Guna mendapat jawaban atas pertanyaan itu, bergegas Baraka menuju asal suara. Dikeluarkannya ilmu peringan tubuh 'Kelana Indra'. Sehingga, tubuh si pemuda dapat melesat cepat dan seakan telah berubah menjadi segumpal asap berwarna keemasan!
Lesatan tubuh Baraka baru berhenti ketika melihat seorang kakek berpakaian serba putih longgar mirip jubah. Kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun itu tampak sibuk melakukan sesuatu dengan pedangnya. Tubuh si kakek berkelebatan ke sana-sini seperti tengah memainkan jurus-jurus silat. Tapi sesungguhnya, dia tengah menimbun sebuah lubang cukup besar yang baru dibuatnya.
Setiap bilah pedang si kakek membentur batu, terdengar suara berdentang. Suara dentang pedang itulah yang tadi didengar Baraka.
"Hmmm.... Aneh sekali sikap orang tua itu...," gumam Pendekar Kera Sakti yang menatap dari jarak sekitar dua puluh tombak. "Sepertinya, dia tengah memperagakan jurus silat. Tapi, aku tahu kalau dia tengah menimbun sesuatu dala
SETELAH BERLARI hampir sepenanakan nasi, kakek yang sejak sepuluh tahun lalu mengasingkan diri itu menghentikan kelebatan tubuhnya di sebuah padang rumput. Dia berhenti tepat di depan pintu gerbang sebuah bangunan besar berupa puri. Pondok Matahari!Sementara menunggu kedatangan Pendekar Kera Sakti, Mahendra Karnaka mengatur jalan napasnya yang terdengar memburu. Seperti Pendekar Kera Sakti, tadi dia pun telah mengerahkan ilmu peringan tubuhnya sampai ke puncak. Dan rupanya, kemampuan mereka seimbang.Tiga kejap mata kemudian, Baraka sampai di hadapan Mahendra Karnaka. Napas si pemuda juga terdengar memburu. Wajahnya berubah memerah dengan peluh berlelehan. Kain bajunya pun telah basah oleh keringat."Aneh sekali. Keringat pemuda itu menebarkan aroma harum bunga cendana...," kata hati Mahendra Karnaka. "Aku yakin, pakaian yang dia kenakan bukan pakaian sembarangan. Pakaian itu bisa menebarkan aroma harum bila terkena air keringat. Aku yakin pula, pakaian pemuda
"Apa boleh buat, aku harus melayani tantangan orang tua itu. Tapi, aku tak mau membunuh siapa-siapa untuk saat ini...," kata hati Pendekar Kera Sakti. "Aku tak akan mengeluarkan ilmu pukulan. Tapi, aku akan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamku untuk menahan gempuran kakek yang tampaknya menyimpan banyak rahasia itu."Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Baraka mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Benar-benar sampai ke puncak!Walau usia Baraka masih amat muda untuk ukuran orang-orang yang telah menceburkan diri ke kancah rimba persilatan, tapi tenaga dalam pemuda dari Lembah Kera itu tidak bisa dianggap enteng. Karena telah menelan 'Katak Wasiat Dewa', tenaga dalam Baraka jadi meningkat berlipat-lipat. Dengan menelan benda ajaib itu, sama artinya Baraka telah melatih tenaga dalamnya selama dua puluh tahun. Lebih-lebih, Baraka pun telah mendapatkan tambahan tenaga dalam ketika dipukul Setan Bodong dengan Tenaga Inti Es Biru di tambah
"Apa?" kesiap Baraka, seperti tak percaya pada ucapan si kakek."Mereka semua mati dibunuh Wanara Karang atau Iblis Pemburu Dosa," lanjut Hati Selembut Dewa. "Jadi... jadi apa yang kau lakukan di kota Suradipa itu adalah juga mengubur mayat orang?""Ya. Ketika kau datang, aku baru saja selesai menimbun mayat murid-muridku juga...."Terkejut Baraka saat melihat bola mata Hati Selembut Dewa berkaca-kaca. Dan, si kakek yang tak dapat menahan kesedihan hatinya segera tampak menangis bersimbah air mata."Heran aku. Dua kali aku melihatmu menangis, Kek. Sebenarnya, kau ini siapa? Dan, kenapa murid-muridmu dibunuh orang?" tanya Baraka, menceritakan keingintahuannya.Mendapat pertanyaan itu, air mata Mahendra Karnaka semakin mengalir deras. Dengan suara patah-patah, dia berkata, "Namaku Mahendra Karnaka. Orang-orang memberiku gelar Hati Selembut Dewa. Sejak sepuluh tahun lalu, aku telah mengasingkan diri di tempat ini. Aku mengangkat beberapa orang murid.
