Benturan dua tenaga dalam tingkat tinggi, membentuk lubang cukup dalam di tanah. Bayu merasakan tangannya kesemutan, kepala Baroto memang sekeras baja. Baroto juga tidak kalah kagetnya, sampai saat ini hanya Biksu Dharmapada yang bisa menerima serangan langsung kepalanya tanpa terluka. Tapi saudagar ini bukan saja tidak terluka bahkan mundur selangkah pun tidak. Jelas tenaga dalamnya tidak di bawah dirinya.Baroto tidak mau membuang-buang waktu, segera disiapkannya ilmu puncaknya ‘Jerat Raga’.Bayu sudah dua kali melihat Baroto menggunakan jurus Jerat Raga, ia bersiap akan meloncat mundur untuk memperlebar jarak dengan Baroto. Tapi terlambat, tubuhnya tidak bisa digerakkan dan tanah di bawah kakinya tiba-tiba melunak dan menghisapnya. Bayu juga menguasai jurus tanah, ia menyalurkan tenaga dalam pada kakinya untuk membuat tanah di bawahnya kembali mengeras.Baroto terkejut, saudagar ini juga bisa mengendalikan tanah. Baroto menambah tenaga dalam unsur tanahnya untuk kembali melunakkan
Surya Damanik tertawa terbahak-bahak, “Wua ha ha ha, tak kusangka akhirnya terjatuh juga kau di.”Bayu mengerahkan tenaga dalamnya.‘Tasss, tasss, tasss ... ‘ Tali yang mengikat tubuhnya putus, lalu ia menghampiri Surya Damanik yang terkejut dan ketakutan setengah mati.Dicekiknya leher Surya Damanik dan diangkatnya tubuhnya. “Ampuun Tuan, ampuuun ... “ Hanya itu yang bisa diucapkan Surya Damanik, dan tiba-tiba celananya basah terkena kencingnya. Bayu tidak mau terciprat air kencing Surya Damanik, maka dilemparnya si Penjual Kuda itu. Ia berpikir orang seperti Surya Damanik ini, berani bertindak semena-mena, karena memiliki banyak harta. Walaupun ia menghajarnya tapi bila ia masih mempunyai uang tindakannya terhadap orang lain tetap tidak memandang sebelah mata. Karena itu Bayu memutuskan untuk memiskinkannya.“Hei kau setan licik! Apa kau masih ingin hidup?” bentak Bayu.“Ma, masih Tuan, ampuni saya ... “ Surya Damanik mengiba-iba di hadapan Bayu.“Tunjukkan di mana kau simpan harta
Kirani sadar, ia terbaring di sebuah ranjang yang besar, bersih dan harum, pasti milik seorang wanita. Kepalanya masih pusing, ia merasa penyakitnya tidak mungkin kambuh secepat itu, tapi ia tidak yakin juga, tekanan pada pikirannya bisa saja memicu penyakitnya. Tapi bunyi dari perutnya menyadarkan bahwa sejak ia tiba di Buntala hingga sekarang tak sesuap makanan pun masuk ke mulutnya. Dari arah pintu masuk seorang wanita cantik, dengan tubuh indah idaman setiap wanita. Ia membawa nampan dengan mangkuk di atasnya, mengepulkan asap tanda makanan di dalamnya masih panas.“Ah, kau sudah sadar rupanya,” ucap wanita itu.“Dimana aku? dan siapa Kakak ini? Apakah Kakak yang menolongku?” tanya Kirani.“Hihihi, kau ini baru saja sadar, sudah bertanya sebanyak itu, dari mana aku menjawabnya. Makanlah dulu, kau pingsan dan denyut nadimu lemah, sepertinya engkau belum makan ya,” jawab wanita itu.Kirani malu, perutnya berbunyi lagi, bau harum masakan membangkitkan rasa laparnya.Wanita itu tertaw
Seekor kuda yang gagah dipacu dengan kencang. Penunggangnya seorang pemuda yang tak kalah gagah dari kudanya, badannya tinggi dan kekar memanggul buntalan bekal di punggungnya.Di depannya, sudah terlihat gapura batas desa. Sang Pemuda menarik tali kekang kudanya untuk memperlambat larinya. Desa ini terlihat cukup makmur, gapuranya terawat bersih dan di warnai dengan kapur putih dan arang hitam. Jalannya juga lebar dan bersih.Tapi suasana desa sangat sepi. Terlalu sepi untuk sebuah desa sebesar ini. Sang Pemuda tak melihat seorang pun di jalan mau pun di depan rumah. Tapi kemudian dari sebuah rumah muncul seorang bapak memakai ikat kepala. Bapak itu memanggilnya, “Hei anak muda, ke sini.”“Ada apa Pak?” jawab si Pemuda sambil mendekat ke rumah bapak itu.“Masuklah dulu, bawa kudamu ke belakang rumah dan tutup kembali pintunya,” Bapak itu mempersilakan si Pemuda masuk ke rumahnya.Si Pemuda memasukkan kudanya ke belakang rumah dalam kandang ternak si pemilik rumah yang sudah kosong, k
Bayu mengangguk, “Benar Pak, mohon dibagi dengan adil, dan Bapak-bapak sekalian ini segera meninggalkan tempat ini, biar saya yang menunggu bantuan dari Tuan Adipati.”Pak Dirga membungkukkan badan diikuti pengurus desa lainnya, lalu ia berkata, “Saya mewakili seluruh warga desa Sukomulyo, berterima kasih kepada Nak Bayu, semoga Tuhan membalas semua kebaikan Nak Bayu pada kami. Dan kalau kami boleh tahu, siapakah sebenarnya Nak Bayu ini? Supaya kelak kami bisa menceritakan kepada anak cucu kami siapa yang sudah menjadi dewa penolongnya.”Bayu melangkah mundur ke belakang, sungkan rasanya menerima penghormatan yang berlebihan seperti ini.“Ah, jangan seperti ini Pak, saya bukan siapa-siapa, hanya sebagai sesama rakyat Antakara saya berusaha membantu sebisa saya.” Bayu memandang kepada Pak Suro, lalu melanjutkan perkataannya, “Maaf Pak Suro, saya mohon izin, sementara saya menunggu bantuan dari Tuan Adipati, bolehkah saya tinggal di rumah Bapak ini.”Pak Suro menjawab dengan cepat, “Sil
Setelah keluar dari desa Sukomulyo tadi Bayu tidak menemui hambatan lagi. Ia kembali berkuda dan berhenti pada persimpangan jalan, ada dua jalan di hadapannya, yang ke kiri lebih lebar sedangkan yang kanan agak kecil. Bayu mengingat-ingat kembali jalan saat ia berangkat dari ibukota ke Buntala. Ia memilih jalan yang lebih lebar. Dipacunya lagi kuda hitamnya. Menjelang siang ia sudah memasuki sebuah kota, cukup besar karena ini adalah kota kadipaten, tempat Adipati Surya Selatan bermukim. Bayu semula berniat melaporkan tentang gerombolan perampok itu pada sang Adipati, tapi kemudian dibatalkannya karena ia teringat memiliki masalah dengan putra sang Adipati, Tunggul Harja. Bayu tidak ingin perjalanannya terhambat lagi, maka diputuskannya untuk langsung ke ibukota. Bayu hanya sekali bermalam lagi, di sebuah desa yang cukup besar juga, tapi hanya ada satu penginapan di desa itu.Bayu hanya bermeditasi dan mengistirahatkan kudanya di penginapan yang walaupun satu-satunya di desa tersebut,
“Ini pasti rencana Bagaskoro untuk membuka jalan bagi pasukan Buntala, ia memang sengaja bermaksud mengusir semua penduduk desa, maka digunakannya jasa Birowo dan gerombolannya untuk menakut-nakuti penduduk desa, sehingga mereka meninggalkan desanya. Karena desa ini adalah jalur yang harus dilewati bila akan menyerang ibukota Antakara.”“Tapi bukankah ada beberapa kota dan desa lagi bila akan ke ibukota Antakara,” tanya Bayu.Menteri Supala mengambil kertas dan mulai menggambar, lalu ia menunjukkan pada semuanya, “Setelah desa Sukomulyo ada jalan yang bercabang, yang satu ini memang melewati beberapa kota dan desa sebelum tiba di ibukota Antakara. Tetapi jalan yang ini, memutar melalui perbatasan Surya Timur dan setelah menembus hutan, orang akan tiba di perbatasan ibukota. Jadi ini pasti jalur yang disiapkan Bagaskoro bila pasukan Buntala akan menyerang Antakara.”Semua orang yang ada di situ, baik Bayu, Nayaka maupun Tuan Bimantoro, sangat terkejut dengan penjelasan Menteri Supala.
Bayu bergegas ke penginapan yang pernah diinapinya juga.Setibanya di penginapan itu Bayu segera bertanya pada petugas penerima tamu, “Maaf Pak, apakah di sini ada seorang gadis cantik yang menginap sendirian? Usianya sedikit lebih tua dari saya.”“Betul ada, sudah tiga hari ia menginap di sini, tapi baru saja nona itu menyelesaikan pembayarannya dan meninggalkan penginapan ini.”“Aduh terlambat! Terima kasih Pak.” Bayu buru-buru menunggangi kudanya, kemudian dipacunya secepat mungkin ke arah Barat. Ia ingat Laras pernah mengatakan bahwa ia tinggal di perbatasan Surya Barat dan Selatan. Kuda hitamnya berlari sangat cepat, Bayu hanya memikirkan untuk bisa menyusul Laras. Tiupan angin yang menampar wajahnya tak dihiraukannya. Pandangannya lurus ke depan berharap dijumpainya seorang gadis cantik bertubuh indah, Laras. Karena gadis inilah yang akan membawanya pada gadis lain yang telah mengacaukan pikirannya. Bayu juga tidak tahu apa yang dirasakannya terhadap Kirani. Ia pernah kecewa ka