"Mereka Empat Iblis Gundul, Sastrawan Berbudi, dan Pendeta Tasbih Terbang," beri tahu Iblis Perenggut Roh yang juga telah menghentikan kelebatan tubuhnya. "Aku sudah tahu!" sentak Iblis Pencabut Jiwa. Mengelam paras Iblis Perenggut Roh mendengar ucapan kasar kakak seperguruannya itu. Namun, dia tak berbuat apa-apa kecuali terus menatap pertempuran yang tengah berlangsung sekitar lima puluh tombak dari hadapannya.
Mendadak, Iblis Perenggut Roh mengepal tinju. Jajaran giginya saling bertautan, mengeluarkan suara gemelutuk. Iblis Perenggut Roh teringat pada peristiwa di Kedai Mawar. Gara-gara bertengkar mulut dengan Sastrawan Berbudi, dia sempat dipermalukan oleh Dewi Pedang Halilintar.
"Jahanam kau, Sastrawan Bau!" Iblis Perenggut Roh memekik nyaring. Dia berkelebat cepat sekali. Sepuluh jari tangannya terkepal untuk mengirim pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'! Sastrawan Berbudi terkesiap mengetahui kelebatan tubuh Iblis Perenggut Roh yang tiba-tiba datang menyerangny
Empat Iblis Gundul tampak mengedarkan pandangan pula. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang sudah tak mereka pedulikan lagi. Surogentini yang sebenarnya adalah pemimpin Empat Iblis Gundul meneriakkan kata-kata tantangan."Haram Jadah! Kalau ingin coba-coba membuat urusan dengan Empat Iblis Gundul, kenapa menyembunyikan diri!"Namun, teriakan Surogentini itu hanya disambut desau angin. Dua Iblis dari Gunung Batur berteriak-teriak lebih keras, tapi suara mereka pun hanya disambut desau angin. Sunyi menggeluti tempat itu. Sementara, sang mentari telah jauh condong ke barat. Sinarnya lemah, mengelus hangat.Memuncak amarah Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur. Mereka menggedruk-gedruk tanah penuh rasa kesal. Hingga, bumi bergetar diiringi suara berdebum keras. Debu mengepul menutupi pandangan mata.Mendadak, di sekitar tempat itu terdengar lantunan syair. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terkesiap. Demikian pula dengan Empat I
"Sahabatku Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang...," sebut lelaki yang bernama kecil Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta itu, "Maafkan aku. Aku telah menutupi diriku dengan 'Sihir Penutup Raga'. Namun, kuharap kalian jangan salah mengerti. Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada begundalbegundal yang suka berbuat kekerasan itu.""Hmmm.... Pantas aku dan Pendeta Tasbih Terbang tak dapat melihat sosok Ksatria Seribu Syair. Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur tak dapat melihat pula. Rupanya, Ksatria Seribu Syair menyembunyikan dirinya dengan ilmu 'Sihir Penutup Raga'...," gumam Sastrawan Berbudi."Sekali lagi, aku mohon maaf...," tambah Ksatria Seribu Syair. Melihat bekas putra mahkota itu membungkukkan badan, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang jadi tak enak hati. Usia Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang memang lebih tua, tapi ada aturan tak tertulis di rimba persilatan bahwa kedudukan seseorang ditentukan oleh ketinggian ilmuny
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sastrawan Berbudi. "Kau tetap saja tak berubah, Sahabat. Sungguh aku benar-benar kagum kepadamu. Kau sangat pandai merendah. Ha ha ha.... Tahukah kau, Sahabat, sikap merendah itu justru membuat diriku merasa semakin kecil dan tak ada apa-apanya bila dibanding dengan dirimu?.”“Benar! Benar apa yang dikatakan Sastrawan Berbudi," sahut Pendeta Tasbih Terbang. "Aku pun merasa kecil dan tak berarti sama sekali. Sungguh kau memang patut dipuji dan disanjung, Sahabatku Ksatria Seribu Syair. Kau memiliki jiwa besar. Aku tahu riwayat hidupmu. Kau difitnah orang. Kau diburu orang. Namun, kau tetap tabah dan tak mendendam kepada siapa pun....""Ya! Ya!" potong Ksatria Seribu Syair, cepat."Aku telah melupakan perjalanan hidupku di masa muda. Kau tak perlu mengungkit-ungkit lagi, Sahabatku Pendeta Tasbih Terbang...."Melihat air muka Ksatria Seribu Syair yang berubah kelam, Pendeta Tasbih Terbang sedikit kaget. Si pendeta
