MATAHARI telah berada di dekat garis cakrawala barat. Cepat sekali waktu berlalu. Namun demikian, pertempuran antara Mahendra Karnaka melawan Wanara Karang masih berlangsung seru. Belum tampak tanda-tanda siapa di antara kedua tokoh tua itu yang akan segera keluar sebagai pemenang.
Mahendra Karnaka yang tak mau bersentuhan kulit dengan Wanara Karang menggunakan sarung pedangnya untuk memainkan Jurus 'Memburu Jiwa Mengejar Roh'. Walau senjata di tangan Mahendra Karnaka tidak tajam dan tidak pula berujung runcing, tapi Wanara Karang sempat dibuat kerepotan.
Beberapa kali tubuhnya kena gebuk yang mendatangkan rasa sakit hebat. Ilmu kebalnya sama sekali tak berguna karena tenaga dalam Mahendra Karnaka lebih unggul satu tingkat.
"Keparat!" geram Iblis Pemburu Dosa.
"Cukuplah kita bermain-main. Aku tak mau memberi hati lagi. Lihat apa yang akan segera kulakukan!" Di ujung kalimat itu, mendadak tubuh Iblis Pemburu Dosa melesat tinggi. Selagi melayang di udara, d
Sebaliknya, Hati Selembut Dewa Cuma tersurut mundur tiga langkah. Tapi..., wajahnya terlihat amat pucat, bahkan lebih pucat dari wajah orang yang sudah dijemput ajal.Sementara, bola matanya melotot besar seperti hendak meloncat keluar dari rongganya. Kedua tangan kakek berkulit kuning itu menekan perutnya yang tampak menggembung besar seperti balon yang baru ditiup sekuat tenaga. Dan..., perut si kakek memang hendak meletus!"Ha ha ha...!" tertawa bergelak lagi Iblis Pemburu Dosa. "Kau baru merasakan kehebatan Ilmu 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'! Kau akan segera mati dengan perut pecah berantakan. Tapi..., aku tak mau melihatmu mati sebelum kau menerima 'Lima Pukulan Pencair Tulang'-ku! Hiaahhh...!"Tubuh Wanara Karang berkelebat cepat. Dan, Mahendra Karnaka yang sudah berada di ambang kematian tak dapat menghindar manakala lelaki berbulu lebat itu menghujani lima pukulan beruntun. Satu pukulan menerpa dahi, dua di bahu, dan dua pukulan lagi tepat bersarang di
Cengar-cengir lagi Baraka. Karena rasa iba dan kasihan, dia tak merasa jijik atau ngeri ketika memindahkan tubuh kakek berjubah merah dari atas lempengan batu. Dibaringkannya tubuh kaku beku itu di sudut ruangan yang tak becek. Dan, mulailah Baraka mengempos tenaga untuk dapat menuruti wasiat si kakek. Hanya dengan mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya, dapatlah Baraka menggeser lempengan batu bergaris tengah dua depa. Namun, matanya segera terbelalak. Antara rasa heran dan terkejut dia melihat sebuah kitab bersampul merah yang semula tertindih lempengan batu. Karena tertarik, Baraka memungutnya. Kitab itu sudah amat tua. Sampulnya sudah mulai lapuk. Walau hidungnya mencium bau apek yang menusuk, dibukanya juga halaman kitab itu.‘Selamat. Dengan menemukan tubuhku yang sudah menjadi mayat ini, kemungkinan besar kau memang ditakdirkan untuk menjadi ketua Perkumpulan Matahari Merah. Setelah melihat dua pelajaran ilmu pukulan yang terukir di dinding gua, pasti ter
Baraka cengar-cengir beberapa lama. Usaha kerasnya tidak sia-sia. Kini dia dapat mengetahui di mana letak kelemahan ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'. Dia pun jadi yakin akan bisa menuruti wasiat Salya Tirta Raharja. Namun, benarkah dirinya memang ditakdirkan untuk menjadi ketua Perkumpulan Matahari Merah"Selagi Baraka berpikir-pikir, keterkejutan menghantamnya lagi. Kali ini dia sampai melompat ke belakang dan berseru keras sekali. Jenazah Salya Tirta Raharja tiba-tiba dapat bergerak tanpa sebab. Kedua tangan dan kakinya yang semula terlipat tampak bergerak perlahan menjadi lurus! Sehingga, tubuh si kakek tidak melengkung lagi."Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Kera Sakti. "Apa yang kulihat ini apakah sebuah pertanda bila arwah kakek itu turut merasa senang melihat keberhasilanku?"Baraka cengar-cengir lagi. Tapi ketika ingat akan kewajibannya, dia segera menggali lubang untuk menguburkan jenazah Salya Tirta Raharja, persis se
Dewi Cinta Kasih tak kuasa membalas tatapan cucunya. Kepalanya tertunduk. Butiran air mata yang bergulir lagi jatuh ke pangkuannya."Eyang...," sebut Sekar Telasih, duduk bersimpuh dihadapan neneknya. "Jika Eyang benar-benar hendak mengakhiri hidup dengan bunuh diri, mana keyakinan Eyang yang pernah Eyang katakan kepadaku? Panji-panji Perkumpulan Matahari Merah akan tegak kembali! Eyang juga pernah mengatakan, Eyang punya firasat bila Perkumpulan Matahari Merah akan jaya kembali seperti dulu. Kalau sekarang Eyang bunuh diri, berarti Eyang tak percaya pada diri Eyang sendiri? Seburuk-buruknya orang adalah yang tidak bisa mempercayai dirinya sendiri. Bukankah itu keyakinan yang selalu Eyang tekankan kepadaku?"Terisak haru Dewi Cinta Kasih. Dengan air mata terus bercucuran, dipeluknya erat tubuh Sekar Telasih. Mendengar kata-kata cucunya, menyesal sekali dia telah melakukan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Penantian panjang yang tak kunjung membuahkan hasil mem
Baraka hanya menggunakan sebagian kecil tenaga dalamnya agar tak berakibat buruk bagi si penyerang. Bagaimanapun, dia tak boleh bertindak gegabah. Dia belum tahu siapa penyerangnya. Untuk apa mesti menjatuhkan tangan maut! Lagi pula, si penyerang tidak bermaksud membunuhnya, hanya menjatuhkan totokan yang dimaksudkan untuk membuatnya lumpuh sementara waktu.Kaget bukan main Putri Hati Lurus yang dapat mengenali gerakan Baraka. Serta-merta dia gagalkan serangannya seraya meloncat mundur."'Lima Pukulan Pencair Tulang'...!" seru si gadis dengan raut wajah tegang."Eh! Eh..., aku...."Tergagap Baraka melihat si penyerang ternyata seorang gadis berparas cantik jelita. Dia cuma dapat berdiri terpaku menatap sosok Putri Hati Lurus yang memang tanpa cacat. Sementara, Sekar Telasih juga berdiri terpaku beberapa lama. Dia pun tak menyangka bila pemuda yang diserangnya memiliki wajah sedemikian tampan. Namun, cepat si gadis mengusir rasa terpesona di hatinya.
"Ucapanmu begitu ketus, Nek! Tidak bisakah kau bersikap sopan sedikit? Dua kali kau menamparku. Coba kalau aku tidak tertotok, mana berani kau menamparku?""Hmmm.... Punya otak juga kau, Bocah Gemblung! Kau memancingku untuk membebaskan pengaruh totokan di tubuhmu. Setelah bebas, seperti yang kukatakan tadi, bukankah kau hendak membunuhku dengan 'Lima Pukulan Pencair Tulang'? Aku tak mau mati konyol! Justru kaulah yang akan segera dijemput ajal kalau tidak segera menceritakan siapa dirimu!"Baraka nyengir kuda beberapa saat. Karena sinar matahari tak mengganggu pandangannya lagi, ditatapnya lekat wajah Dewi Cinta Kasih. Kini dia tahu. Walau tampak galak dan tega hati, Kembang Andini punya sifat welas-asih. Hal itu terpancar dari sorot mata si nenek."Baik! Baik!" ujar Baraka akhirnya. "Kalau kau memang ingin tahu siapa diriku dan bagaimana aku bisa melakukan gerakan 'Lima Pukulan Pencair Tulang', baiklah aku ceritakan...."Sementara Baraka menarik napas p
"Aku melihat dia tiba-tiba berkelebat pergi. Tampaknya, dia tak suka terhadapku.""Ah! Mana boleh begitu? Aku akan mengajar adat kepadanya!""Ah! Sudahlah. Perutku lapar sekali. Kau punya makanan, Nek?" ucap Baraka, sama sekali tak sakit hati walau dirinya baru ditampar Kembang Andini tiga kali."Ya! Ya, Tuan! Aku baru saja memasak daging kelinci yang lezat. Tuan pasti suka!""Benarkah itu?" bola mata Baraka langsung bersinar senang. "Tapi..., jangan panggil aku tuan. Panggil saja Baraka....""Ya! Ya!"-o0o-“Beri aku waktu satu candra untuk mengumpulkan anggota Perkumpulan Matahari Merah yang masih ada beserta anak keturunan mereka. Aku yakin, nama Perkumpulan Matahari Merah akan harum kembali seperti dulu...," ujar Dewi Cinta Kasih yang sedang duduk beralas tikar di gubuk bambunya, yang ternyata amat bersih dan senantiasa terawat.Pendekar Kera Sakti diam beberapa lama. Tubuhnya terasa amat segar setelah mandi di air pa
Sekar Telasih menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya menatap tajam sosok Pendekar Kera Sakti yang telah berdiri di sisi kanan Dewi Cinta Kasih."Eyang jangan terkecoh olehnya!" seru gadis berwajah cantik jelita itu. "Aku tak habis mengerti, bagaimana mungkin Eyang bisa begitu saja percaya bila kalung yang dikenakannya adalah kalung 'Permata Dewa Matahari'..." Lagi pula, Ketua Perkumpulan Matahari Merah haruslah seseorang yang memiliki ilmu kesaktian tinggi. Bukankah Eyang melihat sendiri, betapa mudahnya beberapa waktu tadi aku merobohkannya? Pantaskah dia menjadi pemimpin perkumpulan kita?"Baraka cuma cengar-cengir mendengar ucapan Putri Hati Lurus yang nyerocos panjang bak air hujan mengguyur deras. Melihat sikap si gadis yang begitu ketus, mendadak Baraka teringat pada Kemuning. Di manakah gadis itu sekarang?"Lihat itu, Eyang!" tambah Putri Hati Lurus. "Kalau dia tak bermaksud mengelabui kita, kenapa dia cuma diam saja? Kenapa dia tak membela diri?"