Baraka tidak menjawab pertanyaan Dewa Racun, ia bahkan bergegas menghampiri Singo Bodong yang tampak kegirangan mau diajak pergi itu.
Singo Bodong sendiri ajukan tanya, "Aku sudah diizinkan pergi oleh Ibu. Kita mau berangkat kapan? Sekarang?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Pendekar Kera Sakti. Tapi tangan Pendekar Kera Sakti segera tarik lengan Singo Bodong mendekati pohon, lalu berkata, "Coba kau peluk pohon itu pas di tempat yang hangus!"
"Apa-apaan ini, Baraka?"
"Lakukan saja kalau kau ingin ikut pergi denganku!"
"Baik. Baik! Kau tak perlu bentak aku!"
Singo Bodong memeluk pohon tepat di bagian yang hangus oleh benturan tubuh Dadung Amuk tadi. Dan ternyata ukuran tubuh pas dengan bentuk bayangan manusia yang hangus di pohon itu.
"Cocok! Tak salah lagi!" gumam Pendekar Kera Sakti membuat Dewa Racun dan Singo Bodong menatapnya penuh keheranan.
"Ap... appp... apa maksudmu, Baraka!" tanya Dewa Racun.
"Aku habis be
"Hmmm... ya, ya... aakkk... aku... aku ingat. Orang itu yang menaruh kasih sayang padamu! Lantas, ada apa dengan dia?""Dddi... ddia... dia adalah....""Uts! Jangan ikut-ikutan latah!""O, ya. Maaf. Dia adalah kakak dari Hyun Jelita!""Hahh...!" Dewa Racun hentikan langkahnya, kaget dan terperangah dongakkan kepala, memandang Baraka."Kenapa kau terkejut? Aku tidak mendustaimu! Betari Ayu itulah yang diceritakan tentang 'Candra Badar' di dalam tubuh Hyun Jelita dan membuat nyai gustimu itu tidak bisa keluar ke mana-mana. Karena takut terbakar oleh sinar matahari, rembulan, bintang bahkan cahaya sinar kunang-kunang....""Jjja... jaaadi... jadi Betari Ayu itu adalah Nyai Guru Kumalawindu...!""Siapa itu Kumalawindu!""Kakak da... dari... Nyai Gusti Hyun Jelita!""Setahuku dia bernama Betari Ayu!""Itu nama julukannya! Kkka... kalau benar di... dia... kakak dari Nyai Gusti, berarti dia menyimpan Kitab Pusaka Wedar Ke
Mereka teruskan melangkah sambil mempertimbangkan arah. Singo Bodong bahkan sudah tidak kelihatan, jalannya tanpa berhenti sehingga bikin cemas Dewa Racun sendiri. Karena itu, Baraka memerintahkan Dewa Racun untuk mendahului langkahnya menyusul Singo Bodong agar tidak tersesat arah.Dalam kesendirian langkahnya itulah Baraka mempertimbangkan sikap yang harus diambil. Untuk mengalahkan Betari Ayu adalah hal yang mudah. Tapi Baraka tidak akan tega melawan Betari Ayu. Jangankan melukai kulitnya, melukai hatinya pun tak sampai hati. Haruskah kasih sayang yang terpendam itu dihancurkan oleh pertarungan untuk memperebutkan Kitab Pusaka Wedar Kesuma?Langkah Baraka kembali terhenti. Kali ini terhenti secara mendadak. Karena di depannya tiba-tiba muncul Singo Bodong berbaju komprang warna merah membawa tambang di pundaknya."Oh, kau belum pergi dari pulau ini, Dadung Amuk?""Hmmm... belum, Eyang Guru," Dadung Amuk menghormat karena menyangka Pendekar Kera Sakti g
Baraka memberi isyarat supaya orang tinggi besar itu duduk di dekatnya. Singo Bodong menurut bagaikan patuh pada segala perintah Baraka. Ia duduk di bongkahan batu yang ada di depan Pendekar Kera Sakti. Dewa Racun mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon berdahan lengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah.Di dahan itu Dewa Racun duduk mendengarkan percakapan Baraka dengan Singo Bodong. Agaknya Pendekar Kera Sakti kali ini bersungguh-sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong. Sore yang kian menua dibiarkan meredup menabur petang. Sebentar lagi bumi akan gelap, tapi Pendekar Kera Sakti tak pernah peduli dengan kegelapan bumi."Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa dirimu sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?""Dari dulu aku memang dipanggil Singo Bodong!" jawab orang berkumis yang tampangnya angker tapi bodoh itu."Siapa nama aslimu?""Sugali!""Mengapa kau disebut Singo Bodong?""Karena... hmmm... karena sew