"Maafkan aku. Aku harus pergi," ujar Ksatria Seribu Syair seraya berkelebat pergi. Cepat sekali gerakan bekas putra mahkota itu. Dia seakan sosok hantu yang dapat menghilang. Sementara, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terlihat saling pandang lagi. Mereka mengangkat bahu bersama-sama."Dia kenapa?" tanya Sastrawan Berbudi kemudian,"Aku tak tahu," jawab Pendeta Tasbih Terbang."Tersinggungkah dia?""Kukira tidak.""Lalu?""Barangkali dia teringat pada keponakannya yang hilang ketika masih kecil.""Bukankah keponakannya itu telah lama mati bersama kedua orangtuanya di tangan Wasesa?""Ya. Tapi ku dengar keponakannya itu berhasil lolos.""Mungkinkah Baraka adalah keponakannya?" Pendeta Tasbih Terbang tak menjawab. Dia cuma menarik napas panjang. Sementara, hari telah bergeser ke waktu petang. Keadaan jadi remang-remang."Kita tinggalkan tempat ini," cetus Pendeta Tasbih Terbang. Sastrawan Berbudi mengang
Si gadis berpakaian bangsawan tersenyum manis. Dia lemparkan kerlingan yang penuh makna."Hmm... jadi benar, kau yang berjuluk Pendekar Kera Sakti...," desis gadis berpakaian bangsawan. "Bila kau ingin tahu namaku, panggil saja Kenanga.""Kenanga?" Bibir Baraka bergetar mengucap nama itu. Sebuah nama yang sama artinya dengan nama salah satu bunga. Kenanga! Kontan Baraka teringat lagi pada sosok Kemuning. “Kemuning juga nama bunga. Apa hubungannya Kemuning dengan Kenanga. Atau, hanya suatu kebetulan bila mereka mempunyai nama yang sama-sama memakai nama bunga"Tanpa sadar, Baraka tersurut mundur selangkah lagi. Kenanga mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu, kakinya melangkah untuk mendekati Baraka. Namun mendadak... tubuh si gadis terhuyung dan hendak jatuh terjerembab!Baraka terkejut. Cepat dia bentangkan kedua tangannya untuk menyambut tubuh Kenanga yang hendak jatuh ke arahnya."Eh! Eh! Kau kenapa?" seru Baraka dengan tangan melingkar d
Terlalu banyak tanda tanya yang menggeluti benak Baraka. Hingga sampai beberapa lama, Baraka Cuma dapat berdiri termenung tanpa menyampaikan keputusannya. Baraka baru tersadar manakala Kenanga menepuk bahunya."Kau terlalu lama berpikir! Aku jadi tak sabaran lagi!" Di ujung kalimatnya, Kenanga menjejak tanah. Cepat sekali tubuhnya berkelebat."Hei! Tunggu!" cegah Baraka, berteriak keras sekali. Tapi, tubuh Kenanga telah hilang menyatu dengan kegelapan malam. Tinggallah Baraka merutuk dan menyesali kebodohannya sendiri-o0o-Penyesalan selalu datang terlambat. Baraka merasakan kebenaran ungkapan itu. Tidakkah lebih baik mengejar Kenanga. Kalau mungkin, malah memaksa gadis itu untuk mengatakan di mana letak Lembah Dewa-Dewi! Bukankah Lembah Dewa-Dewi mempunyai komplotan yang telah terbukti melakukan serangkaian pembunuhan kejam."Astaga!" seru Baraka tiba-tiba, mengarahkan pandangan ke arah hilangnya sosok Kenanga. "Aku dapat mengenali
"Cermin ini bernama 'Terawang Tempat Lewati Masa'!" seru Mahisa Birawa lagi. "Lihatlah baik-baik! Kau akan segera tahu apa yang tengah terjadi pada Kemuning!" Usai berkata, Mahisa Birawa menyipitkan kelopak matanya. Sebentar kemudian, dari mulut lelaki tua berwajah pemuda ini keluar suara ceracau tak karuan, mirip sekelompok lebah yang sedang mengamuk.Namun, Baraka bisa menduga bila Mahisa Birawa sedang merapal mantra guna mengeluarkan salah satu ilmu kesaktiannya. "Jahanam itu, sedang merapal mantra, tapi aku tak tahu apa yang akan dilakukannya...," desah Baraka."Aku harus siap siaga...." Terbawa perasaan tegang, Baraka mengalirkan kekuatan tenaga dalam Ilmu Angin Es dan Api ke berbagai tempat penting di tubuhnya. Sementara Mahisa Birawa merapal mantra, perlahan sinar mentari pagi mulai menyembur di ufuk timur. Cahaya Jingga mengusir kegelapan. Mahisa Birawa melebarkan kelopak matanya. Dia tersenyum mengejek ketika tahu Baraka mengeluarkan ilmu pelindung.
Namun, sosok Kemuning yang telah mencuri hatinya sanggup mengalahkan kekhawatiran Baraka terhadap kesesatan Mahisa Birawa. Baraka harus dapat menyelamatkan Kemuning! Apalagi, di benak Baraka terbayang peristiwa manis yang pernah dilaluinya bersama Kemuning. Beberapa hari yang lalu, di tengah malam, Baraka pernah merasakan ciuman dan dekapan Kemuning. Dan, hal itu membuat Baraka mengambil keputusan bahwa nyawa Kemuning lebih berharga dari Katak Wasiat Dewa!"Baik! Aku menuruti apa syaratmu!" ujar Baraka kemudian. "Katak Wasiat Dewa akan kuberikan kepadamu, tapi beritahukan lebih dulu di mana letak Lembah Dewa-Dewi!""Kau lemparkan benda di tanganmu itu kepadaku, baru nanti kukatakan tempat Kemuning berada...," tawar Mahisa Birawa."Jahanam! Kau hendak berlaku culas lagi!""Tidak! Aku tak akan mempermainkan mu. Aku benar-benar akan mengatakan di mana letak Lembah Dewa-Dewi kalau Katak Wasiat Dewa telah berada di tanganku!"
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu
SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu, "Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau dipakai remas-remasan!"Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan.Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil menyeret mayat-mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,
Pendekar Kera Sakti manggut-manggut, lalu ia merenung panjang ketika matahari makin surut dan petang pun tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk. Ketika ia kembali lagi sudah membawa sebongkah batu satu genggaman tangan. Batu itu cekung di permukaannya, lalu diberinya kain sedikit dari sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah api yang segera menyambar kain bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain tersebut menjadi sebuah pelita yang cukup ajaib. Bisa menyala sampai beberapa saat lamanya, bahkan sampai besok pagi pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu.Rupanya percakapan itu ada yang menyadap dari luar gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar Kera Sakti."Ada maling!"Baraka berkerut dahi, menelengkan telinganya, mencari dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu berkata lagi dengan lirih, "Kau mendengar degub jantungnya?""Tidak.""Bodoh kamu!" ucap nenek itu seenaknya saja. "A
Tawa pun terdengar pelan. Nenek itu bertanya setelah memandang keadaan gubuk tersebut, "Ini rumahmu, Baraka?""Bukan.""Lalu, rumah siapa yang begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa.Baraka tersenyum sambil menjawab. "Aku sendiri tidak tahu, Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong. Kupikir tadi mau hujan, jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak suka tinggal di sini, aku tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa terdekat sini, Nek.""Aku tidak bilang begitu. Aku cuma tanya saja!" katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan menggunakan tongkatnya.Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat ia terlempar dan membentur pohon tadi. Dan Baraka pun menyelamatkan nenek itu tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam tongkatnya."Baraka....""Ada apa?""Aku hanya menggumam sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Baraka!” Nyai Cungkil Nyawa berkerut dahi sambil meng
"Kau pasti lupa padaku, Rangka Cula, karena cukup lama kita tidak bertemu!""Setan Bangkai.""Oh ohh... oho oho ho ho...!" orang itu semakin tertawa. "Ternyata kau masih ingat namaku, Rangka Cula! Ya. Benar. Akulah si Setan Bangkai! Syukurlah kalau kau masih ingat aku. Berarti kau masih ingat dengan istriku yang kau bunuh seenaknya di Rawa Kebo itu, hah! Masih ingat!""Masih!" jawab Rangka Cula dengan tegas."Bagus!" Setan Bangkai segera mencabut goloknya pelan-pelan dan berkata tanpa senyum, juga tanpa tawa."Kalau begitu kau masih ingat, bahwa kau punya hutang nyawa padaku, Rangka Cula!""Ya!""Kalau waktu itu aku terluka oleh ilmumu, tapi sekarang kau tak akan bisa melukaiku lagi! Sudah kusiapkan jurus istimewa untuk memenggal kepalamu, Rangka Cula!""Silahkan!""Tapi terlebih dulu aku ingin kau menjawab pertanyaanku!""Katakan.""Mana si raksasa yang bergelar Dewa Murka itu! Mana Logayo!""Sudah
Tepat mengenai mulut Rangka Cula, sehingga Rangka Cula terpental ke belakang dan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Ada antara lima tindak ia tersentak ke belakang, setelah itu kembali berdiri tegak walau ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari dalam hidungnya. Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas dibarengi dengan tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung Rangka Cula mengucurkan darah.Rangka Cula diam saja memandangi Nyai Cungkil Nyawa. Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa membuat hidung Rangka Cula berdarah. Tapi mata itu jadi menyipit heran begitu melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba meresap hilang, seperti masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula menjadi bersih tanpa setitik noda merah pun. Bahkan tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu juga kering tanpa bekas darah setetes pun."Semakin sakti saja kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan bicara pada dirinya