Selama ini pemuda yang selalu berhasil menjadi pemenang adalah Kumbala. Semua orang juga sudah memperkirakan kali ini ia akan kembali menjadi juaranya. Permainan dimulai, pemuda yang berminat mengikutinya tidak perlu mendaftar, mereka langsung saja masuk ke arena dan akan ada pemuda lain yang menantangnya. Rata-rata mereka berusaha menjatuhkan lawannya dengan bantingan atau sapuan di kaki lawannya, tapi ada juga yang mendorong terus lawannya hingga keluar arena.Permainan berlangsung seru, para penonton memberikan dukungan pada teman atau saudaranya masing-masing yang sedang bertanding.Prastowo mengamati jalannya permainan ini. Ia memang akan ikut serta dalam permainan ini, tapi menunggu saat yang tepat untuk masuk ke arena. Tiba-tiba pandangannya terpana pada seorang gadis yang duduk di sebelah Raja Darpa, dialah Putri Dayana. Prastowo tidak menyangka seorang putri dari suku barbar ternyata begitu cantik jelita. Sedikit berkurang kekesalannya menerima tugas dari ayahnya untuk mende
Raja Darpa maju membawa hadiah sekantung uang. Diserahkan pada Prastowo yang menerima dengan senang. Lebih berharga lagi ucapan selamat Putri Dayana pada Prastowo sebagai pemenang.Mulai saat itu, hubungan Prastowo dan sang Putri menjadi semakin akrab. Rasa kagum memang mudah berubah menjadi rasa suka.Putri Dayana memiliki kebiasaan menenangkan dirinya di hutan pohon Baobab. Pohon ini disebut juga pohon kehidupan. Batangnya yang besar, berongga dan mengandung banyak air, menjadi rumah bagi hewan-hewan kecil dan serangga di daerah yang gersang ini. Daunnya tumbuh pada ranting-ranting yang melebar mencapai beberapa depa, sehingga di bawah pohon sangat teduh. Di sinilah sang Putri duduk termenung. Sementara para pengawal berjaga di kejauhan.Tiba-tiba terjadi keributan dari arah para pengawal berjaga. Dua orang berpakaian dan berkerudung hitam, menyerang para penjaga, meskipun tidak bersenjata tetapi pukulan dua orang ini sangat keras, seolah-olah kepalannya terbuat dari baja. Dua orang
Bayu dan Laras melakukan perjalanan bersama ke ibukota. Tidak terburu-buru karena tidak ada urusan yang butuh segera.Laras bertanya, “Bayu, apakah kau berhasil bertemu dengan ibumu?”“Ya, sekarang ibuku sudah bebas, bukan tahanan lagi.”“Oh, bagaimana ceritanya?”Bayu menceritakan usahanya menyelamatkan ibunya bersama Nayaka dan Biksu Pradipa.Laras mendengarkan dengan penuh perhatian.“Jadi sekarang Iblis Seribu Racun sudah tewas. Apakah kau mengambil semua hartanya?”“Ya, harta yang berasal dari merampok dan merampas milik orang lain, akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk membantu rakyat Antakara.”“Berarti sekarang kau kaya, Bayu,” goda Laras.“Tidak juga, aku hanya membawa bekal secukupnya, semuanya kuserahkan pada Bunda untuk mengaturnya.”Ketika mereka mendekati perbatasan Surya Selatan dan ibukota, di sebuah tanah lapang di pinggir hutan, terlihat dari jauh ada pertarungan. Setelah didekati ternyata itu adalah pertarungan antara Baroto si Kepala Martil dan Nayaka. Bayu berh
Nayaka menoleh pada Laras dan bertanya, “Siapa gadis ini Bayu? Kau belum memperkenalkannya.”“Oh iya, ini Laras, Paman. Kami melakukan perjalanan bersama ke ibukota, karena kebetulan Laras akan mengunjungi Mawar.”Laras memberi hormat pada Nayaka, “Salam hormat saya Paman.”Nayaka membalas hormatnya, sambil berkata, “O rupanya sahabat Mawar, engkau tidak menghadiri pesta pernikahannya ya.”“Betul Paman, aku sedang ke Bukit Tengkorak untuk membalas dendam kematian guruku,” jawab Laras.“Wah berbahaya, Ratu Bukit Tengkorak memiliki ilmu yang hebat, apakah engkau berhasil membalas dendam?”“Sang Ratu terjebak dan tewas di tangan muridnya sendiri.”Sebelum Nayaka bertanya lagi, Bayu sudah memotongnya, “Paman sendiri, mengapa bisa di sini dan bertarung dengan si Kepala Martil itu.” Bayu mengalihkan perhatian Nayaka supaya tidak bertanya tentang peristiwa di Bukit Tengkorak, yang merupakan pengalaman pahit bagi Laras.“Aku habis berziarah ke makam keluarga, dan ketika akan kembali ke ibukot
Sedangkan Bayu saat ini menyamar sebagai saudagar setengah baya. Ia tidak mau Kirani mengenalinya, bisa-bisa dianggap mencampuri urusan pribadinya lagi. Bayu sudah mengikuti Kirani sejak keluar dari paviliunnya. Untungnya Kirani sebagai penduduk Agartha, tidak mau menggunakan kuda dalam perjalanannya. Bayu merasa lega, karena dengan berkuda Kirani akan lebih mudah curiga ada orang yang mengikutinya. Kirani berjalan ke arah Selatan ibukota. Di pusat kota, Bayu tidak kesulitan mengikuti Kirani, karena tersamarkan oleh keramaian ibukota. Setelah ada di pinggir kota keadaan mulai sepi, Bayu kadang harus menggunakan ilmunya untuk menyamarkan jejaknya. Di sebuah gardu yang memang disediakan sebagai tempat istirahat bagi orang yang sedang dalam perjalanan, Kirani berhenti sebentar melepas penat. Dibukanya bekalnya dan dihitungnya uang yang dibawa. Tidak banyak. Ia harus berhemat supaya cukup sampai di Buntala. Kemudian ia tampak menimbang-nimbang serum obatnya. Dengan membiarkan tubuhnya te
Kirani mendekati meja tempat dua orang itu duduk, setelah dekat ia bisa melihat jelas wajah kedua saudagar itu, yang satu masih muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya, wajahnya bersih, dan cukup tampan, saat ini tampak tersenyum ramah kepadanya. Sedangkan saudagar yang lain sudah berusia setengah baya dengan wajah yang mulai berkeriput terutama di bawah kelopak matanya.Kirani membungkuk hormat pada mereka, lalu berkata, “Terima kasih Tuan, selama ini Tuan sudah banyak membantu saya.”“Ah tidak apa-apa Nona, aku hanya mengagumi kecantikan Nona dan ingin berkenalan dengan Anda, bila tidak keberatan silakan duduk bersama di sini saja.” Saudagar yang muda itu berdiri dan mempersilakan Kirani untuk duduk bersama mereka. Ia memerintahkan pelayan untuk mengambil makanan Kirani dan memindahkannya ke sini.“Silakan Nona, namaku Tunggul Harja, dan ini pamanku Surya Damanik. Ayahku, Tunggul Seta, adalah Adipati Surya Selatan ini. Kalau boleh tahu siapakah nama Nona yang terhormat?
