Bayangan itu berkelebat cepat sekali. Namun, mata Baraka yang tajam dapat melihat bila si bayangan membawa sebilah pedang yang memancarkan sinar kuning berkeredepan. Jelas sekali bila pedang itu adalah sejenis pedang pusaka yang tentu saja memiliki ketajaman luar biasa!
Melihat si bayangan terus melesat mendekati Ikan Mas Dewa, Baraka jadi khawatir. Walau Ikan Mas Dewa kebal terhadap senjata tajam, tapi apakah dia juga kebal terhadap tusukan atau tebasan pedang pusaka"
"Awas...!"
Baraka berteriak keras untuk memberi peringatan. Ikan Mas Dewa menggerakkan sirip dan ekornya, namun... lesatan bayangan merah lebih cepat. Akibatnya.....
Crept!
Crash...! Byarrr...! Byarrr...!
Ikan Mas Dewa menggeliat kesakitan. Timbul gulungan ombak besar. Air telaga yang semula jernih berubah merah karena ternoda oleh cairan darah.
"Ya, Tuhan...."
Sekali lagi, Baraka menyebut nama kebesaran Sang Penguasa Tunggal. Pemuda ini dapat melihat den
PUCUK-PUCUK cemara melambai dalam senyuman, menyambut siraman sinar mentari sore hari. Aneka warna burung parkit berkicau riang bersama elusan sang bayu. Di antara jajaran manusia yang berdiri di tepi Telaga Bidadari, dua sosok bayangan berkelebat meninggalkan perahu yang mereka tumpangi.Kedua bayangan itu berkelebat cepat sekali dan menimbulkan tiupan angin kencang bergemuruh. Daun cemara berguguran, jatuh ke tanah bagai ribuan jarum yang ditebarkan dari angkasa. Ketika melewati sebuah aliran sungai yang berada di utara Kota Salakan, sosok bayangan yang ada di belakang berteriak keras, "Berhentilah, Sahabat! Kita salah langkah!"Mendengar teriakan yang dialiri tenaga dalam itu, sosok bayangan yang ada di depan langsung menghentikan kelebatan tubuhnya. Ternyata, dia seorang kakek berkepala gundul licin. Tubuhnya yang tinggi besar terbungkus jubah kuning dan selempang kain merah bercorak kotak-kotak. Wajahnya yang halus menyiratkan sifat welas asih. Seuntai tasbih meli
"Jahanam kau, Sastrawan Jelek! Sudah tahu kenapa bertanya lagi!" sentak salah satu dari Empat Iblis Gundul yang mengenakan kalung perak. Namanya Surogentini. Sambil berkata, Surogentini menggerak-gerakkan goloknya seakan sedang mencacah wajah Sastrawan Berbudi. Sementara, ketiga teman Surogentini yang bernama Surogati, Waraksuro, dan Banyaksuro langsung memasang kuda-kuda.Namun, Sastrawan Berbudi malah tersenyum. Ditatapnya wajah Empat Iblis Gundul bergantian."Kupikir, aneh juga tindakan kalian ini," ujarnya."Jauh-jauh kalian datang dari Pesisir Laut Selatan tentu terkandung satu tujuan untuk mendapatkan Katak Wasiat Dewa. Tapi, kenapa kalian malah hendak menantang perkara denganku, padahal aku tidak membawa benda yang kalian inginkan itu?""Jangan banyak mulut kau, Sastrawan Kudisan!" sergap Waraksuro. "Kau dan temanmu, pendeta gendeng itu, telah mempermalukan kami di hadapan sekian banyak orang! Untuk mendapatkan Katak Wasiat Dewa,
"Mereka Empat Iblis Gundul, Sastrawan Berbudi, dan Pendeta Tasbih Terbang," beri tahu Iblis Perenggut Roh yang juga telah menghentikan kelebatan tubuhnya. "Aku sudah tahu!" sentak Iblis Pencabut Jiwa. Mengelam paras Iblis Perenggut Roh mendengar ucapan kasar kakak seperguruannya itu. Namun, dia tak berbuat apa-apa kecuali terus menatap pertempuran yang tengah berlangsung sekitar lima puluh tombak dari hadapannya.Mendadak, Iblis Perenggut Roh mengepal tinju. Jajaran giginya saling bertautan, mengeluarkan suara gemelutuk. Iblis Perenggut Roh teringat pada peristiwa di Kedai Mawar. Gara-gara bertengkar mulut dengan Sastrawan Berbudi, dia sempat dipermalukan oleh Dewi Pedang Halilintar."Jahanam kau, Sastrawan Bau!" Iblis Perenggut Roh memekik nyaring. Dia berkelebat cepat sekali. Sepuluh jari tangannya terkepal untuk mengirim pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'! Sastrawan Berbudi terkesiap mengetahui kelebatan tubuh Iblis Perenggut Roh yang tiba-tiba datang menyerangny
Empat Iblis Gundul tampak mengedarkan pandangan pula. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang sudah tak mereka pedulikan lagi. Surogentini yang sebenarnya adalah pemimpin Empat Iblis Gundul meneriakkan kata-kata tantangan."Haram Jadah! Kalau ingin coba-coba membuat urusan dengan Empat Iblis Gundul, kenapa menyembunyikan diri!"Namun, teriakan Surogentini itu hanya disambut desau angin. Dua Iblis dari Gunung Batur berteriak-teriak lebih keras, tapi suara mereka pun hanya disambut desau angin. Sunyi menggeluti tempat itu. Sementara, sang mentari telah jauh condong ke barat. Sinarnya lemah, mengelus hangat.Memuncak amarah Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur. Mereka menggedruk-gedruk tanah penuh rasa kesal. Hingga, bumi bergetar diiringi suara berdebum keras. Debu mengepul menutupi pandangan mata.Mendadak, di sekitar tempat itu terdengar lantunan syair. Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terkesiap. Demikian pula dengan Empat I
