Nayaka menoleh pada Laras dan bertanya, “Siapa gadis ini Bayu? Kau belum memperkenalkannya.”“Oh iya, ini Laras, Paman. Kami melakukan perjalanan bersama ke ibukota, karena kebetulan Laras akan mengunjungi Mawar.”Laras memberi hormat pada Nayaka, “Salam hormat saya Paman.”Nayaka membalas hormatnya, sambil berkata, “O rupanya sahabat Mawar, engkau tidak menghadiri pesta pernikahannya ya.”“Betul Paman, aku sedang ke Bukit Tengkorak untuk membalas dendam kematian guruku,” jawab Laras.“Wah berbahaya, Ratu Bukit Tengkorak memiliki ilmu yang hebat, apakah engkau berhasil membalas dendam?”“Sang Ratu terjebak dan tewas di tangan muridnya sendiri.”Sebelum Nayaka bertanya lagi, Bayu sudah memotongnya, “Paman sendiri, mengapa bisa di sini dan bertarung dengan si Kepala Martil itu.” Bayu mengalihkan perhatian Nayaka supaya tidak bertanya tentang peristiwa di Bukit Tengkorak, yang merupakan pengalaman pahit bagi Laras.“Aku habis berziarah ke makam keluarga, dan ketika akan kembali ke ibukot
Sedangkan Bayu saat ini menyamar sebagai saudagar setengah baya. Ia tidak mau Kirani mengenalinya, bisa-bisa dianggap mencampuri urusan pribadinya lagi. Bayu sudah mengikuti Kirani sejak keluar dari paviliunnya. Untungnya Kirani sebagai penduduk Agartha, tidak mau menggunakan kuda dalam perjalanannya. Bayu merasa lega, karena dengan berkuda Kirani akan lebih mudah curiga ada orang yang mengikutinya. Kirani berjalan ke arah Selatan ibukota. Di pusat kota, Bayu tidak kesulitan mengikuti Kirani, karena tersamarkan oleh keramaian ibukota. Setelah ada di pinggir kota keadaan mulai sepi, Bayu kadang harus menggunakan ilmunya untuk menyamarkan jejaknya. Di sebuah gardu yang memang disediakan sebagai tempat istirahat bagi orang yang sedang dalam perjalanan, Kirani berhenti sebentar melepas penat. Dibukanya bekalnya dan dihitungnya uang yang dibawa. Tidak banyak. Ia harus berhemat supaya cukup sampai di Buntala. Kemudian ia tampak menimbang-nimbang serum obatnya. Dengan membiarkan tubuhnya te
Kirani mendekati meja tempat dua orang itu duduk, setelah dekat ia bisa melihat jelas wajah kedua saudagar itu, yang satu masih muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya, wajahnya bersih, dan cukup tampan, saat ini tampak tersenyum ramah kepadanya. Sedangkan saudagar yang lain sudah berusia setengah baya dengan wajah yang mulai berkeriput terutama di bawah kelopak matanya.Kirani membungkuk hormat pada mereka, lalu berkata, “Terima kasih Tuan, selama ini Tuan sudah banyak membantu saya.”“Ah tidak apa-apa Nona, aku hanya mengagumi kecantikan Nona dan ingin berkenalan dengan Anda, bila tidak keberatan silakan duduk bersama di sini saja.” Saudagar yang muda itu berdiri dan mempersilakan Kirani untuk duduk bersama mereka. Ia memerintahkan pelayan untuk mengambil makanan Kirani dan memindahkannya ke sini.“Silakan Nona, namaku Tunggul Harja, dan ini pamanku Surya Damanik. Ayahku, Tunggul Seta, adalah Adipati Surya Selatan ini. Kalau boleh tahu siapakah nama Nona yang terhormat?
Bayu dengan cepat memperkirakan gerakan ke 12 orang lawannya. Masih membentuk setengah lingkaran, mereka maju perlahan mendekatinya, agak jeri juga melihat keganasan orang tua di hadapannya.Bayu memasang kuda-kuda unsur api, lalu mengibaskan tangannya melontarkan tenaga dalam api berbentuk bulan sabit ke arah lawan-lawannya. ‘Jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr, jdaarrr ... ‘12 kali ledakan beruntun dari lontaran tenaga dalam apinya membentur tubuh lawannya.Mereka merintih kesakitan, rata-rata memegang dada atau perutnya yang menghitam hangus karena luka bakar.Tunggul Harja ketakutan, ia tidak menyangka seorang saudagar tua yang perutnya gendut bisa sehebat itu ilmunya. Ia berteriak-teriak panik pada anak buahnya, “Payah kalian! Ayo maju, maju, serang lagi dia.”Bayu berjalan mendekati Tunggul Harja. Tapi dari arah gerobak terdengar teriakan, “Auuhh, lepaskan!”Bayu lengah, paman Tunggul Harja, Surya Damanik dan seorang anak buahnya menangkap Kirani, memasukkannya dalam karung, da
Bayu memutuskan untuk mencegat utusan itu saat akan kembali ke ibukota. Ia keluar dari perkemahan, kembali melompati pagar. Sementara Prastowo sudah berjalan ke arah tenda paling besar di tengah-tengah perkemahan. Raja Darpa mengadakan pertemuan, untuk membahas penyerangan terhadap suku Normad. Di setiap pertemuan seperti ini selalu disediakan hidangan dan minuman khas Buntala yang disebut Kumys, terbuat dari susu kuda yang di fermentasi. Raja Darpa sangat menyukai minuman ini.Prastowo masuk menuang secangkir kumys kemudian duduk di meja terdepan dekat dengan singgasana Raja. Tidak lama Raja Darpa juga hadir dan duduk di singgasananya.Sebelum pertemuan dimulai, Prastowo menghadap Raja Darpa dan menyerahkan surat kepada sang Raja.“Maaf Ayahanda, jangan sentuh makanan dan minuman yang ada di ruangan ini. Ayah mengirim berita, ada rencana untuk meracuni Ayahanda.”Raja Darpa membaca surat dari Bagaskoro, isinya adalah peringatan kepada Raja Darpa, karena Raja Antakara sudah mengirim
Penjara di negeri Buntala berbentuk seperti kerangkeng untuk hewan, hanya ukurannya lebih besar. Kirani ditahan dalam penjara itu. Ketika seorang pengawal membawanya ke penjara Kirani sempat menyentuhnya dan bertanya, “Apakah kau mengenal Prastowo?”. Pengawal itu menganggukkan kepala. “Siapa dia?” tanya Kirani lagi.“Prastowo adalah Menantu Raja Darpa, suami dari Putri Dayana.”Kirani yakin bahwa Prastowo sudah mengkhianati cintanya. Tak terasa air matanya menetes. Ia tidak peduli dirinya dimasukkan dalam penjara yang tidak manusiawi ini. Rasa sedih dan kecewa sudah membutakan pikirannya. Kirani bahkan tidak peduli serum obatnya diambil untuk diperiksa.Bayu menunggu utusan Bagaskoro di tepi jalan perbatasan, karena di sini banyak pohon dan tanaman perdu untuk tempat bersembunyi. Akhirnya dari jauh Bayu melihat debu mengepul akibat jejak kaki kuda yang berlari.Bayu menghadang di tengah jalan yang akan dilalui utusan itu. Terpaksa utusan itu menghentikan kudanya. “Gila kau! Minggir! A
