Baraka hanya menggunakan sebagian kecil tenaga dalamnya agar tak berakibat buruk bagi si penyerang. Bagaimanapun, dia tak boleh bertindak gegabah. Dia belum tahu siapa penyerangnya. Untuk apa mesti menjatuhkan tangan maut! Lagi pula, si penyerang tidak bermaksud membunuhnya, hanya menjatuhkan totokan yang dimaksudkan untuk membuatnya lumpuh sementara waktu.
Kaget bukan main Putri Hati Lurus yang dapat mengenali gerakan Baraka. Serta-merta dia gagalkan serangannya seraya meloncat mundur.
"'Lima Pukulan Pencair Tulang'...!" seru si gadis dengan raut wajah tegang.
"Eh! Eh..., aku...."
Tergagap Baraka melihat si penyerang ternyata seorang gadis berparas cantik jelita. Dia cuma dapat berdiri terpaku menatap sosok Putri Hati Lurus yang memang tanpa cacat. Sementara, Sekar Telasih juga berdiri terpaku beberapa lama. Dia pun tak menyangka bila pemuda yang diserangnya memiliki wajah sedemikian tampan. Namun, cepat si gadis mengusir rasa terpesona di hatinya.
<"Ucapanmu begitu ketus, Nek! Tidak bisakah kau bersikap sopan sedikit? Dua kali kau menamparku. Coba kalau aku tidak tertotok, mana berani kau menamparku?""Hmmm.... Punya otak juga kau, Bocah Gemblung! Kau memancingku untuk membebaskan pengaruh totokan di tubuhmu. Setelah bebas, seperti yang kukatakan tadi, bukankah kau hendak membunuhku dengan 'Lima Pukulan Pencair Tulang'? Aku tak mau mati konyol! Justru kaulah yang akan segera dijemput ajal kalau tidak segera menceritakan siapa dirimu!"Baraka nyengir kuda beberapa saat. Karena sinar matahari tak mengganggu pandangannya lagi, ditatapnya lekat wajah Dewi Cinta Kasih. Kini dia tahu. Walau tampak galak dan tega hati, Kembang Andini punya sifat welas-asih. Hal itu terpancar dari sorot mata si nenek."Baik! Baik!" ujar Baraka akhirnya. "Kalau kau memang ingin tahu siapa diriku dan bagaimana aku bisa melakukan gerakan 'Lima Pukulan Pencair Tulang', baiklah aku ceritakan...."Sementara Baraka menarik napas p
"Aku melihat dia tiba-tiba berkelebat pergi. Tampaknya, dia tak suka terhadapku.""Ah! Mana boleh begitu? Aku akan mengajar adat kepadanya!""Ah! Sudahlah. Perutku lapar sekali. Kau punya makanan, Nek?" ucap Baraka, sama sekali tak sakit hati walau dirinya baru ditampar Kembang Andini tiga kali."Ya! Ya, Tuan! Aku baru saja memasak daging kelinci yang lezat. Tuan pasti suka!""Benarkah itu?" bola mata Baraka langsung bersinar senang. "Tapi..., jangan panggil aku tuan. Panggil saja Baraka....""Ya! Ya!"-o0o-“Beri aku waktu satu candra untuk mengumpulkan anggota Perkumpulan Matahari Merah yang masih ada beserta anak keturunan mereka. Aku yakin, nama Perkumpulan Matahari Merah akan harum kembali seperti dulu...," ujar Dewi Cinta Kasih yang sedang duduk beralas tikar di gubuk bambunya, yang ternyata amat bersih dan senantiasa terawat.Pendekar Kera Sakti diam beberapa lama. Tubuhnya terasa amat segar setelah mandi di air pa
Sekar Telasih menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya menatap tajam sosok Pendekar Kera Sakti yang telah berdiri di sisi kanan Dewi Cinta Kasih."Eyang jangan terkecoh olehnya!" seru gadis berwajah cantik jelita itu. "Aku tak habis mengerti, bagaimana mungkin Eyang bisa begitu saja percaya bila kalung yang dikenakannya adalah kalung 'Permata Dewa Matahari'..." Lagi pula, Ketua Perkumpulan Matahari Merah haruslah seseorang yang memiliki ilmu kesaktian tinggi. Bukankah Eyang melihat sendiri, betapa mudahnya beberapa waktu tadi aku merobohkannya? Pantaskah dia menjadi pemimpin perkumpulan kita?"Baraka cuma cengar-cengir mendengar ucapan Putri Hati Lurus yang nyerocos panjang bak air hujan mengguyur deras. Melihat sikap si gadis yang begitu ketus, mendadak Baraka teringat pada Kemuning. Di manakah gadis itu sekarang?"Lihat itu, Eyang!" tambah Putri Hati Lurus. "Kalau dia tak bermaksud mengelabui kita, kenapa dia cuma diam saja? Kenapa dia tak membela diri?"
Perlahan kedua tangannya digerak-gerakkan di depan dada. Sementara sepuluh jari tangannya membentuk cakar elang, kaki kanannya digeser setengah tindak ke depan. Lalu..., dari mulutnya terdengar suara menggereng seperti harimau lapar. Disusul pekik nyaring laksana seekor Matahari yang siap menerkam mangsa. Suara pekik si pemuda begitu keras, membuat daun rontok berguguran!Namun sampai beberapa lama, pemuda bertubuh tinggi tegap itu tak berbuat apa-apa. Hanya kedua tangannya yang terus bergerak berputaran di depan dada. Agaknya, dia tengah menghimpun ataupun melatih kekuatan tenaga dalamnya. Seiring waktu yang terus berlalu, sorot mata si pemuda berubah tajam sekali. Kemudian, dari mulutnya keluar suara melengking tinggi. Dan.... Mendadak, dari ujung jari-jari tangan pemuda berambut panjang tergerai itu melesat sepuluh larik sinar merah berkilauan. Melesat luar biasa cepat, dan langsung bergerak melilit batang pohon besar yang berada dua puluh tombak dari hadapan si pemuda!
Dan ternyata, ilmu peringan tubuh yang didapat Baraka dari gabungan ilmu peringan tubuh dan Kasutpada Kacarmanya itu dapat menunjukkan kehebatannya. Tendangan gadis bertubuh langsing cuma mengenai tempat kosong. Hanya saja, angin sambarannya sempat membuat rambut Baraka berkibaran dan mata si pemuda pun terasa pedih.Baraka menarik napas lega karena gadis berpakaian putih biru itu tak melanjutkan serangannya. Si gadis cuma berdiri dengan tatapan penuh selidik. Karena gadis itu terus berdiri tak berpindah tempat, dapatlah dilihat dengan jelas bila ternyata dia berparas amat cantik. Bola matanya berbinar bening bagai permukaan telaga yang amat dalam. Hidungnya mancung dengan sebentuk bibir merah alami. Sanggup mempesonakan siapa saja yang memandang. Namun, orang yang hendak berbuat tak baik pastilah akan berpikir dua kali bila melihat sebatang pedang besar yang tersandang di punggung si gadis.Pendekar Kera Sakti berdiri terpaku dalam keterpanaan. Melihat sosok gadis ber
"Kau ditanya malah balik bertanya. Hayo! Katakan Ilmu apa yang baru kau tunjukkan tadi!""Hmmm.... Yah! Kalau kujawab, sudilah kau menyebutkan namamu, Nona...," sahut Baraka, tak sadar berkata nakal. Namun, si gadis tak merasa. Wajahnya malah berubah tak seketus tadi."Boleh. Tapi, kau jangan menipu! Aku khawatir Ibuku akan membunuhmu...," desis gadis yang tiba-tiba sikapnya berubah penuh kekhawatiran itu, pelan sekali.Tersenyum senang Pendekar Kera Sakti. Lalu katanya, "Aku tadi menarik tubuhmu dengan 'Tenaga Matahari Merah'...."Tapi tiba-tiba...."Benar dugaanku! Orang yang dapat menguasai 'Tenaga Matahari Merah' kalau tidak sang ketua, pastilah orang jahat yang layak dienyahkan dari muka bumi!"Tersurut mundur Pendekar Kera Sakti mendengar suara keras menyiratkan ancaman itu. Apalagi setelah muncul sesosok bayangan hitam di hadapannya!"Si... siapa kau?" kejut Pendekar Kera Sakti.Sosok orang yang baru datang itu berdiri g
"Kurang ajar! Berani masuk ke Tanah Dipertuan Ratu kiranya kau sengaja hendak pamer kekuatan!" geram Bidadari Satu Hati. "Tapi ketahuilah, selama aku berdiam di tempat ini, tak ada satu pun manusia yang mampu menahan pukulanku. Kalau memang kau punya kekuatan hebat, cobalah kau tunjukkan sekali lagi!"Memucat wajah Kusuma Suci seketika. Bidadari Satu Hati tampak melompat lagi dan melancarkan pukulan jarak jauh untuk kedua kalinya. Kusuma Suci hendak berteriak mencegah. Namun, mulutnya terasa terkunci rapat. Untuk apa dia membela Pendekar Kera Sakti? Bukankah dia belum mengenal pemuda itu? Siapa tahu si pemuda memang orang jahat?Pendekar Kera Sakti bisa menguasai 'Tenaga Matahari Merah'. Sementara, Pendekar Kera Sakti nyata-nyata bukan ketua perkumpulan itu. Kalau begitu, si pemuda mendapatkan ilmunya itu dari mencuri!Tapi..., benarkah demikian? Kenapa Kusuma Suci amat tak menyukai tindakan ibunya yang menyerang Pendekar Kera Sakti? Mungkinkah ada satu alasan l
“KITA berhenti dulu! Ada orang usil mengikuti kita!" seru seorang nenek berpakaian putih penuh tambalan, seraya menghentikan kelebatan tubuhnya. Gadis cantik berusia dua puluh tahun yang berkelebat di belakang bayangan nenek berkulit putih itu langsung menghentikan kelebatan tubuhnya pula. Kening si gadis kontan berkerut rapat. Kalau benar apa yang dikatakan si nenek, kenapa telinganya tak menangkap suara-suara yang mencurigakan."Aku tak mendengar apa-apa, Nek,..," cetus gadis bertubuh tinggi semampai yang mengenakan pakaian putih berkembang-kembang. Paras gadis itu cantik sekali. Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan ikatan berupa penjepit emas, sebagian dibiarkan tergerai ke bahu. Kecantikan si gadis semakin terpancar karena dia memiliki bola mata yang bening dan bersinar bak bintang kejora. Menilik garis-garis wajahnya, dapat dipastikan bila dia tak lain si Putri Hati Lurus; Sekar Telasih. Dan, nenek berusia delapan puluh tahun yang berada di dekatnya adalah si
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern