HARI telah lewat tengah malam ketika tiba-tiba air hujan mengguyur hebat. Berkali-kali kilatan petir menyambar. Ledakan guntur kerap menimpali, menambah suasana makin menggiriskan. Badai pun datang mendadak! Tiupan angin mengencang garang. Suara keretak ranting patah mulai terdengar, dan semakin kerap terdengar seiring tiupan angin yang makin menggila. Titik-titik air hujan menghempas keras, mampu menggelincirkan sebongkah batu sebesar kerbau. Didahului gumpalan tanah yang menjadi longsor, batang-batang pohon terlontar dan berhamburan di angkasa. Badai makin menghebat!
Namun demikian, puri tua yang terletak di sebuah dataran berumput itu tetap kokoh tegak menantang. Tak goyah ataupun bergeming. Hanya dua lentera yang dipasang di kanan-kiri pintu gerbang yang tampak bergoyang-goyang. Lewat sinar lentera itulah dapat dibaca sebuah papan nama yang dipasang di atas daun pintu.
Pondok Matahari!
Gumpalan tanah yang dibawa tiupan angin menerpa daun pintu tua berlabur w
"Aku tak percaya kalian tak tahu di mana orang tua jelek itu berada. Kalian tentu sengaja menutup-nutupi keberadaannya!""Terserah apa katamu, Iblis Laknat! Enyahlah kau dari tempat ini! Hiahhh...!"Mendadak, pemuda berpakaian putih merah yang bertubuh tinggi tegap itu menerjang nekat. Bilah pedangnya berkelebat cepat dan menimbulkan suara berdesing keras, hendak memenggal leher Iblis Pemburu Dosa!Zing...!"Setan Alas! Kau benar-benar tak tahu diuntung, Anak Muda!" seru Wanara Karang.Walau tahu ada bahaya mengancam jiwanya, lelaki yang hanya mengenakan cawat itu tak menggerakkan tubuhnya untuk menghindar.Dan ketika babatan pemuda berpakaian putih-merah hampir mengenai sasaran, Iblis Pemburu Dosa menekan kedua pelipisnya dengan ujung jari tengah dan telunjuk. Lalu....Swosss...!"Akkhh...!"Tak dapat digambarkan lagi betapa terkejutnya delapan pemuda penghuni Pondok Matahari. Setengah tak percaya mereka melihat ujung t
Tak kuasa menahan sakit, tubuh si pemuda langsung menggelosoh ke lantai. Pingsan!Sementara, cairan darah segar menetes deras dari luka barunya."Hmmm.... Apa boleh buat. Agaknya, aku memang harus menyiksa pemuda ini...," pikir Iblis Pemburu Dosa.Cekatan sekali jemari tangan lelaki bermuka amat buruk itu melancarkan beberapa totokan di tubuh Bantar Ludira. Pada totokan keenam yang dijatuhkan di jalan darah di dekat ulu hati, si pemuda siuman. Namun begitu kesadarannya kembali, dia langsung memaki-maki."Jahanam kau, Wanara Karang! Binatang! Biadab! Bunuh saja aku!"Menyeringai dingin Iblis Pemburu Dosa, memperlihatkan jajaran giginya yang kecil-kecil namun runcing seperti gigi ikan. "Kalau Cuma membunuhmu, aku tak keberatan. Pekerjaan itu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Tapi..., aku perlu keterangan darimu. Di mana Hati Selembut Dewa berada? Katakan!""Jahanam! Cari saja sendiri!""Hmmm.... Baiklah. Aku paling suka m
"Hmmm.... Yah! Kau memang rendah hati, Baraka. Oleh karena itulah aku amat suka kepadamu. Tapi, ingat kata-kataku tadi. Kalau kau ingin berpelesir atau ada suatu urusan di Salyadwipa, tunggu saja kapalku berlabuh di Lokambang ini. Dua purnama sekali, aku pasti datang.""Ya, Paman. Terima kasih. Paman baik sekali. Mungkin suatu saat nanti Tuhan memang akan mempertemukan kita...."Di ujung kalimatnya, Baraka membungkuk hormat. Suta Sadandang, pemilik kapal dagang besar yang baru saja ditumpangi Baraka, bergegas mengulurkan tangan kanannya untuk menegakkan kembali tubuh Baraka."Tak perlu bersikap seperti ini.""Ah, Paman. Aku menghormat, tentu saja karena merasa suka dan segan kepada Paman.""Aku tahu. Tapi, aku tak suka peradatan yang macam-macam. Kau lihat, semua awak kapal bersikap biasa-biasa saja kepadaku, bukan?"Baraka cuma nyengir kuda. Merasakan kebenaran ucapan Suta Sedadang, pemuda yang baru berlayar dari Pulau Salyadwipa itu melang
Guna mendapat jawaban atas pertanyaan itu, bergegas Baraka menuju asal suara. Dikeluarkannya ilmu peringan tubuh 'Kelana Indra'. Sehingga, tubuh si pemuda dapat melesat cepat dan seakan telah berubah menjadi segumpal asap berwarna keemasan!Lesatan tubuh Baraka baru berhenti ketika melihat seorang kakek berpakaian serba putih longgar mirip jubah. Kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun itu tampak sibuk melakukan sesuatu dengan pedangnya. Tubuh si kakek berkelebatan ke sana-sini seperti tengah memainkan jurus-jurus silat. Tapi sesungguhnya, dia tengah menimbun sebuah lubang cukup besar yang baru dibuatnya.Setiap bilah pedang si kakek membentur batu, terdengar suara berdentang. Suara dentang pedang itulah yang tadi didengar Baraka."Hmmm.... Aneh sekali sikap orang tua itu...," gumam Pendekar Kera Sakti yang menatap dari jarak sekitar dua puluh tombak. "Sepertinya, dia tengah memperagakan jurus silat. Tapi, aku tahu kalau dia tengah menimbun sesuatu dala
SETELAH BERLARI hampir sepenanakan nasi, kakek yang sejak sepuluh tahun lalu mengasingkan diri itu menghentikan kelebatan tubuhnya di sebuah padang rumput. Dia berhenti tepat di depan pintu gerbang sebuah bangunan besar berupa puri. Pondok Matahari!Sementara menunggu kedatangan Pendekar Kera Sakti, Mahendra Karnaka mengatur jalan napasnya yang terdengar memburu. Seperti Pendekar Kera Sakti, tadi dia pun telah mengerahkan ilmu peringan tubuhnya sampai ke puncak. Dan rupanya, kemampuan mereka seimbang.Tiga kejap mata kemudian, Baraka sampai di hadapan Mahendra Karnaka. Napas si pemuda juga terdengar memburu. Wajahnya berubah memerah dengan peluh berlelehan. Kain bajunya pun telah basah oleh keringat."Aneh sekali. Keringat pemuda itu menebarkan aroma harum bunga cendana...," kata hati Mahendra Karnaka. "Aku yakin, pakaian yang dia kenakan bukan pakaian sembarangan. Pakaian itu bisa menebarkan aroma harum bila terkena air keringat. Aku yakin pula, pakaian pemuda
"Apa boleh buat, aku harus melayani tantangan orang tua itu. Tapi, aku tak mau membunuh siapa-siapa untuk saat ini...," kata hati Pendekar Kera Sakti. "Aku tak akan mengeluarkan ilmu pukulan. Tapi, aku akan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamku untuk menahan gempuran kakek yang tampaknya menyimpan banyak rahasia itu."Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Baraka mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Benar-benar sampai ke puncak!Walau usia Baraka masih amat muda untuk ukuran orang-orang yang telah menceburkan diri ke kancah rimba persilatan, tapi tenaga dalam pemuda dari Lembah Kera itu tidak bisa dianggap enteng. Karena telah menelan 'Katak Wasiat Dewa', tenaga dalam Baraka jadi meningkat berlipat-lipat. Dengan menelan benda ajaib itu, sama artinya Baraka telah melatih tenaga dalamnya selama dua puluh tahun. Lebih-lebih, Baraka pun telah mendapatkan tambahan tenaga dalam ketika dipukul Setan Bodong dengan Tenaga Inti Es Biru di tambah
"Apa?" kesiap Baraka, seperti tak percaya pada ucapan si kakek."Mereka semua mati dibunuh Wanara Karang atau Iblis Pemburu Dosa," lanjut Hati Selembut Dewa. "Jadi... jadi apa yang kau lakukan di kota Suradipa itu adalah juga mengubur mayat orang?""Ya. Ketika kau datang, aku baru saja selesai menimbun mayat murid-muridku juga...."Terkejut Baraka saat melihat bola mata Hati Selembut Dewa berkaca-kaca. Dan, si kakek yang tak dapat menahan kesedihan hatinya segera tampak menangis bersimbah air mata."Heran aku. Dua kali aku melihatmu menangis, Kek. Sebenarnya, kau ini siapa? Dan, kenapa murid-muridmu dibunuh orang?" tanya Baraka, menceritakan keingintahuannya.Mendapat pertanyaan itu, air mata Mahendra Karnaka semakin mengalir deras. Dengan suara patah-patah, dia berkata, "Namaku Mahendra Karnaka. Orang-orang memberiku gelar Hati Selembut Dewa. Sejak sepuluh tahun lalu, aku telah mengasingkan diri di tempat ini. Aku mengangkat beberapa orang murid.
"Dan ketika kau datang, semua muridmu yang berada di sini telah menjadi mayat semua?""Begitulah.... Karena sudah lama aku meninggalkan Pondok Matahari, aku memberikan pelajaran ilmu pedang kepada murid baruku itu untuk dilatihnya sendiri. Sementara, aku lalu kembali ke Pondok Matahari...."Mendadak, air mata Hati Selembut Dewa mengalir lagi. Dengan suara terbata-bata, dia lanjutkan ceritanya. "Menilik ciri-ciri yang ada pada mayat murid-muridku, aku yakin bila yang membunuh mereka adalah Wanara Karang. Aku pun bermaksud membalas kebiadabannya itu. Aku pergi ke kota Suradipa. Di kota itu, sebagian muridku yang telah kuanggap menyelesaikan pelajaran bertempat tinggal. Aku bermaksud memberitahu kekejaman Wanara Karang agar mereka berhati-hati, karena bisa saja Wanara Kadang juga bermaksud membantai mereka. Tapi..., kedatanganku terlambat...."Iba hati Baraka melihat Mahendra Karnaka mendekap wajah lalu menangis sesenggukan. Mahendra Karnaka menangis seperti seoran
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu