Bayu dan Laras melakukan perjalanan bersama ke ibukota. Tidak terburu-buru karena tidak ada urusan yang butuh segera.Laras bertanya, “Bayu, apakah kau berhasil bertemu dengan ibumu?”“Ya, sekarang ibuku sudah bebas, bukan tahanan lagi.”“Oh, bagaimana ceritanya?”Bayu menceritakan usahanya menyelamatkan ibunya bersama Nayaka dan Biksu Pradipa.Laras mendengarkan dengan penuh perhatian.“Jadi sekarang Iblis Seribu Racun sudah tewas. Apakah kau mengambil semua hartanya?”“Ya, harta yang berasal dari merampok dan merampas milik orang lain, akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk membantu rakyat Antakara.”“Berarti sekarang kau kaya, Bayu,” goda Laras.“Tidak juga, aku hanya membawa bekal secukupnya, semuanya kuserahkan pada Bunda untuk mengaturnya.”Ketika mereka mendekati perbatasan Surya Selatan dan ibukota, di sebuah tanah lapang di pinggir hutan, terlihat dari jauh ada pertarungan. Setelah didekati ternyata itu adalah pertarungan antara Baroto si Kepala Martil dan Nayaka. Bayu berh
Nayaka menoleh pada Laras dan bertanya, “Siapa gadis ini Bayu? Kau belum memperkenalkannya.”“Oh iya, ini Laras, Paman. Kami melakukan perjalanan bersama ke ibukota, karena kebetulan Laras akan mengunjungi Mawar.”Laras memberi hormat pada Nayaka, “Salam hormat saya Paman.”Nayaka membalas hormatnya, sambil berkata, “O rupanya sahabat Mawar, engkau tidak menghadiri pesta pernikahannya ya.”“Betul Paman, aku sedang ke Bukit Tengkorak untuk membalas dendam kematian guruku,” jawab Laras.“Wah berbahaya, Ratu Bukit Tengkorak memiliki ilmu yang hebat, apakah engkau berhasil membalas dendam?”“Sang Ratu terjebak dan tewas di tangan muridnya sendiri.”Sebelum Nayaka bertanya lagi, Bayu sudah memotongnya, “Paman sendiri, mengapa bisa di sini dan bertarung dengan si Kepala Martil itu.” Bayu mengalihkan perhatian Nayaka supaya tidak bertanya tentang peristiwa di Bukit Tengkorak, yang merupakan pengalaman pahit bagi Laras.“Aku habis berziarah ke makam keluarga, dan ketika akan kembali ke ibukot
Sedangkan Bayu saat ini menyamar sebagai saudagar setengah baya. Ia tidak mau Kirani mengenalinya, bisa-bisa dianggap mencampuri urusan pribadinya lagi. Bayu sudah mengikuti Kirani sejak keluar dari paviliunnya. Untungnya Kirani sebagai penduduk Agartha, tidak mau menggunakan kuda dalam perjalanannya. Bayu merasa lega, karena dengan berkuda Kirani akan lebih mudah curiga ada orang yang mengikutinya. Kirani berjalan ke arah Selatan ibukota. Di pusat kota, Bayu tidak kesulitan mengikuti Kirani, karena tersamarkan oleh keramaian ibukota. Setelah ada di pinggir kota keadaan mulai sepi, Bayu kadang harus menggunakan ilmunya untuk menyamarkan jejaknya. Di sebuah gardu yang memang disediakan sebagai tempat istirahat bagi orang yang sedang dalam perjalanan, Kirani berhenti sebentar melepas penat. Dibukanya bekalnya dan dihitungnya uang yang dibawa. Tidak banyak. Ia harus berhemat supaya cukup sampai di Buntala. Kemudian ia tampak menimbang-nimbang serum obatnya. Dengan membiarkan tubuhnya te
Kirani mendekati meja tempat dua orang itu duduk, setelah dekat ia bisa melihat jelas wajah kedua saudagar itu, yang satu masih muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya, wajahnya bersih, dan cukup tampan, saat ini tampak tersenyum ramah kepadanya. Sedangkan saudagar yang lain sudah berusia setengah baya dengan wajah yang mulai berkeriput terutama di bawah kelopak matanya.Kirani membungkuk hormat pada mereka, lalu berkata, “Terima kasih Tuan, selama ini Tuan sudah banyak membantu saya.”“Ah tidak apa-apa Nona, aku hanya mengagumi kecantikan Nona dan ingin berkenalan dengan Anda, bila tidak keberatan silakan duduk bersama di sini saja.” Saudagar yang muda itu berdiri dan mempersilakan Kirani untuk duduk bersama mereka. Ia memerintahkan pelayan untuk mengambil makanan Kirani dan memindahkannya ke sini.“Silakan Nona, namaku Tunggul Harja, dan ini pamanku Surya Damanik. Ayahku, Tunggul Seta, adalah Adipati Surya Selatan ini. Kalau boleh tahu siapakah nama Nona yang terhormat?
Bayu dengan cepat memperkirakan gerakan ke 12 orang lawannya. Masih membentuk setengah lingkaran, mereka maju perlahan mendekatinya, agak jeri juga melihat keganasan orang tua di hadapannya.Bayu memasang kuda-kuda unsur api, lalu mengibaskan tangannya melontarkan tenaga dalam api berbentuk bulan sabit ke arah lawan-lawannya. ‘Jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr ... ‘12 kali ledakan beruntun dari lontaran tenaga dalam apinya membentur tubuh lawannya.Mereka merintih kesakitan, rata-rata memegang dada atau perutnya yang menghitam hangus karena luka bakar.Tunggul Harja ketakutan, ia tidak menyangka seorang saudagar tua yang perutnya gendut bisa sehebat itu ilmunya. Ia berteriak-teriak panik pada anak buahnya, “Payah kalian! Ayo maju, maju, serang lagi dia.”Bayu berjalan mendekati Tunggul Harja. Tapi dari arah gerobak terdengar teriakan, “Auuhh, lepaskan!”Bayu lengah, paman Tunggul Harja, Surya Damanik dan seorang anak buahnya menangkap Kirani, memasukkannya dalam karung, da
Bayu memutuskan untuk mencegat utusan itu saat akan kembali ke ibukota. Ia keluar dari perkemahan, kembali melompati pagar. Sementara Prastowo sudah berjalan ke arah tenda paling besar di tengah-tengah perkemahan. Raja Darpa mengadakan pertemuan, untuk membahas penyerangan terhadap suku Normad. Di setiap pertemuan seperti ini selalu disediakan hidangan dan minuman khas Buntala yang disebut Kumys, terbuat dari susu kuda yang di fermentasi. Raja Darpa sangat menyukai minuman ini.Prastowo masuk menuang secangkir kumys kemudian duduk di meja terdepan dekat dengan singgasana Raja. Tidak lama Raja Darpa juga hadir dan duduk di singgasananya.Sebelum pertemuan dimulai, Prastowo menghadap Raja Darpa dan menyerahkan surat kepada sang Raja.“Maaf Ayahanda, jangan sentuh makanan dan minuman yang ada di ruangan ini. Ayah mengirim berita, ada rencana untuk meracuni Ayahanda.”Raja Darpa membaca surat dari Bagaskoro, isinya adalah peringatan kepada Raja Darpa, karena Raja Antakara sudah mengirim
Penjara di negeri Buntala berbentuk seperti kerangkeng untuk hewan, hanya ukurannya lebih besar. Kirani ditahan dalam penjara itu. Ketika seorang pengawal membawanya ke penjara Kirani sempat menyentuhnya dan bertanya, “Apakah kau mengenal Prastowo?”. Pengawal itu menganggukkan kepala. “Siapa dia?” tanya Kirani lagi.“Prastowo adalah Menantu Raja Darpa, suami dari Putri Dayana.”Kirani yakin bahwa Prastowo sudah mengkhianati cintanya. Tak terasa air matanya menetes. Ia tidak peduli dirinya dimasukkan dalam penjara yang tidak manusiawi ini. Rasa sedih dan kecewa sudah membutakan pikirannya. Kirani bahkan tidak peduli serum obatnya diambil untuk diperiksa.Bayu menunggu utusan Bagaskoro di tepi jalan perbatasan, karena di sini banyak pohon dan tanaman perdu untuk tempat bersembunyi. Akhirnya dari jauh Bayu melihat debu mengepul akibat jejak kaki kuda yang berlari.Bayu menghadang di tengah jalan yang akan dilalui utusan itu. Terpaksa utusan itu menghentikan kudanya. “Gila kau! Minggir! A
Kirani naik ke punggung kuda, lalu menyuruhnya jalan, ia ingin segera meninggalkan tempat yang memberikan luka di hatinya ini.Tidak lama dari arah perkemahan terdengar suara trompet tanda bahaya. Tampak seorang berpakaian saudagar berlari cepat dan hilang ditelan kegelapan. Bayu heran dari mana para penjaga itu tahu keberadaannya. Ia keluar dari perkemahan dan dilihatnya para penjaga gerbang sudah tergeletak pingsan, berarti tanda bahaya tadi ditiup bukan karena dirinya tapi ada orang lain yang juga menyusup seperti dirinya. Bayu masih menggunakan ilmunya menciptakan kegelapan, ia melihat beberapa penjaga keluar dari gerbang dan menyadarkan para penjaga yang pingsan.“Bangunlah, gawat, tahanan, gadis bermata kelabu itu lolos dari penjara, kita bisa dihukum berat.”Bayu mendengarnya. Siapa pun yang menolongnya yang penting Kirani sudah selamat. Bayu merasa lega. Ia meninggalkan tempat itu. Sekarang tujuannya adalah secepatnya ke ibukota untuk menemui Menteri Supala.Bayu memutuskan un