Bayu dengan cepat memperkirakan gerakan ke 12 orang lawannya. Masih membentuk setengah lingkaran, mereka maju perlahan mendekatinya, agak jeri juga melihat keganasan orang tua di hadapannya.Bayu memasang kuda-kuda unsur api, lalu mengibaskan tangannya melontarkan tenaga dalam api berbentuk bulan sabit ke arah lawan-lawannya. ‘Jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr ... ‘12 kali ledakan beruntun dari lontaran tenaga dalam apinya membentur tubuh lawannya.Mereka merintih kesakitan, rata-rata memegang dada atau perutnya yang menghitam hangus karena luka bakar.Tunggul Harja ketakutan, ia tidak menyangka seorang saudagar tua yang perutnya gendut bisa sehebat itu ilmunya. Ia berteriak-teriak panik pada anak buahnya, “Payah kalian! Ayo maju, maju, serang lagi dia.”Bayu berjalan mendekati Tunggul Harja. Tapi dari arah gerobak terdengar teriakan, “Auuhh, lepaskan!”Bayu lengah, paman Tunggul Harja, Surya Damanik dan seorang anak buahnya menangkap Kirani, memasukkannya dalam karung, da
Bayu memutuskan untuk mencegat utusan itu saat akan kembali ke ibukota. Ia keluar dari perkemahan, kembali melompati pagar. Sementara Prastowo sudah berjalan ke arah tenda paling besar di tengah-tengah perkemahan. Raja Darpa mengadakan pertemuan, untuk membahas penyerangan terhadap suku Normad. Di setiap pertemuan seperti ini selalu disediakan hidangan dan minuman khas Buntala yang disebut Kumys, terbuat dari susu kuda yang di fermentasi. Raja Darpa sangat menyukai minuman ini.Prastowo masuk menuang secangkir kumys kemudian duduk di meja terdepan dekat dengan singgasana Raja. Tidak lama Raja Darpa juga hadir dan duduk di singgasananya.Sebelum pertemuan dimulai, Prastowo menghadap Raja Darpa dan menyerahkan surat kepada sang Raja.“Maaf Ayahanda, jangan sentuh makanan dan minuman yang ada di ruangan ini. Ayah mengirim berita, ada rencana untuk meracuni Ayahanda.”Raja Darpa membaca surat dari Bagaskoro, isinya adalah peringatan kepada Raja Darpa, karena Raja Antakara sudah mengirim
Di sebuah gua dekat air terjun, terlihat seorang yang mengenakan pakaian serba hitam hingga hanya matanya yang terlihat. Orang itu menggerakkan tangannya membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu muncul cahaya dan kemudian bagaikan tabir yang terbuka, di dalam lingkaran itu menunjukkan sebuah ruangan lain yang bukan bagian dari gua itu.Orang itu melangkah melalui lingkaran yang bercahaya itu, memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu penuh peti yang tergeletak di lantai dan beberapa senjata yang tergantung di dindingnya. Orang berpakaian hitam itu mendekati sebuah pedang yang tergantung di dinding, menghunus pedang itu, tapi digantungnya kembali. Ia hanya mengambil sarung pedangnya. Lalu orang itu kembali melewati lingkaran bercahaya itu, yang langsung menghilang setelah orang itu melewatinya. Sedangkan di sebuah tempat yang dikenal orang sebagai bukit Tengkorak. Pada masa ratusan tahun setelah kejadian seseorang mengambil sarung pedang tadi. Di kamar sang Ratu penguasa bu
Semua orang mengalihkan pandangannya ke luar ruangan, bahkan Nayaka yang posisinya terdekat dengan pintu langsung meloncat keluar. Tapi tak ada apa pun di luar istana, suasananya tenang-tenang saja. Nayaka sadar ini pasti tipuan licik Bagaskoro lagi. Ketika ia hendak memasuki ruangan kembali dilihatnya Bagaskoro sudah menyandera Raja Bhanu dengan mencengkeram lehernya.Nayaka membatalkan niatnya untuk masuk ke ruangan, ia berputar menuju pintu belakang istana. Sementara Bagaskoro mengancam semua orang akan membunuh Raja Bhanu.Sang Raja berkata pada Bayu, “Adi, aku dan ayahku sudah melakukan kesalahan padamu. Bunuhlah pengkhianat ini, jangan pedulikan aku, engkau yang berhak atas takhta ini.”Bayu ragu, ia mencoba memberikan penawaran pada Bagaskoro, “Bagaskoro lepaskan Kanda Bhanu, maka aku akan membebaskan Prastowo.”Bagaskoro tertawa, “Hahaha setelah itu kau akan menyerang dan membunuhku, kau kira aku tidak tahu niat busukmu.”Bayu menjawab, “Jangan kau anggap semua orang seperti
Bagaskoro sangat geram, giginya gemeretuk menahan emosinya, “Aku tidak peduli, akan kubunuh semua orang yang ada di ruangan ini.” Mata Bagaskoro memerah, ia sudah kehilangan nalarnya, dihunusnya pedang pengisap bintang.Bayu segera mengeluarkan sarung pedang pengisap bintang dari selongsong timah hitamnya.Bagaskoro tidak terkejut, ia sudah menduga sarung pedang itu berada di tangan musuh-musuhnya. Tapi ia tidak khawatir, karena yang terpenting adalah tenaga dalam khusus saat pedang pengisap bintang digunakan. Bagaskoro menyerahkan pedang pengisap bintang pada Ki Lurah Gondomayit, dan disuruhnya untuk menjauh. Ki Lurah mengerti maksud Bagaskoro. Ia segera menjauh agar pengaruh pedang pengisap bintang tak terasa lagi. Bagaskoro berharap Bayu akan melemparkan sarung pedangnya agar tak terkena pengaruhnya. Tapi kali ini dugaannya salah. Bayu hanya memasukkan sarung pedang itu kembali ke dalam selongsong timah hitamnya. Bagaskoro tertawa, “Hahaha, ayo kita mulai.” Ia bersiap-siap denga
Bagaskoro mengangkat tangannya, lalu berkata dengan suara lantang, “Terima kasih saudara-saudara. Aku hanya seorang diri tidak ada artinya tanpa dukungan kalian semua. Maka mulai sekarang marilah kita bersama-sama menciptakan suasana aman dan tenteram di dunia persilatan serta dengan setia menjadi penopang negeri yang kita cintai ini, Antakara.”Para penonton kembali bertepuk tangan dan berseru, “Setuju!!! Kami siap menerima perintah Ketua!”Bagaskoro sekali lagi mengangkat tangannya, “Untuk lebih menjalin keakraban di antara kita, aku mohon saudara-saudara jangan membubarkan diri dulu. Aku telah menyiapkan sebuah perjamuan untuk kita. Silakan dinikmati.”Di mana pun sebuah perjamuan selalu dinantikan dalam sebuah acara. Para penonton bersorak gembira, mereka merasa tidak salah mendukung Tuan Bagaskoro, yang ternyata sangat royal pada mereka.Di tengah keriuhan orang mengambil makanan, ada seorang prajurit yang baru turun dari kudanya dan berseru, “Di mana Tuan Penasihat! Cepat! Aku m
Keadaan menjadi gelap, lalu ‘Jboooooooom’ kilatan cahaya dari ledakan tenaga dalamnya menyilaukan mata semua orang, ketika mata mereka tertutup, tubuh mereka terpental disambar kekuatan angin panas dan bara api dari batu dan kerikil yang berhamburan menghajar mereka. Tak seorang pun yang masih bisa berdiri, Bhirowo yang terdepan merasakan pengaruh ledakan panas itu paling hebat. Ketika keadaan menjadi gelap Bhirowo tersentak, jelas ini bukan jurus sembarangan, tapi sudah terlambat, tubuhnya bagaikan masuk ke neraka, jeritannya menyayat hati, hilang sudah keangkuhannya, tubuhnya telentang melepuh dan mata terbelalak. Mulutnya masih sempat bergumam, “Jurus apa itu ...” sebelum nyawanya melayang meninggalkan raganya.***Di arena pertandingan, hari ke-tiga, dan ke-empat, Baroto berhasil menaklukkan lawan-lawannya. Setelah mengalahkan Tuan Dewangga dan Bayu di hari ke-dua, berturut-turut Baroto menundukkan Tuan Paskalis, Tuan Bimantoro dan Tuan Mahesa Ludira. Sekarang tinggal tersisa Tuan
Raja Darpa terkejut, ada prajuritnya yang berani memukul Prastowo. “Hei, siapa kau?”Prajurit itu dengan tenang berjalan mendekati Raja Darpa. “Maaf Yang Mulia, nama hamba Bayu Narendra. Hamba adalah Pangeran Antakara. Yang Mulia sudah menyerang negeri hamba karena terpengaruh hasutan dari Bagaskoro dan putranya Prastowo. Tunggulah sebentar, teman hamba akan segera datang membawa buktinya.”Tak seberapa lama muncullah di tengah ruangan seorang gadis cantik bermata kelabu. Ia mendekati Raja Darpa. Sang Raja terkejut. Ia mengenali gadis itu. “Bukankah kau penyusup yang mencoba meracuni aku.”Kirani membungkuk hormat, “Nama hamba Kirani Yang Mulia. Saat itu hamba hanya berkunjung ke Buntala untuk mencari Prastowo, sama sekali tidak bermaksud meracuni Paduka.”“Lalu siapa yang menaruh racun dalam minumanku?” tanya sang Raja.“Dia!” Kirani menunjuk Prastowo.“Tidak mungkin, Prastowo menantuku, untuk apa dia mencoba meracuniku?” Raja Darpa tidak percaya pada keterangan Kirani.“Sabar Yang M
Sementara di negeri Buntala, Raja Darpa memimpin sendiri pasukannya didampingi oleh menantunya, Prastowo. Keberangkatan pasukan justru saat lewat tengah hari, mereka memperkirakan memasuki wilayah Antakara ketika matahari mulai tenggelam. Walaupun jalan masuk ke Antakara sudah disiapkan mereka tetap berusaha untuk tidak menarik perhatian penduduk. Hutan perbatasan Surya Selatan dan Surya Timur akan dijadikan markas sementara mereka sebelum menyerang ke istana.Mahen dan Nayaka yang sudah melihat pergerakan Pasukan Buntala, segera kembali untuk melaporkan hasil pengintaiannya kepada Raja Bhanu melalui pengawalnya. ***Bayu membuka matanya dan bertanya, “Di mana ini John?”“Kau baru saja kuangkat keluar dari arena pertandingan,” jawab John.Lalu Bayu bertanya lagi, “Apakah ada yang curiga dengan kematianku?”“Sepertinya tidak, salah satu juri sudah memberi tanda bahwa kau sudah mati pada Bagaskoro,” ungkap John.“Bagus! Berarti sekarang saatnya untuk rencana berikutnya,” ujar Bayu, sam
Pada saat genting seperti itu, seseorang meloncat ke atas panggung, sambil berkata, “Kau sudah menang Baroto, Lepaskan Tuan Dewangga, akulah yang kau tantang sebetulnya bukan.” Bayu membungkuk hormat pada Tuan Dewangga, “Maafkan kelancanganku Paman.”“Tidak apa-apa Bayu, aku justru berterima kasih padamu, berhati-hatilah si Kodok Bau ini tenaga dalamnya sangat hebat,” jawab Tuan Dewangga lesu. Baroto tertawa bangga, lalu berkata dengan tidak sabar, “Ayo cepat! Kalau mau ngobrol di warung saja.”“Silakan Baroto, aku sudah siap,” ucap Bayu.Baroto berkata dengan pongah, “Karena kau masih muda, kuberi kesempatan untuk menyerang dulu.”Bayu tidak sungkan lagi, dari pertarungan Baroto tadi ia melihat jurus kodoknya sedikit lebih lambat bila harus berbalik arah. Karena itu Bayu langsung menggunakan jurus udara dan bergerak ringan ke belakang Baroto yang sudah memasang kuda-kuda jurus kodoknya. Tenaga dalam Bayu terkumpul di tangan membentuk bola tenaga, lalu dilontarkannya ke arah Baroto.
Pemuda itu memang Bayu, ia mendekati ujian tahap ke-dua. Dirangkulnya batu besar itu dengan kedua tangannya, lalu dikerahkannya tenaga dan batu itu pun terangkat di atas kepalanya. Bayu sengaja tidak mau menunjukkan semua ilmunya, ini adalah bagian dari rencananya. Tapi tetap saja penonton memberikan dukungannya dan saling bertanya siapakah pemuda ini.Pada ujian terakhir Bayu hanya mengambil satu pisau dan melemparkannya, tepat mengenai sasaran. Meskipun dinyatakan lolos, tapi tak ada gerakan atau hasil yang menghebohkan. Menteri Supala mendekatinya dan bertanya, “Apakah perlu kuumumkan identitasmu Bayu?”Bayu menggeleng, “Jangan Paman, cukup asal Bagaskoro tahu siapa diriku.”Maka di kalangan penonton mulai beredar desas-desus bahwa pemuda itu adalah Pangeran Bayu putra dari Raja Arkha. Berita ini pun sampai ke telinga Bagaskoro, segera ia memerintahkan orang untuk memanggil Baroto. “Sobat, pemuda yang baru saja lolos adalah targetmu. Tampaknya kali ini kau salah menilai orang. Men