PUCUK-PUCUK cemara melambai dalam senyuman, menyambut siraman sinar mentari sore hari. Aneka warna burung parkit berkicau riang bersama elusan sang bayu. Di antara jajaran manusia yang berdiri di tepi Telaga Bidadari, dua sosok bayangan berkelebat meninggalkan perahu yang mereka tumpangi.
Kedua bayangan itu berkelebat cepat sekali dan menimbulkan tiupan angin kencang bergemuruh. Daun cemara berguguran, jatuh ke tanah bagai ribuan jarum yang ditebarkan dari angkasa. Ketika melewati sebuah aliran sungai yang berada di utara Kota Salakan, sosok bayangan yang ada di belakang berteriak keras, "Berhentilah, Sahabat! Kita salah langkah!"
Mendengar teriakan yang dialiri tenaga dalam itu, sosok bayangan yang ada di depan langsung menghentikan kelebatan tubuhnya. Ternyata, dia seorang kakek berkepala gundul licin. Tubuhnya yang tinggi besar terbungkus jubah kuning dan selempang kain merah bercorak kotak-kotak. Wajahnya yang halus menyiratkan sifat welas asih. Seuntai tasbih meli
"Jahanam kau, Sastrawan Jelek! Sudah tahu kenapa bertanya lagi!" sentak salah satu dari Empat Iblis Gundul yang mengenakan kalung perak. Namanya Surogentini. Sambil berkata, Surogentini menggerak-gerakkan goloknya seakan sedang mencacah wajah Sastrawan Berbudi. Sementara, ketiga teman Surogentini yang bernama Surogati, Waraksuro, dan Banyaksuro langsung memasang kuda-kuda.Namun, Sastrawan Berbudi malah tersenyum. Ditatapnya wajah Empat Iblis Gundul bergantian."Kupikir, aneh juga tindakan kalian ini," ujarnya."Jauh-jauh kalian datang dari Pesisir Laut Selatan tentu terkandung satu tujuan untuk mendapatkan Katak Wasiat Dewa. Tapi, kenapa kalian malah hendak menantang perkara denganku, padahal aku tidak membawa benda yang kalian inginkan itu?""Jangan banyak mulut kau, Sastrawan Kudisan!" sergap Waraksuro. "Kau dan temanmu, pendeta gendeng itu, telah mempermalukan kami di hadapan sekian banyak orang! Untuk mendapatkan Katak Wasiat Dewa,
"Mereka Empat Iblis Gundul, Sastrawan Berbudi, dan Pendeta Tasbih Terbang," beri tahu Iblis Perenggut Roh yang juga telah menghentikan kelebatan tubuhnya. "Aku sudah tahu!" sentak Iblis Pencabut Jiwa. Mengelam paras Iblis Perenggut Roh mendengar ucapan kasar kakak seperguruannya itu. Namun, dia tak berbuat apa-apa kecuali terus menatap pertempuran yang tengah berlangsung sekitar lima puluh tombak dari hadapannya.Mendadak, Iblis Perenggut Roh mengepal tinju. Jajaran giginya saling bertautan, mengeluarkan suara gemelutuk. Iblis Perenggut Roh teringat pada peristiwa di Kedai Mawar. Gara-gara bertengkar mulut dengan Sastrawan Berbudi, dia sempat dipermalukan oleh Dewi Pedang Halilintar."Jahanam kau, Sastrawan Bau!" Iblis Perenggut Roh memekik nyaring. Dia berkelebat cepat sekali. Sepuluh jari tangannya terkepal untuk mengirim pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'! Sastrawan Berbudi terkesiap mengetahui kelebatan tubuh Iblis Perenggut Roh yang tiba-tiba datang menyerangny
Empat Iblis Gundul tampak mengedarkan pandangan pula. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang sudah tak mereka pedulikan lagi. Surogentini yang sebenarnya adalah pemimpin Empat Iblis Gundul meneriakkan kata-kata tantangan."Haram Jadah! Kalau ingin coba-coba membuat urusan dengan Empat Iblis Gundul, kenapa menyembunyikan diri!"Namun, teriakan Surogentini itu hanya disambut desau angin. Dua Iblis dari Gunung Batur berteriak-teriak lebih keras, tapi suara mereka pun hanya disambut desau angin. Sunyi menggeluti tempat itu. Sementara, sang mentari telah jauh condong ke barat. Sinarnya lemah, mengelus hangat.Memuncak amarah Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur. Mereka menggedruk-gedruk tanah penuh rasa kesal. Hingga, bumi bergetar diiringi suara berdebum keras. Debu mengepul menutupi pandangan mata.Mendadak, di sekitar tempat itu terdengar lantunan syair. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terkesiap. Demikian pula dengan Empat I
"Sahabatku Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang...," sebut lelaki yang bernama kecil Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta itu, "Maafkan aku. Aku telah menutupi diriku dengan 'Sihir Penutup Raga'. Namun, kuharap kalian jangan salah mengerti. Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada begundalbegundal yang suka berbuat kekerasan itu.""Hmmm.... Pantas aku dan Pendeta Tasbih Terbang tak dapat melihat sosok Ksatria Seribu Syair. Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur tak dapat melihat pula. Rupanya, Ksatria Seribu Syair menyembunyikan dirinya dengan ilmu 'Sihir Penutup Raga'...," gumam Sastrawan Berbudi."Sekali lagi, aku mohon maaf...," tambah Ksatria Seribu Syair. Melihat bekas putra mahkota itu membungkukkan badan, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang jadi tak enak hati. Usia Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang memang lebih tua, tapi ada aturan tak tertulis di rimba persilatan bahwa kedudukan seseorang ditentukan oleh ketinggian ilmuny
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sastrawan Berbudi. "Kau tetap saja tak berubah, Sahabat. Sungguh aku benar-benar kagum kepadamu. Kau sangat pandai merendah. Ha ha ha.... Tahukah kau, Sahabat, sikap merendah itu justru membuat diriku merasa semakin kecil dan tak ada apa-apanya bila dibanding dengan dirimu?.”“Benar! Benar apa yang dikatakan Sastrawan Berbudi," sahut Pendeta Tasbih Terbang. "Aku pun merasa kecil dan tak berarti sama sekali. Sungguh kau memang patut dipuji dan disanjung, Sahabatku Ksatria Seribu Syair. Kau memiliki jiwa besar. Aku tahu riwayat hidupmu. Kau difitnah orang. Kau diburu orang. Namun, kau tetap tabah dan tak mendendam kepada siapa pun....""Ya! Ya!" potong Ksatria Seribu Syair, cepat."Aku telah melupakan perjalanan hidupku di masa muda. Kau tak perlu mengungkit-ungkit lagi, Sahabatku Pendeta Tasbih Terbang...."Melihat air muka Ksatria Seribu Syair yang berubah kelam, Pendeta Tasbih Terbang sedikit kaget. Si pendeta
"Maafkan aku. Aku harus pergi," ujar Ksatria Seribu Syair seraya berkelebat pergi. Cepat sekali gerakan bekas putra mahkota itu. Dia seakan sosok hantu yang dapat menghilang. Sementara, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terlihat saling pandang lagi. Mereka mengangkat bahu bersama-sama."Dia kenapa?" tanya Sastrawan Berbudi kemudian,"Aku tak tahu," jawab Pendeta Tasbih Terbang."Tersinggungkah dia?""Kukira tidak.""Lalu?""Barangkali dia teringat pada keponakannya yang hilang ketika masih kecil.""Bukankah keponakannya itu telah lama mati bersama kedua orangtuanya di tangan Wasesa?""Ya. Tapi ku dengar keponakannya itu berhasil lolos.""Mungkinkah Baraka adalah keponakannya?" Pendeta Tasbih Terbang tak menjawab. Dia cuma menarik napas panjang. Sementara, hari telah bergeser ke waktu petang. Keadaan jadi remang-remang."Kita tinggalkan tempat ini," cetus Pendeta Tasbih Terbang. Sastrawan Berbudi mengang
Si gadis berpakaian bangsawan tersenyum manis. Dia lemparkan kerlingan yang penuh makna."Hmm... jadi benar, kau yang berjuluk Pendekar Kera Sakti...," desis gadis berpakaian bangsawan. "Bila kau ingin tahu namaku, panggil saja Kenanga.""Kenanga?" Bibir Baraka bergetar mengucap nama itu. Sebuah nama yang sama artinya dengan nama salah satu bunga. Kenanga! Kontan Baraka teringat lagi pada sosok Kemuning. “Kemuning juga nama bunga. Apa hubungannya Kemuning dengan Kenanga. Atau, hanya suatu kebetulan bila mereka mempunyai nama yang sama-sama memakai nama bunga"Tanpa sadar, Baraka tersurut mundur selangkah lagi. Kenanga mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu, kakinya melangkah untuk mendekati Baraka. Namun mendadak... tubuh si gadis terhuyung dan hendak jatuh terjerembab!Baraka terkejut. Cepat dia bentangkan kedua tangannya untuk menyambut tubuh Kenanga yang hendak jatuh ke arahnya."Eh! Eh! Kau kenapa?" seru Baraka dengan tangan melingkar d
Terlalu banyak tanda tanya yang menggeluti benak Baraka. Hingga sampai beberapa lama, Baraka Cuma dapat berdiri termenung tanpa menyampaikan keputusannya. Baraka baru tersadar manakala Kenanga menepuk bahunya."Kau terlalu lama berpikir! Aku jadi tak sabaran lagi!" Di ujung kalimatnya, Kenanga menjejak tanah. Cepat sekali tubuhnya berkelebat."Hei! Tunggu!" cegah Baraka, berteriak keras sekali. Tapi, tubuh Kenanga telah hilang menyatu dengan kegelapan malam. Tinggallah Baraka merutuk dan menyesali kebodohannya sendiri-o0o-Penyesalan selalu datang terlambat. Baraka merasakan kebenaran ungkapan itu. Tidakkah lebih baik mengejar Kenanga. Kalau mungkin, malah memaksa gadis itu untuk mengatakan di mana letak Lembah Dewa-Dewi! Bukankah Lembah Dewa-Dewi mempunyai komplotan yang telah terbukti melakukan serangkaian pembunuhan kejam."Astaga!" seru Baraka tiba-tiba, mengarahkan pandangan ke arah hilangnya sosok Kenanga. "Aku dapat mengenali