Ia menuding Dewa Racun, yang membuat Dewa Racun sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya."Itu nama bapakku! Rawana...! Tapi... Rawana siapa, ya?" pikir Singo Bodong.Baraka cepat menyahut."Rawana Baka...?""Nah, tepat!" Singo Bodong pekikkan suara dengan semangat. "Betul! Nama bapakku betul itu; Rawana Baka!"Tentu saja hal itu membuat Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka saling pandang dengan mata menegang. Cukup lama Baraka dan Dewa Racun saling terkunci mulutnya sejak mendengar nama ayah dari Singo Bodong adalah Rawana Baka. Ini sesuatu yang sulit dipercaya oleh Baraka maupun Dewa Racun, karena Rawana Baka adalah nama asli Siluman Selaksa Nyawa."Apakah kau percaya dengan kata-katanya?"Baraka mencari tahu perasaan Dewa Racun. Dan si kerdil yang gagap itu menjawab, "Ag... ag... agak sangsi. Nama Dasamuka tid... tidak mirip nama Rawana Baka. Mungkin dia salah dengar atau salah ingat. Tak mungk
SISA cahaya purnama masih ada, membuat keadaan di pantai menjadi tampak benderang. Karena benderangnya cahaya itu, Baraka melihat sekelebat gerakan melesat dari arah hutan ke pantai. Kelebat gerakan itu berlari dari ujung sana mendekati tempat Baraka dan dua teman barunya itu duduk sebelum bergegas naik ke pohon besar itu.Dalam kilasan gerak yang lain, Baraka melihat seseorang mengejar cepat orang pertama. Baraka cepat colekkan tangannya ke lengan Dewa Racun dan Dewa Racun segera lemparkan pandang ke arah Pendekar Kera Sakti. Tanpa mendapat jawaban, Dewa Racun sudah mengerti apa yang dimaksud Baraka, maka ia pun ikut lemparkan pandang ke pantai.Dewa Racun berbisik, "Aaak... aku seperti pernah melihat perempuan itu!""Tentu saja. Dia adalah Selendang Maut, satu dari ketiga perempuan yang hadir di pertarungan Bukit Jagal tempo hari.""O, iiy... iya! Tapi ag.. agaknya dia sedang berusaha menghindari kejaran lawan. Dan... dan apa yang ada di tangannya itu!"
"Bahaya juga ini si bocah edan!" pikir Datuk Marah Gadai dengan menahan serangan berikutnya. Matanya yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar Kera Sakti dengan tajam. Baraka hanya sunggingkan senyum kalem."Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar Kera Sakti!" kata Selendang Maut dengan wajah merengut. "Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus dirimu sendiri!"Selendang Maut mendekati Pendekar Kera Sakti dengan langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Kera Sakti dengan pandangan benci, namun sebenarnya memendam cinta. Pendekar Kera Sakti tersenyum menatapnya, Selendang Maut mendengus menyambutnya, ia mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman Pendekar Kera Sakti yang tampan rupa itu."Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak perlu bantu aku dalam urusan ini!""Tenanglah...!" kata Pendekar Kera Sakti sambil menepuk pundak Selendang Maut. Tepukan pelan itu
"Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu baik. Tapi memegang untuk memilikinya, itu curang! Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab itu untuk satu keperluan pribadimu, Selendang Maut. Karenanya, aku perlu mencegah niat burukmu itu!""Baraka!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana."Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun sudah habis! Sekarang tiba saatnya untuk mencabut nyawamu, Baraka! Hiaaat...."Jari tangan Baraka membara hijau, lalu menyentil ke depan.Tass...!Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, tapi ia tidak pedulikan hal itu. Ia hentakkan kakinya dan melesat terbang dengan kedua tangan siap menghantam bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga dengan jari mengeras kaku dan memercik-mercikkan bunga api biru.Baraka cepat sabetkan Suling Naga Krishna-nya ke depan sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya.Wuus
Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut dibekapnya sendiri. Sementara itu Singo Bodong masih tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia tidur, andai dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat pertarungan dahsyat itu.Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia tiba di tanah berpasir dalam keadaan tubuh basah kuyup. Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang keluar dari hidungnya saat ia terlempar ke laut tadi."Baraka!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak lagi setelah dalam jarak lima langkah dari Pendekar Kera Sakti, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di dadanya. "Jangan anggap dirimu menang, Baraka! Aku masih punya satu pusaka lagi yang akan mengakhiri masa hidupmu sekarang juga!""Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan," kata Baraka. "Kala