Kirani naik ke punggung kuda, lalu menyuruhnya jalan, ia ingin segera meninggalkan tempat yang memberikan luka di hatinya ini.Tidak lama dari arah perkemahan terdengar suara trompet tanda bahaya. Tampak seorang berpakaian saudagar berlari cepat dan hilang ditelan kegelapan. Bayu heran dari mana para penjaga itu tahu keberadaannya. Ia keluar dari perkemahan dan dilihatnya para penjaga gerbang sudah tergeletak pingsan, berarti tanda bahaya tadi ditiup bukan karena dirinya tapi ada orang lain yang juga menyusup seperti dirinya. Bayu masih menggunakan ilmunya menciptakan kegelapan, ia melihat beberapa penjaga keluar dari gerbang dan menyadarkan para penjaga yang pingsan.“Bangunlah, gawat, tahanan, gadis bermata kelabu itu lolos dari penjara, kita bisa dihukum berat.”Bayu mendengarnya. Siapa pun yang menolongnya yang penting Kirani sudah selamat. Bayu merasa lega. Ia meninggalkan tempat itu. Sekarang tujuannya adalah secepatnya ke ibukota untuk menemui Menteri Supala.Bayu memutuskan un
Benturan dua tenaga dalam tingkat tinggi, membentuk lubang cukup dalam di tanah. Bayu merasakan tangannya kesemutan, kepala Baroto memang sekeras baja. Baroto juga tidak kalah kagetnya, sampai saat ini hanya Biksu Dharmapada yang bisa menerima serangan langsung kepalanya tanpa terluka. Tapi saudagar ini bukan saja tidak terluka bahkan mundur selangkah pun tidak. Jelas tenaga dalamnya tidak di bawah dirinya.Baroto tidak mau membuang-buang waktu, segera disiapkannya ilmu puncaknya ‘Jerat Raga’.Bayu sudah dua kali melihat Baroto menggunakan jurus Jerat Raga, ia bersiap akan meloncat mundur untuk memperlebar jarak dengan Baroto. Tapi terlambat, tubuhnya tidak bisa digerakkan dan tanah di bawah kakinya tiba-tiba melunak dan menghisapnya. Bayu juga menguasai jurus tanah, ia menyalurkan tenaga dalam pada kakinya untuk membuat tanah di bawahnya kembali mengeras.Baroto terkejut, saudagar ini juga bisa mengendalikan tanah. Baroto menambah tenaga dalam unsur tanahnya untuk kembali melunakkan
Di sebuah gua dekat air terjun, terlihat seorang yang mengenakan pakaian serba hitam hingga hanya matanya yang terlihat. Orang itu menggerakkan tangannya membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu muncul cahaya dan kemudian bagaikan tabir yang terbuka, di dalam lingkaran itu menunjukkan sebuah ruangan lain yang bukan bagian dari gua itu.Orang itu melangkah melalui lingkaran yang bercahaya itu, memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu penuh peti yang tergeletak di lantai dan beberapa senjata yang tergantung di dindingnya. Orang berpakaian hitam itu mendekati sebuah pedang yang tergantung di dinding, menghunus pedang itu, tapi digantungnya kembali. Ia hanya mengambil sarung pedangnya. Lalu orang itu kembali melewati lingkaran bercahaya itu, yang langsung menghilang setelah orang itu melewatinya. Sedangkan di sebuah tempat yang dikenal orang sebagai bukit Tengkorak. Pada masa ratusan tahun setelah kejadian seseorang mengambil sarung pedang tadi. Di kamar sang Ratu penguasa bu
Semua orang mengalihkan pandangannya ke luar ruangan, bahkan Nayaka yang posisinya terdekat dengan pintu langsung meloncat keluar. Tapi tak ada apa pun di luar istana, suasananya tenang-tenang saja. Nayaka sadar ini pasti tipuan licik Bagaskoro lagi. Ketika ia hendak memasuki ruangan kembali dilihatnya Bagaskoro sudah menyandera Raja Bhanu dengan mencengkeram lehernya.Nayaka membatalkan niatnya untuk masuk ke ruangan, ia berputar menuju pintu belakang istana. Sementara Bagaskoro mengancam semua orang akan membunuh Raja Bhanu.Sang Raja berkata pada Bayu, “Adi, aku dan ayahku sudah melakukan kesalahan padamu. Bunuhlah pengkhianat ini, jangan pedulikan aku, engkau yang berhak atas takhta ini.”Bayu ragu, ia mencoba memberikan penawaran pada Bagaskoro, “Bagaskoro lepaskan Kanda Bhanu, maka aku akan membebaskan Prastowo.”Bagaskoro tertawa, “Hahaha setelah itu kau akan menyerang dan membunuhku, kau kira aku tidak tahu niat busukmu.”Bayu menjawab, “Jangan kau anggap semua orang seperti
Bagaskoro sangat geram, giginya gemeretuk menahan emosinya, “Aku tidak peduli, akan kubunuh semua orang yang ada di ruangan ini.” Mata Bagaskoro memerah, ia sudah kehilangan nalarnya, dihunusnya pedang pengisap bintang.Bayu segera mengeluarkan sarung pedang pengisap bintang dari selongsong timah hitamnya.Bagaskoro tidak terkejut, ia sudah menduga sarung pedang itu berada di tangan musuh-musuhnya. Tapi ia tidak khawatir, karena yang terpenting adalah tenaga dalam khusus saat pedang pengisap bintang digunakan. Bagaskoro menyerahkan pedang pengisap bintang pada Ki Lurah Gondomayit, dan disuruhnya untuk menjauh. Ki Lurah mengerti maksud Bagaskoro. Ia segera menjauh agar pengaruh pedang pengisap bintang tak terasa lagi. Bagaskoro berharap Bayu akan melemparkan sarung pedangnya agar tak terkena pengaruhnya. Tapi kali ini dugaannya salah. Bayu hanya memasukkan sarung pedang itu kembali ke dalam selongsong timah hitamnya. Bagaskoro tertawa, “Hahaha, ayo kita mulai.” Ia bersiap-siap denga
Bagaskoro mengangkat tangannya, lalu berkata dengan suara lantang, “Terima kasih saudara-saudara. Aku hanya seorang diri tidak ada artinya tanpa dukungan kalian semua. Maka mulai sekarang marilah kita bersama-sama menciptakan suasana aman dan tenteram di dunia persilatan serta dengan setia menjadi penopang negeri yang kita cintai ini, Antakara.”Para penonton kembali bertepuk tangan dan berseru, “Setuju!!! Kami siap menerima perintah Ketua!”Bagaskoro sekali lagi mengangkat tangannya, “Untuk lebih menjalin keakraban di antara kita, aku mohon saudara-saudara jangan membubarkan diri dulu. Aku telah menyiapkan sebuah perjamuan untuk kita. Silakan dinikmati.”Di mana pun sebuah perjamuan selalu dinantikan dalam sebuah acara. Para penonton bersorak gembira, mereka merasa tidak salah mendukung Tuan Bagaskoro, yang ternyata sangat royal pada mereka.Di tengah keriuhan orang mengambil makanan, ada seorang prajurit yang baru turun dari kudanya dan berseru, “Di mana Tuan Penasihat! Cepat! Aku m
Keadaan menjadi gelap, lalu ‘Jboooooooom’ kilatan cahaya dari ledakan tenaga dalamnya menyilaukan mata semua orang, ketika mata mereka tertutup, tubuh mereka terpental disambar kekuatan angin panas dan bara api dari batu dan kerikil yang berhamburan menghajar mereka. Tak seorang pun yang masih bisa berdiri, Bhirowo yang terdepan merasakan pengaruh ledakan panas itu paling hebat. Ketika keadaan menjadi gelap Bhirowo tersentak, jelas ini bukan jurus sembarangan, tapi sudah terlambat, tubuhnya bagaikan masuk ke neraka, jeritannya menyayat hati, hilang sudah keangkuhannya, tubuhnya telentang melepuh dan mata terbelalak. Mulutnya masih sempat bergumam, “Jurus apa itu ...” sebelum nyawanya melayang meninggalkan raganya.***Di arena pertandingan, hari ke-tiga, dan ke-empat, Baroto berhasil menaklukkan lawan-lawannya. Setelah mengalahkan Tuan Dewangga dan Bayu di hari ke-dua, berturut-turut Baroto menundukkan Tuan Paskalis, Tuan Bimantoro dan Tuan Mahesa Ludira. Sekarang tinggal tersisa Tuan
Raja Darpa terkejut, ada prajuritnya yang berani memukul Prastowo. “Hei, siapa kau?”Prajurit itu dengan tenang berjalan mendekati Raja Darpa. “Maaf Yang Mulia, nama hamba Bayu Narendra. Hamba adalah Pangeran Antakara. Yang Mulia sudah menyerang negeri hamba karena terpengaruh hasutan dari Bagaskoro dan putranya Prastowo. Tunggulah sebentar, teman hamba akan segera datang membawa buktinya.”Tak seberapa lama muncullah di tengah ruangan seorang gadis cantik bermata kelabu. Ia mendekati Raja Darpa. Sang Raja terkejut. Ia mengenali gadis itu. “Bukankah kau penyusup yang mencoba meracuni aku.”Kirani membungkuk hormat, “Nama hamba Kirani Yang Mulia. Saat itu hamba hanya berkunjung ke Buntala untuk mencari Prastowo, sama sekali tidak bermaksud meracuni Paduka.”“Lalu siapa yang menaruh racun dalam minumanku?” tanya sang Raja.“Dia!” Kirani menunjuk Prastowo.“Tidak mungkin, Prastowo menantuku, untuk apa dia mencoba meracuniku?” Raja Darpa tidak percaya pada keterangan Kirani.“Sabar Yang M
Sementara di negeri Buntala, Raja Darpa memimpin sendiri pasukannya didampingi oleh menantunya, Prastowo. Keberangkatan pasukan justru saat lewat tengah hari, mereka memperkirakan memasuki wilayah Antakara ketika matahari mulai tenggelam. Walaupun jalan masuk ke Antakara sudah disiapkan mereka tetap berusaha untuk tidak menarik perhatian penduduk. Hutan perbatasan Surya Selatan dan Surya Timur akan dijadikan markas sementara mereka sebelum menyerang ke istana.Mahen dan Nayaka yang sudah melihat pergerakan Pasukan Buntala, segera kembali untuk melaporkan hasil pengintaiannya kepada Raja Bhanu melalui pengawalnya. ***Bayu membuka matanya dan bertanya, “Di mana ini John?”“Kau baru saja kuangkat keluar dari arena pertandingan,” jawab John.Lalu Bayu bertanya lagi, “Apakah ada yang curiga dengan kematianku?”“Sepertinya tidak, salah satu juri sudah memberi tanda bahwa kau sudah mati pada Bagaskoro,” ungkap John.“Bagus! Berarti sekarang saatnya untuk rencana berikutnya,” ujar Bayu, sam
Pada saat genting seperti itu, seseorang meloncat ke atas panggung, sambil berkata, “Kau sudah menang Baroto, Lepaskan Tuan Dewangga, akulah yang kau tantang sebetulnya bukan.” Bayu membungkuk hormat pada Tuan Dewangga, “Maafkan kelancanganku Paman.”“Tidak apa-apa Bayu, aku justru berterima kasih padamu, berhati-hatilah si Kodok Bau ini tenaga dalamnya sangat hebat,” jawab Tuan Dewangga lesu. Baroto tertawa bangga, lalu berkata dengan tidak sabar, “Ayo cepat! Kalau mau ngobrol di warung saja.”“Silakan Baroto, aku sudah siap,” ucap Bayu.Baroto berkata dengan pongah, “Karena kau masih muda, kuberi kesempatan untuk menyerang dulu.”Bayu tidak sungkan lagi, dari pertarungan Baroto tadi ia melihat jurus kodoknya sedikit lebih lambat bila harus berbalik arah. Karena itu Bayu langsung menggunakan jurus udara dan bergerak ringan ke belakang Baroto yang sudah memasang kuda-kuda jurus kodoknya. Tenaga dalam Bayu terkumpul di tangan membentuk bola tenaga, lalu dilontarkannya ke arah Baroto.
Pemuda itu memang Bayu, ia mendekati ujian tahap ke-dua. Dirangkulnya batu besar itu dengan kedua tangannya, lalu dikerahkannya tenaga dan batu itu pun terangkat di atas kepalanya. Bayu sengaja tidak mau menunjukkan semua ilmunya, ini adalah bagian dari rencananya. Tapi tetap saja penonton memberikan dukungannya dan saling bertanya siapakah pemuda ini.Pada ujian terakhir Bayu hanya mengambil satu pisau dan melemparkannya, tepat mengenai sasaran. Meskipun dinyatakan lolos, tapi tak ada gerakan atau hasil yang menghebohkan. Menteri Supala mendekatinya dan bertanya, “Apakah perlu kuumumkan identitasmu Bayu?”Bayu menggeleng, “Jangan Paman, cukup asal Bagaskoro tahu siapa diriku.”Maka di kalangan penonton mulai beredar desas-desus bahwa pemuda itu adalah Pangeran Bayu putra dari Raja Arkha. Berita ini pun sampai ke telinga Bagaskoro, segera ia memerintahkan orang untuk memanggil Baroto. “Sobat, pemuda yang baru saja lolos adalah targetmu. Tampaknya kali ini kau salah menilai orang. Men