Berkerut kening Bancakluka melihat sebuah cermin berukir yang semula tergolek di bawah bantal. Cermin itu cuma selebar telapak tangan, berbentuk persegi empat. Ukiran pada keempat sisinya terlihat amat bagus, seperti ukiran pada cermin putri istana.
Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'!
"Astaga!"
Tersentak kaget Bancakluka. Ketika memeriksa cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa', dia tidak melihat bayangan wajahnya di permukaan cermin itu.
Bancakluka hanya dapat melihat bayang-bayang buram. Tentu saja keanehan itu membuat si pemuda kaget. Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' memang bukan cermin sembarangan, melainkan cermin ajaib milik seorang manusia setengah ular bernama Ratu Perut Bumi, yang dipinjamkan kepada Pendekar Kera Sakti.
"Aku yakin cermin ini sebuah benda mustika...," pikir Bancakluka, tangannya yang memegang cermin tampak bergetar. "Tapi, bagaimana cermin ini bisa berada di sini? Hmmm.... Walau aku tak pernah melihat sebelumnya, aku yak
Namun ketika para ksatria mulai merentang busur dan menyerang Bancakluka dengan puluhan anak panah, semua pengunjung menahan napas. Tak ada yang dapat bersuara. Demikian pula Bancakdulina. Tentu saja Bancakdulina mengkhawatirkan keselamatan putra tunggalnya. Tapi, tekad dan keinginan si kakek sudah amat bulat. Sebelum ajal menjemputnya, dia ingin melihat Bancakluka menjadi pemimpin Suku Asantar untuk menggantikannya. Dan, dia yakin keinginannya itu akan terwujud. Hingga, dapatlah Bancakdulina menekan rasa khawatir di hatinya.Akan tetapi karena hujan anak panah mengguyur bak air bah yang tak pernah ada habisnya, Bancakluka jadi amat kerepotan. Beberapa kali tubuhnya hampir tertembus. Kaum wanita dan anak-anak yang berada di pinggir tanah lapang, tak kuasa melihat adegan yang amat mendebarkan itu. Mereka mengalihkan pandangan. Beberapa orang di antaranya bahkan menjerit ngeri seraya menutup mata rapat-rapat.Untunglah, sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi, anak p
Suasana jadi hening. Obor-obor besar telah dinyalakan di beberapa tempat Hening terus terasa. Tak satu pun pemuda Suku Asantar yang berani unjuk diri!"Baik!" seru Kaluak Labodang lagi."Karena tak ada pemuda lain yang berniat menjadi pemimpin Suku Asantar dengan mencoba dulu kemampuan Bancakluka, oleh karenanya ku nyatakan bila Bancakluka telah melewati ujian ketiga. Dan..., dia pun berhak menduduki jabatan sebagai baulau!"Di ujung kalimat kakek tua renta itu, pemuda bertubuh kekar yang bertugas memukul genderang hendak melaksanakan tugasnya. Tapi sebelum suara debam genderang membahana di angkasa, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat ke tengah tanah lapang!"Akulah yang akan mencoba kemampuan pemuda sombong ini!" teriak si bayangan.Semua mata memandang penuh keterkejutan. Tak terkecuali Bancakluka. Yang datang ternyata Sasak Padempuan!"Akulah Raja Alam Sihir!" kenal pemuda berambut ikal panjang itu. "Akulah yang akan menjadi pemimpin S
"Tenanglah! Tenanglah!" ujar pemuda dari Lembah Kera itu. "Aku tahu kepercayaan yang ada di sini. Oleh karenanya, akulah yang akan membereskan pemuda sombong itu! Aku bukan warga Suku Asantar. Bukankah tak akan melanggar kepercayaan di sini jika aku sampai membunuh pemuda itu?"Baraka berkata-kata penuh keyakinan. Tapi, jelas bukan karena bermaksud menyombongkan diri ataupun memamerkan kemampuannya. Kata-katanya tadi tercetus hanya karena sifatnya yang amat lugu. Bancakluka berseru girang. Melihat kehadiran Baraka, terbersit satu harapan di lubuk hatinya. Tapi, benarkah Baraka akan dapat menggagalkan niat buruk Sasak Padempuan.Sasak Padempuan telah menunjukkan kehebatan ilmu sihirnya. Apakah Baraka dapat memberi perlawanan? Bukankah dia sama sekali tak mengerti ilmu sihir? Begitulah pertanyaan yang ada di benak Bancakluka."Jangan gegabah, Baraka!" tegur Bancakluka, menyembunyikan rasa senangnya. "Aku tak ingin melihatmu celaka. Urusan dengan Sasak Padempuan ad
Pada saat Bancakluka masih terpaku dalam keraguan, tubuh Pendekar Kera Sakti terbungkuk. Kedua tangannya tak lagi bersedekap, melainkan terjulur ke depan dan bergerak-gerak tak tentu arah.Namun, gerakan Pendekar Kera Sakti yang telah berada di ambang ajal itu diartikan lain oleh Bancakluka. Gerakan tangan Pendekar Kera Sakti dikiranya meminta sesuatu kepadanya. Dan teringat akan cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa', bergegas Bancakluka memberikan cermin ajaib itu kepada Pendekar Kera Sakti!Slaps...!Luar biasa!Suatu keajaiban terjadi. Saat cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' menyentuh telapak tangan kanan Pendekar Kera Sakti, Golok Mata Dewa memancarkan sinar biru. Belitan Cambuk Mahkota Api lepas. Dan..., cambuk raksasa itu langsung terpental jauh, lalu lenyap tanpa bekas!"Akkhhhh...!"Memekik parau Sasak Padempuan. Seiring dengan terpentalnya Cambuk Mahkota Api, tubuh si pemuda mencelat jauh. Lalu, jatuh terbanting di tanah keras! Pen
HARI telah lewat tengah malam ketika tiba-tiba air hujan mengguyur hebat. Berkali-kali kilatan petir menyambar. Ledakan guntur kerap menimpali, menambah suasana makin menggiriskan. Badai pun datang mendadak! Tiupan angin mengencang garang. Suara keretak ranting patah mulai terdengar, dan semakin kerap terdengar seiring tiupan angin yang makin menggila. Titik-titik air hujan menghempas keras, mampu menggelincirkan sebongkah batu sebesar kerbau. Didahului gumpalan tanah yang menjadi longsor, batang-batang pohon terlontar dan berhamburan di angkasa. Badai makin menghebat!Namun demikian, puri tua yang terletak di sebuah dataran berumput itu tetap kokoh tegak menantang. Tak goyah ataupun bergeming. Hanya dua lentera yang dipasang di kanan-kiri pintu gerbang yang tampak bergoyang-goyang. Lewat sinar lentera itulah dapat dibaca sebuah papan nama yang dipasang di atas daun pintu.Pondok Matahari!Gumpalan tanah yang dibawa tiupan angin menerpa daun pintu tua berlabur w
"Aku tak percaya kalian tak tahu di mana orang tua jelek itu berada. Kalian tentu sengaja menutup-nutupi keberadaannya!""Terserah apa katamu, Iblis Laknat! Enyahlah kau dari tempat ini! Hiahhh...!"Mendadak, pemuda berpakaian putih merah yang bertubuh tinggi tegap itu menerjang nekat. Bilah pedangnya berkelebat cepat dan menimbulkan suara berdesing keras, hendak memenggal leher Iblis Pemburu Dosa!Zing...!"Setan Alas! Kau benar-benar tak tahu diuntung, Anak Muda!" seru Wanara Karang.Walau tahu ada bahaya mengancam jiwanya, lelaki yang hanya mengenakan cawat itu tak menggerakkan tubuhnya untuk menghindar.Dan ketika babatan pemuda berpakaian putih-merah hampir mengenai sasaran, Iblis Pemburu Dosa menekan kedua pelipisnya dengan ujung jari tengah dan telunjuk. Lalu....Swosss...!"Akkhh...!"Tak dapat digambarkan lagi betapa terkejutnya delapan pemuda penghuni Pondok Matahari. Setengah tak percaya mereka melihat ujung t
Tak kuasa menahan sakit, tubuh si pemuda langsung menggelosoh ke lantai. Pingsan!Sementara, cairan darah segar menetes deras dari luka barunya."Hmmm.... Apa boleh buat. Agaknya, aku memang harus menyiksa pemuda ini...," pikir Iblis Pemburu Dosa.Cekatan sekali jemari tangan lelaki bermuka amat buruk itu melancarkan beberapa totokan di tubuh Bantar Ludira. Pada totokan keenam yang dijatuhkan di jalan darah di dekat ulu hati, si pemuda siuman. Namun begitu kesadarannya kembali, dia langsung memaki-maki."Jahanam kau, Wanara Karang! Binatang! Biadab! Bunuh saja aku!"Menyeringai dingin Iblis Pemburu Dosa, memperlihatkan jajaran giginya yang kecil-kecil namun runcing seperti gigi ikan. "Kalau Cuma membunuhmu, aku tak keberatan. Pekerjaan itu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Tapi..., aku perlu keterangan darimu. Di mana Hati Selembut Dewa berada? Katakan!""Jahanam! Cari saja sendiri!""Hmmm.... Baiklah. Aku paling suka m
"Hmmm.... Yah! Kau memang rendah hati, Baraka. Oleh karena itulah aku amat suka kepadamu. Tapi, ingat kata-kataku tadi. Kalau kau ingin berpelesir atau ada suatu urusan di Salyadwipa, tunggu saja kapalku berlabuh di Lokambang ini. Dua purnama sekali, aku pasti datang.""Ya, Paman. Terima kasih. Paman baik sekali. Mungkin suatu saat nanti Tuhan memang akan mempertemukan kita...."Di ujung kalimatnya, Baraka membungkuk hormat. Suta Sadandang, pemilik kapal dagang besar yang baru saja ditumpangi Baraka, bergegas mengulurkan tangan kanannya untuk menegakkan kembali tubuh Baraka."Tak perlu bersikap seperti ini.""Ah, Paman. Aku menghormat, tentu saja karena merasa suka dan segan kepada Paman.""Aku tahu. Tapi, aku tak suka peradatan yang macam-macam. Kau lihat, semua awak kapal bersikap biasa-biasa saja kepadaku, bukan?"Baraka cuma nyengir kuda. Merasakan kebenaran ucapan Suta Sedadang, pemuda yang baru berlayar dari Pulau Salyadwipa itu melang