"Dan ketika kau datang, semua muridmu yang berada di sini telah menjadi mayat semua?""Begitulah.... Karena sudah lama aku meninggalkan Pondok Matahari, aku memberikan pelajaran ilmu pedang kepada murid baruku itu untuk dilatihnya sendiri. Sementara, aku lalu kembali ke Pondok Matahari...."Mendadak, air mata Hati Selembut Dewa mengalir lagi. Dengan suara terbata-bata, dia lanjutkan ceritanya. "Menilik ciri-ciri yang ada pada mayat murid-muridku, aku yakin bila yang membunuh mereka adalah Wanara Karang. Aku pun bermaksud membalas kebiadabannya itu. Aku pergi ke kota Suradipa. Di kota itu, sebagian muridku yang telah kuanggap menyelesaikan pelajaran bertempat tinggal. Aku bermaksud memberitahu kekejaman Wanara Karang agar mereka berhati-hati, karena bisa saja Wanara Kadang juga bermaksud membantai mereka. Tapi..., kedatanganku terlambat...."Iba hati Baraka melihat Mahendra Karnaka mendekap wajah lalu menangis sesenggukan. Mahendra Karnaka menangis seperti seoran
Namun, tetap tak ada sahutan."Ya, Tuhan...," sahut si kakek untuk kesekian kalinya.Sedih bukan main rasa hati kakek bertubuh kurus tinggi itu. Rasa sesal dan berdosa memburunya pula. Kalau dia tidak meminta Pendekar Kera Sakti untuk turut mengatasi masalah yang sedang dihadapinya, bukankah pemuda lugu itu tak akan mati begini cepat? Itu berarti dialah yang menyebabkan kematian Pendekar Kera Sakti! Hati Selembut Dewa benar-benar larut dalam rasa sesal dan sedih. Dan tanpa disangkanya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang dibarengi guncangan hebat. Hati Selembut Dewa terkejut bagai disambar petir.Bergegas dia meloncat jauh karena merasa jiwanya terancam. Dengan mata terbelalak lebar, si kakek segera tahu apa yang tengah terjadi.Sekitar lima tombak dari sisi lubang jebakan bongkah-bongkah batu tampak berpentalan ke udara. Bersamaan dengan gumpalan tanah yang turun berhamburan, melesat sesosok bayangan dari dalam lubang yang baru terbentuk. Sosok bayang
"Hh! Astaga!"Keterkejutan Hati Selembut Dewa tak bisa digambarkan lagi. Bilah pedangnya tiba-tiba terlepas dari cekalan, dan melekat pada gumpalan besi hitam yang kemudian jatuh di sela-sela batu!Merasa pedang adalah sarana satu-satunya untuk dapat menahan dua ilmu sesat iblis Pemburu Dosa, bergegas Hati Selembut Dewa meloncat. Langsung dicekalnya lagi hulu pedangnya untuk dilepas dari gumpalan besi hitam. Tapi ternyata, gumpalan besi itu mengandung daya tarik yang amat kuat. Sampai di mana pun Hati Selembut Dewa mengeluarkan tenaga, bilah pedangnya tak dapat dilepas. Ketika ditarik ke atas, gumpalan besi justru turut terangkat!"Ha ha ha...!" tawa pongah Iblis Pemburu Dosa. "Sudah kukatakan, kemunculanku kali ini selain berbekal dua ilmu kesaktian yang telah ku sempurnakan, juga berbekal perhitungan yang masak. Salah satu dari perhitunganku itu bukankah telah kau lihat? Apakah kau mau bertempur dengan membawa gumpalan besi yang begitu berat?"Menggeram
MATAHARI telah berada di dekat garis cakrawala barat. Cepat sekali waktu berlalu. Namun demikian, pertempuran antara Mahendra Karnaka melawan Wanara Karang masih berlangsung seru. Belum tampak tanda-tanda siapa di antara kedua tokoh tua itu yang akan segera keluar sebagai pemenang.Mahendra Karnaka yang tak mau bersentuhan kulit dengan Wanara Karang menggunakan sarung pedangnya untuk memainkan Jurus 'Memburu Jiwa Mengejar Roh'. Walau senjata di tangan Mahendra Karnaka tidak tajam dan tidak pula berujung runcing, tapi Wanara Karang sempat dibuat kerepotan.Beberapa kali tubuhnya kena gebuk yang mendatangkan rasa sakit hebat. Ilmu kebalnya sama sekali tak berguna karena tenaga dalam Mahendra Karnaka lebih unggul satu tingkat."Keparat!" geram Iblis Pemburu Dosa."Cukuplah kita bermain-main. Aku tak mau memberi hati lagi. Lihat apa yang akan segera kulakukan!" Di ujung kalimat itu, mendadak tubuh Iblis Pemburu Dosa melesat tinggi. Selagi melayang di udara, d
Sebaliknya, Hati Selembut Dewa Cuma tersurut mundur tiga langkah. Tapi..., wajahnya terlihat amat pucat, bahkan lebih pucat dari wajah orang yang sudah dijemput ajal.Sementara, bola matanya melotot besar seperti hendak meloncat keluar dari rongganya. Kedua tangan kakek berkulit kuning itu menekan perutnya yang tampak menggembung besar seperti balon yang baru ditiup sekuat tenaga. Dan..., perut si kakek memang hendak meletus!"Ha ha ha...!" tertawa bergelak lagi Iblis Pemburu Dosa. "Kau baru merasakan kehebatan Ilmu 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'! Kau akan segera mati dengan perut pecah berantakan. Tapi..., aku tak mau melihatmu mati sebelum kau menerima 'Lima Pukulan Pencair Tulang'-ku! Hiaahhh...!"Tubuh Wanara Karang berkelebat cepat. Dan, Mahendra Karnaka yang sudah berada di ambang kematian tak dapat menghindar manakala lelaki berbulu lebat itu menghujani lima pukulan beruntun. Satu pukulan menerpa dahi, dua di bahu, dan dua pukulan lagi tepat bersarang di
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu