Ganawirya dengan tatapan tajam.Geni, Jaya, dan Barma sontak terkejut dan ketakutan. Ketiganya dengan cepat berdiri, mundur hingga punggung mereka menempel di dinding gua.“Katakan sekarang juga. Kenapa kalian masih bisa mengingat Lingga?”Geni. Jaya dan Barma saling menyikut, menatap satu sama lain, memberi tanda siapa yang akan berbicara pada Ganawirya.“Kami mengingat Lingga saat kami tersadar. Kami menulis nama Lingga di senjata masing-masing sehingga kami bisa mengingat Lingga. Kami bertiga juga menayksikan kepergian Lingga, Kakang Guru dan Sekar Sari,” jawab Geni pada akhirnya.Ganawirya diam sesaat. Seperti yang dikatakan Limbur Kancana, jurus penghilang ingatan akan mudah dipatahkan oleh orang yang memiliki ingatan dan hubungan kuat dengan sosok yang ingin dilupakan. Hal ini juga terjadi pada Sekar Sari sebelumnya.“Aku tidak ingin jika kabar mengenai Lingga sampai bocor pada murid lain. Jika s
Sabit api itu berputar cepat dan semakin membesar di saat yang bersamaan. Angin tiba-tiba berembus karena putaran sabit dan berubah menjadi sabit angin. Dua rantai Tarusbawa berhasil menahan serangan sabit api dan sabit angin untuk sesaat meski akhirnya terpental dan melesat ke arah Tarusbawa.Munding Hideung seketika melesat maju, bersiap dengan serangan kejutan. Hanya saja sabit api miliknya hanya menerobos tempat kosong dan sabit angin menyabit pepohonan di sekitar tanpa mengenai Tarusbawa. “Ke mana perginya, Tarusbawa?”Munding Hideung berbalik ke belakang dan terhenyak ketika Tarusbawa sudah berada di dekatnya dengan dua rantai putih yang bersiap untuk menyekapnya.Munding Hideung menangkis kedua rantai itu dengan ayunan sabit. Sayangnya, ia telat menahan tendangan Tarusbawa ke perutnya hingga ia terlempar ke belakang. “Kurang ajar!”Munding Hideung berhenti di puncak pohon. Sabit apinya terbagi menjadi empat sabit yang lebih
Para petinggi golongan putih dan para pendekar masih berada di bekas reruntuhan Jaya Tonggoh. Mereka mengawasi keadaan sekeliling dengan saksama. Beberapa kali getaran terasa di mana kawanan burung dan hewan menjauh dari jalur di depan.“Musuh sebentar lagi tiba di sini,” ujar Galisaka yang baru saja meluncur turun dari langit, “jika kita tidak segera bertindak, pertarungan tidak mungkin kita hindari. Dengan keadaan kita dan pasukan kita saat ini, kita tidak memiliki kemungkinan untuk menang.”“Pendekar Hitam sedang memulihkan diri saat ini. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung padanya. Di sini atau berpindah tempat sekalipun, pertarungan akan tetap terjadi.” Wirayuda mengepalkan tangan erat-erat, menoleh ke depan ketika getaran kembali terasa. “Kita harus bisa menahan musuh dan menyatukan semua kekuatan kita.”“Aku ingin mengatakan hal serupa seperti yang kau katakan, Wirayuda. Hanya saja melihat musuh kita dan keadaan kita saat ini, kesempatan kita untuk menang sangatlah tipis.
Wulung, Argaseni, Brajawesi dan Bangasera mendarat di tanah dalam waktu hampir bersamaan. Mereka melihat kelima siluman raksasa dan para siluman terus menyerang kubah pelindung para pendekar tanpa henti.“Para pendekar bodoh itu sepertinya tidak tahu hal apa yang sedang mereka hadapi. Jika mereka menyerah, mereka tidak akan merasakan sakit yang berlipat-lipat,” ujar Argaseni di mana tongkatnya perlahan memanjang ke langit.“Mereka memang bodoh sepertimu, Argaseni,” ledek Brajawesi seraya melempar-lempar kapak merahnya ke langit.“Kubah pelindung itu cukup kuat untuk menahan serangan kelima siluman raksasa. Hanya saja, kubah itu tidak bisa bertahan lama. Aku bisa melihat kubah pelindung itu perlahan retak di beberapa bagian.” Bangasera mengawasi keadaan langit sesaat. Sisik-sisik di lengan kiri dan kanannya tampak bergerak-gerak.“Berhentilah mengoceh sebelum aku menghajar kalian semua.” Wulung melirik kanan dan kiri di mana pecutnya mendadak diselimuti api.Wulung, Argaseni, Brajawesi
Pertarungan pendekar golongan putih dengan anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari dan para siluman akhirnya pecah. Kelima siluman raksasa mengamuk dengan mengayunkan palu godam mereka pada para pendekar. Para siluman bergerak cepat menerjang ke depan. Jaya Tonggoh yang sepi akhirnya menjadi saksi perang besar terjadi. Wulung mengayunkan pecutnya dengan sangat kuat ke arah Wirayuda yang masih terbaring di tanah. Menyadari serangan tersebut, Wirayuda segera berguling ke samping, mendorong kakinya ke tanah hingga tubuhnya bergerak menjauh dengan bertumpu pada pedangnya yang menggurat tanah.Wirayuda segera bediri, merasakan dadanya memanas. “Jadi pria hitam legam itu yang sudah menyerangku. Dia sangat kuat. Aku akan kesulitan jika harus menghadapinya di tengah keadaanku saat ini.”Wulung tertawa. “Kau boleh juga. Akulah yang akan menjadi lawanmu.”Wulung kembali melempar pecutnya ke arah Wirayuda, bergerak cepat ke depan hingga para pendekar dan para siluman yang berada di sekelilingny
Kolot Raga berhasil menahan kapak merah Brajawesi dengan pedang. Sayangnya, tubuhnya terus terdorong ke bawah hingga ia harus berlutut dan kakinya terus tertanam di tanah.Brajawesi tertawa keras. “Biar kucincang daging alotmu sekarang juga, pendekar tua! Kau hanya besar mulut di hadapanku!”Kolot Raga mendorong tubuhnya ke belakang di saat-saat Brajawesi mengayunkan serangan kuat ke arahnya. Ia segera menancapkan pedang apinya untuk menahan serangan retakan tanah yang menjalar ke arahnya.Benturan serangan Brajawesi dan Kolot Raga seketika menimbulkan guncangan kuat di tanah hingga para pendekar di sekeliling tempat pertarungan berjatuhan dan nyaris dikalahkan para siluman yang tengah bertarung dengan mereka.Kolot Raga melompat ke atas seraya mengayunkan pedang apinya. Bola-bola berukuran kecil seketika berterbangan dan menyerang para siluman yang akan menyerang para pendekar. Brajawesi tiba-tiba datang dengan satu ayunan kuat kapak. Kolot Raga mampu menahan serangan itu untuk sesa
Baktijaya bergerak memutar seraya mengayunkan tombaknya dengan cepat. Ular-ular beracun yang menyerangnya seketika terpental ke sekeliling. Ia kemudian melempar tomboknya ke arah Bangasera yang terus-menerus mengeluarkan ular beracun.“Kau tidak akan bisa mengalahkanku!” Bangasera menangkis serangan tombak dengan dua ular besar yang mendadak muncul dari tangannya. Saat akan menendang tombak, tanpa diduga tombak tiba-tiba berubah menjadi Baktijaya yang sudah bersiap dengan dua serangan di tangan.“Berhentilah mengoceh, ular sawah!” Baktijaya melesatkan serangan kuat dengan kedua tangan setelah menyingkirkan dua ular Bangasera dengan tendangan.“Kau yang harusnya berhenti mengoceh!” Bangasera dengan cepat menghimpun kekuatan untuk menahan serangan Baktijaya dengan kedua tangan. Dua ekor ular besar tiba-tiba muncul dari balik punggung dan langsung menyerang Baktijaya.Baktijaya segera memanggil kembali tombaknya, memutar-mutar sesaat, lalu menyerang dua ular itu dengan ujung atas dan uju
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me