Dalam kejap berikutnya tubuh itu sudah kembali tegak dan mengibaskan tangan kanannya dari kiri ke kanan.
Wuuut...! Brett...!
Tubuh Tengkorak Terbang yang sedang menyerang ke tempat kosong akibat terjungkalnya Gagak Neraka itu, menjadi sasaran empuk bagi senjata di tangan kanan Gagak Neraka. Pinggang kurus terbungkus kulit itu pun robek tercabik. Panjangnya dari pinggang sampai ke dekat ketiak. Tengkorak Terbang tersentak saat itu. Ia jatuh berlutut dan memegangi lukanya yang amat sakit. Luka itu ternyata bergerak makin lebar, makin lebar lagi, dan terus bergerak melebar dengan sendirinya. Jika bukan karena racun yang ada di gerigi senjata Gagak Neraka, tak mungkin luka itu bergerak melebar.
Si Mata Elang semakin gusar melihat Tengkorak Terbang terluka. Ia segera melompat dan mencabut pedangnya yang pendek itu dari sarungnya.
Sreeet...!
"Mampus kau, Jahanaaam...!" teriak si Mata Elang.
Traang...! Pedang dikibaskan, tapi ditangkis oleh Gagak N
Melihat Singo Bodong lepas dari totokannya, Gagak Neraka sempat kerutkan dahi dan merasa heran. Tetapi ia segera tahu, bahwa totokannya telah dilepaskan oleh Pendekar Kera Sakti melalui tudingan tangannya tadi.Gagak Neraka hanya membatin, "Boleh juga permainan bocah ingusan ini! Bisa melepaskan totokan dari jarak jauh." Tetapi, di mulut Gagak Neraka terucap kata lain. Ia ajukan tanya kepada Baraka, "Mengapa kau menghendaki temanku tinggal di sini? Apakah kau punya dendam kepada Dadung Amuk?""Tidak," jawab Pendekar Kera Sakti. "Kalau dia adalah Dadung Amuk, untuk apa aku menahannya? Bawalah pulang. Itu urusanmu. Tapi karena dia bukan Dadung Amuk, maka aku menahan niatmu untuk membawanya pergi.""Kau gila! Kau pikir mataku rabun!""Matamu tidak rabun, Gagak Neraka, tapi pikiranmu yang sedikit rabun, karena kau tidak bisa membedakan mana Dadung Amuk, dan mana yang bukan!""Kuhancurkan mulutmu itu jika kau mencoba mengelabuiku sekali lagi, Pendekar K
"Apa yang kukatakan dulu benar, bukan! Kau mirip sekali dengan orang yang bernama Dadung Amuk!" kata Pendekar Kera Sakti."Tap... tapi... tapi aku tidak punya saudara kembar! Aku lahir tunggal, artinya sendirian!""Kita selidiki nanti, siapa Dadung Amuk sebenarnya, dan ada hubungan apa denganmu!""Hei, Baraka... lihat, orang itu mampu berdiri dan melarikan diri dengan cepat!""Biarkan!" jawab Pendekar Kera Sakti melihat Gagak Neraka melarikan diri menyusuri pantai, mungkin ia menuju ke perahunya untuk segera meninggalkan pulau itu. Tetapi, pada saat itu Baraka melihat Cempaka Ungu mengejar Gagak Neraka dengan cepat pula."Ratu, tahan dia!" seru Baraka. "Gagak Neraka masih punya kekuatan simpanan! Berbahaya jika dilepaskan kepada anak gadismu!""Cempaka!" seru Ratu Pekat. Seruan itu tak terlalu keras, tapi membuat Cempaka Ungu berhenti dan menutup kedua telinganya dengan tangan, ia tampak kesakitan di bagian telinganya. Rupanya, itulah cara y
Baraka, murid Setan Bodong, membenarkan dugaan Dewa Racun. Jika tidak ada orang yang memberitahukan adanya tawanan yang akan dihukum gantung, tak mungkin Gagak Neraka datang ke Pulau Beliung dan mengamuk, menaburkan racun Angin Jantan. Anehnya Ratu Pekat kurang tertarik dengan dugaan Dewa Racun itu.Di dalam kamar yang disediakan untuk beristirahat, Pendekar Kera Sakti sempat terpikir apa sebab Ratu Pekat tidak mempercayai dugaan Dewa Racun. Apakah karena pihak Ratu Pekat bermusuhan dengan pihak Dewa Racun, atau karena sesuatu hal, sehingga pada waktu itu Ratu Pekat membantah dengan suara keras."Tidak mungkin! Orang-orangku tidak ada yang berjiwa pengkhianat! Jangan kau menebar racun lewat mulutmu, Kerdil!""Kalau kau seorang Ratu yang cerdas, kau tidak akan menyanggah pendapatku, Nyai! Tapi kalau kau seorang Ratu yang picik, kau akan terjebak oleh kepicikanmu sendiri!" kata Dewa Racun dengan berani.Ratu Pekat menggeram jengkel sambil melemparkan pandan
"Apakah karena tadi punggungku ditepuk oleh Pendekar Kera Sakti, sehingga ada ilmunya yang masuk ke tubuhku, dan membuat obor itu padam karena hembusan menguapku?" pikir Singo Bodong sambil meraba-raba dalam kegelapan menuju pembaringan.Begitu ia temukan, ia pun berbaring dengan hati berdebar-debar. "Jika benar Pendekar Kera Sakti menyalurkan salah satu ilmunya ke tubuhku melalui tepukan punggung tadi, oh... alangkah hebatnya dia? Alangkah mujurnya nasibku? Paling tidak aku bisa melawan orang yang ingin mempermainkan aku dengan hembusan napasku!"Sekalipun selimut pembalut dingin sudah membungkus tubuhnya, tapi Singo Bodong masih belum terpicing tidur. Hatinya masih berdebar-debar indah membayangkan napasnya yang bisa memadamkan nyala api obor itu.-o0o-Sambil melangkah di pantai, Pendekar Kera Sakti membatin dalam hatinya, "Singo Bodong perlu diberi sedikit isi, biar tidak terlalu kosong. Kasihan aku melihat dia diseret ke sana-sini pada saat mau digan
"Pendekar Kera Sakti, bangunlah sebentar. Sebentar saja. Aku hanya ingin meminta maaf atas segala sikapku tadi siang, dan... dan... oh, bangunlah sebentar, Pendekar Kera Sakti...."Tangan Cempaka Ungu menyelusup masuk ke dalam selimut dan menemukan kaki yang hangat. Kehangatan itu terasa meresap sampai di hatinya dan membuat hatinya makin berdebar-debar indah, ia mengusap-usap kaki itu, sesekali meremasnya dengan suara desis tipis dari mulutnya. "Kakimu dingin sekali, Pendekar Kera Sakti... Boleh kuhangatkan?"Tak ada jawaban yang keluar dari orang tidurnya meringkuk itu. Cempaka Ungu semakin berdesir-desir. Lalu, ia bergeser mendekati bagian atas orang itu. Gelap pekat yang terjadi di kamar itu membuat Cempaka Ungu tak malu-malu untuk mengusap-usap rambut orang yang disangkanya Baraka itu."Pendekar Kera Sakti, bisakah kau mendengar suaraku, hmm...! Jangan kau anggap sikapku sejahat itu padamu. Aku hanya malu kepada Ibu kalau aku kelihatan tertarik padamu. Aku
Singo Bodong memang tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya kepada Baraka ia ceritakan semuanya secara bisik-bisik, tapi Baraka pun tidak ingin mempermalukan Cempaka Ungu dengan membeberkan cerita itu kepada setiap orang. Dan diam-diam Cempaka Ungu merasa bersyukur, bahwa cerita tentang kenakalannya itu tidak sampai didengar oleh ibunya, atau oleh Tengkorak Terbang maupun si Mata Elang."Sebelumnya aku ingin bertanya," kata Baraka. "Adakah di antara kita yang hadir di sini mengetahui simbol atau lambang yang menjadi kebanggaan Siluman Selaksa Nyawa itu?"Ratu Pekat menyahut, "Yang kutahu, setiap kapal sekutunya Siluman Selaksa Nyawa selalu memakai bendera atau layar bergambar tengkorak dengan tujuh mata rantai melingkarinya. Tengkorak itu melambangkan siluman, tujuh mata rantai itu melambangkan Selaksa Nyawa. Tapi kurasa kita tak perlu membahas soal lambang yang menjadi kebanggaan dia! Itu urusan mereka. Yang ingin kutanyakan lagi padamu, Pendekar Kera Sa
Tak ada suara, tak ada gerakan, kecuali langkah Baraka yang memandangi wajah-wajah prajurit dengan penuh selidik. Suasana mencekam tegang. Cempaka Ungu tampak menahan napas karena meredam nafsu kemarahannya."Coba kamu maju ke depan," perintah Pendekar Kera Sakti kepada Wiroto. Prajurit itu melangkah maju dua tindak. Pendekar Kera Sakti memberikan sebatang tombak dan berkata, "Angkat kedua tanganmu ke atas, dan tahanlah tombak ini. Aku menyalurkan tenaga dalamku di tombak ini. Aku ingin tahu apakah kau kuat menahannya atau tidak.""Apa maksudnya orang itu?" bisik Cempaka Ungu kepada ibunya."Diam saja. Biarkan ia berbuat sesukanya!" jawab sang Ibu.Wiroto menahan tombak dengan kedua tangan ke atas. Rupanya Pendekar Kera Sakti memang menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam batang tombak itu, sehingga Wiroto tampak merah mukanya sewaktu mempertahankan agar tombak tetap tersangga dengan kedua tangannya, ia sampai meliuk-liuk hampir jatuh, lututnya gemetar seper
Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri Pragulo. Semua mundur menjauh sambil tutup hidung dengan tangan mengikuti Dewa Racun. Tetapi, Ratu Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan cambuk birunya lagi.Duarrr...!Cahaya sembur biru kilat mengenai tubuh Pragulo. Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh itu tetap bergerak pelan mendorong tangannya ke atas. Ratu Pekat menjadi tegang melihat pukulan 'Cambuk Biru'-nya tidak mempan untuk Pragulo. Tapi sang Ratu semakin penasaran."Cepat ambil sang Ratu!" teriak Dewa Racun dari kejauhan. "Sekali dia sentakkan tangannya, Racun Pemunah Bangkai akan menyebar!"Wuuttt... wuttt...!Pendekar Kera Sakti bergerak cepat menyambut sang Ratu dan membawanya pergi menjauh. Pragulo seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri dengan gerakan berotot dan asap makin banyak mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir disentakkan ke depan. Tetapi, Pendekar Kera Sakti cepat bergerak kedepan. B
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p
Orang pertama yang menghadapi Baraka adalah Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Baraka malahan menggaruk-garuk pantatnya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Baraka untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Baraka.Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.Slaaap...!Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Baraka. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Baraka dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Kera Sakti dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu. Menyadari h
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian