"Apa yang kukatakan dulu benar, bukan! Kau mirip sekali dengan orang yang bernama Dadung Amuk!" kata Pendekar Kera Sakti.
"Tap... tapi... tapi aku tidak punya saudara kembar! Aku lahir tunggal, artinya sendirian!"
"Kita selidiki nanti, siapa Dadung Amuk sebenarnya, dan ada hubungan apa denganmu!"
"Hei, Baraka... lihat, orang itu mampu berdiri dan melarikan diri dengan cepat!"
"Biarkan!" jawab Pendekar Kera Sakti melihat Gagak Neraka melarikan diri menyusuri pantai, mungkin ia menuju ke perahunya untuk segera meninggalkan pulau itu. Tetapi, pada saat itu Baraka melihat Cempaka Ungu mengejar Gagak Neraka dengan cepat pula.
"Ratu, tahan dia!" seru Baraka. "Gagak Neraka masih punya kekuatan simpanan! Berbahaya jika dilepaskan kepada anak gadismu!"
"Cempaka!" seru Ratu Pekat. Seruan itu tak terlalu keras, tapi membuat Cempaka Ungu berhenti dan menutup kedua telinganya dengan tangan, ia tampak kesakitan di bagian telinganya. Rupanya, itulah cara y
Baraka, murid Setan Bodong, membenarkan dugaan Dewa Racun. Jika tidak ada orang yang memberitahukan adanya tawanan yang akan dihukum gantung, tak mungkin Gagak Neraka datang ke Pulau Beliung dan mengamuk, menaburkan racun Angin Jantan. Anehnya Ratu Pekat kurang tertarik dengan dugaan Dewa Racun itu.Di dalam kamar yang disediakan untuk beristirahat, Pendekar Kera Sakti sempat terpikir apa sebab Ratu Pekat tidak mempercayai dugaan Dewa Racun. Apakah karena pihak Ratu Pekat bermusuhan dengan pihak Dewa Racun, atau karena sesuatu hal, sehingga pada waktu itu Ratu Pekat membantah dengan suara keras."Tidak mungkin! Orang-orangku tidak ada yang berjiwa pengkhianat! Jangan kau menebar racun lewat mulutmu, Kerdil!""Kalau kau seorang Ratu yang cerdas, kau tidak akan menyanggah pendapatku, Nyai! Tapi kalau kau seorang Ratu yang picik, kau akan terjebak oleh kepicikanmu sendiri!" kata Dewa Racun dengan berani.Ratu Pekat menggeram jengkel sambil melemparkan pandan
"Apakah karena tadi punggungku ditepuk oleh Pendekar Kera Sakti, sehingga ada ilmunya yang masuk ke tubuhku, dan membuat obor itu padam karena hembusan menguapku?" pikir Singo Bodong sambil meraba-raba dalam kegelapan menuju pembaringan.Begitu ia temukan, ia pun berbaring dengan hati berdebar-debar. "Jika benar Pendekar Kera Sakti menyalurkan salah satu ilmunya ke tubuhku melalui tepukan punggung tadi, oh... alangkah hebatnya dia? Alangkah mujurnya nasibku? Paling tidak aku bisa melawan orang yang ingin mempermainkan aku dengan hembusan napasku!"Sekalipun selimut pembalut dingin sudah membungkus tubuhnya, tapi Singo Bodong masih belum terpicing tidur. Hatinya masih berdebar-debar indah membayangkan napasnya yang bisa memadamkan nyala api obor itu.-o0o-Sambil melangkah di pantai, Pendekar Kera Sakti membatin dalam hatinya, "Singo Bodong perlu diberi sedikit isi, biar tidak terlalu kosong. Kasihan aku melihat dia diseret ke sana-sini pada saat mau digan
"Pendekar Kera Sakti, bangunlah sebentar. Sebentar saja. Aku hanya ingin meminta maaf atas segala sikapku tadi siang, dan... dan... oh, bangunlah sebentar, Pendekar Kera Sakti...."Tangan Cempaka Ungu menyelusup masuk ke dalam selimut dan menemukan kaki yang hangat. Kehangatan itu terasa meresap sampai di hatinya dan membuat hatinya makin berdebar-debar indah, ia mengusap-usap kaki itu, sesekali meremasnya dengan suara desis tipis dari mulutnya. "Kakimu dingin sekali, Pendekar Kera Sakti... Boleh kuhangatkan?"Tak ada jawaban yang keluar dari orang tidurnya meringkuk itu. Cempaka Ungu semakin berdesir-desir. Lalu, ia bergeser mendekati bagian atas orang itu. Gelap pekat yang terjadi di kamar itu membuat Cempaka Ungu tak malu-malu untuk mengusap-usap rambut orang yang disangkanya Baraka itu."Pendekar Kera Sakti, bisakah kau mendengar suaraku, hmm...! Jangan kau anggap sikapku sejahat itu padamu. Aku hanya malu kepada Ibu kalau aku kelihatan tertarik padamu. Aku
Singo Bodong memang tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya kepada Baraka ia ceritakan semuanya secara bisik-bisik, tapi Baraka pun tidak ingin mempermalukan Cempaka Ungu dengan membeberkan cerita itu kepada setiap orang. Dan diam-diam Cempaka Ungu merasa bersyukur, bahwa cerita tentang kenakalannya itu tidak sampai didengar oleh ibunya, atau oleh Tengkorak Terbang maupun si Mata Elang."Sebelumnya aku ingin bertanya," kata Baraka. "Adakah di antara kita yang hadir di sini mengetahui simbol atau lambang yang menjadi kebanggaan Siluman Selaksa Nyawa itu?"Ratu Pekat menyahut, "Yang kutahu, setiap kapal sekutunya Siluman Selaksa Nyawa selalu memakai bendera atau layar bergambar tengkorak dengan tujuh mata rantai melingkarinya. Tengkorak itu melambangkan siluman, tujuh mata rantai itu melambangkan Selaksa Nyawa. Tapi kurasa kita tak perlu membahas soal lambang yang menjadi kebanggaan dia! Itu urusan mereka. Yang ingin kutanyakan lagi padamu, Pendekar Kera Sa
Tak ada suara, tak ada gerakan, kecuali langkah Baraka yang memandangi wajah-wajah prajurit dengan penuh selidik. Suasana mencekam tegang. Cempaka Ungu tampak menahan napas karena meredam nafsu kemarahannya."Coba kamu maju ke depan," perintah Pendekar Kera Sakti kepada Wiroto. Prajurit itu melangkah maju dua tindak. Pendekar Kera Sakti memberikan sebatang tombak dan berkata, "Angkat kedua tanganmu ke atas, dan tahanlah tombak ini. Aku menyalurkan tenaga dalamku di tombak ini. Aku ingin tahu apakah kau kuat menahannya atau tidak.""Apa maksudnya orang itu?" bisik Cempaka Ungu kepada ibunya."Diam saja. Biarkan ia berbuat sesukanya!" jawab sang Ibu.Wiroto menahan tombak dengan kedua tangan ke atas. Rupanya Pendekar Kera Sakti memang menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam batang tombak itu, sehingga Wiroto tampak merah mukanya sewaktu mempertahankan agar tombak tetap tersangga dengan kedua tangannya, ia sampai meliuk-liuk hampir jatuh, lututnya gemetar seper
Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri Pragulo. Semua mundur menjauh sambil tutup hidung dengan tangan mengikuti Dewa Racun. Tetapi, Ratu Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan cambuk birunya lagi.Duarrr...!Cahaya sembur biru kilat mengenai tubuh Pragulo. Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh itu tetap bergerak pelan mendorong tangannya ke atas. Ratu Pekat menjadi tegang melihat pukulan 'Cambuk Biru'-nya tidak mempan untuk Pragulo. Tapi sang Ratu semakin penasaran."Cepat ambil sang Ratu!" teriak Dewa Racun dari kejauhan. "Sekali dia sentakkan tangannya, Racun Pemunah Bangkai akan menyebar!"Wuuttt... wuttt...!Pendekar Kera Sakti bergerak cepat menyambut sang Ratu dan membawanya pergi menjauh. Pragulo seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri dengan gerakan berotot dan asap makin banyak mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir disentakkan ke depan. Tetapi, Pendekar Kera Sakti cepat bergerak kedepan. B
Seorang lelaki bercelana merah tanpa mengenakan baju, telah berdiri dengan tegak bagai menantang keributan. Orang itu bertubuh kurus sekali, seperti tidak mempunyai daging lagi kecuali tulang yang dibungkus kulit. Rambutnya yang panjang berwarna abu-abu meriap dipermainkan angin pantai, sebagian mata cekungnya tertutup helai-helai rambut. Tangannya lurus ke samping bawah kanankiri, tanpa ada kesan ingin mencabut senjata cakra di pinggangnya. Orang itu tak lain adalah Tengkorak Terbang, si penjaga pantai di bawah kekuasaan Ratu Pekat. Melihat orang mirip tengkorak hidup itu berdiri di perahunya, perempuan tersebut segera serukan kata, “Tinggalkan perahuku atau kuhantam kau dari sini!"Tengkorak Terbang diam saja, tak memberi jawaban apa pun, tapi ia tidak mau beranjak pergi dari atas perahu. Matanya yang cekung itu hanya menatap penuh sinar permusuhan, sehingga perempuan itu pun segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya lewat sodokan tangan kanannya yang bertelapak terbuk
Tawa perempuan berwajah lonjong itu makin terdengar jelas. Tapi tawa itu sendiri cepat terhenti setelah ia menyadari beberapa helai rambutnya ada yang rontok, terbang terbawa angin. Badai Kelbu menjadi kaget melihat rambutnya mudah terbawa angin, ia berkata dalam hatinya, "Kurang ajar! Rupanya tendangan kakinya yang menampar wajahku tadi benar-benar dialiri tenaga dalam yang cukup besar. Panas masih kurasakan di sekitar kepala dan panas itu membuat rambutku menjadi rontok! Edan! Harus segera kulawan rasa panas ini memakai hawa dinginku, biar tak menjadi botak kepalaku karena kehilangan banyak rambut!"Rupanya di seberang sana, Tengkorak Terbang juga sedang memejamkan mata dalam sikap berdiri dan menundukkan kepala, ia mencoba mengobati luka dalamnya dengan tahan napas beberapa saat. Dan Badai Kelabu pun buru-buru menyalurkan hawa dinginnya di kepala untuk meredam hawa panas yang hampir merontokkan rambutnya itu.Kejap berikutnya, mereka berdua sudah kembali sama-sama s