"Sahabatku Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang...," sebut lelaki yang bernama kecil Darma Pasulangit atau Wisnu Sidharta itu, "Maafkan aku. Aku telah menutupi diriku dengan 'Sihir Penutup Raga'. Namun, kuharap kalian jangan salah mengerti. Aku hanya ingin memberi pelajaran kepada begundalbegundal yang suka berbuat kekerasan itu.""Hmmm.... Pantas aku dan Pendeta Tasbih Terbang tak dapat melihat sosok Ksatria Seribu Syair. Empat Iblis Gundul dan Dua Iblis dari Gunung Batur tak dapat melihat pula. Rupanya, Ksatria Seribu Syair menyembunyikan dirinya dengan ilmu 'Sihir Penutup Raga'...," gumam Sastrawan Berbudi."Sekali lagi, aku mohon maaf...," tambah Ksatria Seribu Syair. Melihat bekas putra mahkota itu membungkukkan badan, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang jadi tak enak hati. Usia Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang memang lebih tua, tapi ada aturan tak tertulis di rimba persilatan bahwa kedudukan seseorang ditentukan oleh ketinggian ilmuny
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sastrawan Berbudi. "Kau tetap saja tak berubah, Sahabat. Sungguh aku benar-benar kagum kepadamu. Kau sangat pandai merendah. Ha ha ha.... Tahukah kau, Sahabat, sikap merendah itu justru membuat diriku merasa semakin kecil dan tak ada apa-apanya bila dibanding dengan dirimu?.”“Benar! Benar apa yang dikatakan Sastrawan Berbudi," sahut Pendeta Tasbih Terbang. "Aku pun merasa kecil dan tak berarti sama sekali. Sungguh kau memang patut dipuji dan disanjung, Sahabatku Ksatria Seribu Syair. Kau memiliki jiwa besar. Aku tahu riwayat hidupmu. Kau difitnah orang. Kau diburu orang. Namun, kau tetap tabah dan tak mendendam kepada siapa pun....""Ya! Ya!" potong Ksatria Seribu Syair, cepat."Aku telah melupakan perjalanan hidupku di masa muda. Kau tak perlu mengungkit-ungkit lagi, Sahabatku Pendeta Tasbih Terbang...."Melihat air muka Ksatria Seribu Syair yang berubah kelam, Pendeta Tasbih Terbang sedikit kaget. Si pendeta
"Maafkan aku. Aku harus pergi," ujar Ksatria Seribu Syair seraya berkelebat pergi. Cepat sekali gerakan bekas putra mahkota itu. Dia seakan sosok hantu yang dapat menghilang. Sementara, Sastrawan Berbudi dan Pendeta Tasbih Terbang terlihat saling pandang lagi. Mereka mengangkat bahu bersama-sama."Dia kenapa?" tanya Sastrawan Berbudi kemudian,"Aku tak tahu," jawab Pendeta Tasbih Terbang."Tersinggungkah dia?""Kukira tidak.""Lalu?""Barangkali dia teringat pada keponakannya yang hilang ketika masih kecil.""Bukankah keponakannya itu telah lama mati bersama kedua orangtuanya di tangan Wasesa?""Ya. Tapi ku dengar keponakannya itu berhasil lolos.""Mungkinkah Baraka adalah keponakannya?" Pendeta Tasbih Terbang tak menjawab. Dia cuma menarik napas panjang. Sementara, hari telah bergeser ke waktu petang. Keadaan jadi remang-remang."Kita tinggalkan tempat ini," cetus Pendeta Tasbih Terbang. Sastrawan Berbudi mengang
Si gadis berpakaian bangsawan tersenyum manis. Dia lemparkan kerlingan yang penuh makna."Hmm... jadi benar, kau yang berjuluk Pendekar Kera Sakti...," desis gadis berpakaian bangsawan. "Bila kau ingin tahu namaku, panggil saja Kenanga.""Kenanga?" Bibir Baraka bergetar mengucap nama itu. Sebuah nama yang sama artinya dengan nama salah satu bunga. Kenanga! Kontan Baraka teringat lagi pada sosok Kemuning. “Kemuning juga nama bunga. Apa hubungannya Kemuning dengan Kenanga. Atau, hanya suatu kebetulan bila mereka mempunyai nama yang sama-sama memakai nama bunga"Tanpa sadar, Baraka tersurut mundur selangkah lagi. Kenanga mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu, kakinya melangkah untuk mendekati Baraka. Namun mendadak... tubuh si gadis terhuyung dan hendak jatuh terjerembab!Baraka terkejut. Cepat dia bentangkan kedua tangannya untuk menyambut tubuh Kenanga yang hendak jatuh ke arahnya."Eh! Eh! Kau kenapa?" seru Baraka dengan tangan melingkar d
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu