Bayu ragu-ragu memegang sarung Pedang Pengisap Bintang. Sebaiknya dilemparkannya sarung pedang ini sejauh-jauhnya, supaya pengaruhnya tidak terasa lagi. Atau ia tetap menggali tanah di bawah penjara ini hingga keluar dari penjara. Pertimbangannya adalah bila sarung pedang ini kurang jauh dilemparnya maka percuma, ia tetap tidak bisa mengerahkan tenaga dalamnya. Tetapi bila ia tetap menggali tanah, kemungkinan waktunya tidak cukup, karena penjaga akan datang sore untuk mengirimkan makanan.Akhirnya diputuskan untuk mencoba meletakkan sarung pedang di salah satu sudut penjara, dan Bayu menjauhi sarung pedang itu hingga titik terjauh. Di sini dirasakannya tenaga dalamnya mulai muncul tapi tidak cukup untuk mengaktifkan pedang cahayanya. Dengan sekuat tenaga dilemparnya sarung pedang itu ke lorong ruangan, lalu Bayu berdiri pada sudut Penjara terjauh dari lorong itu.“... Deepa Akzha Agha Bhumi.” Akhir dari mantra Pedang Cahaya. Akhirnya Bayu bisa mengeluarkan Pedang Cahayanya. Dengan mu
Sebagai seorang yang sudah menguasai kitab bumi dengan berbagai jenis unsur pengolahan tenaga dalam. Raja Martinus melakukan berbagai percobaan teknik mengolah tenaga dalam yang sesuai untuk digunakan dengan Pedang Pengisap Bintang. Bertahun-tahun kemudian, akhirnya ia menemukan teknik pengolahan tenaga dalam yang tepat sehingga tidak bisa hilang walaupun berada di dekat Pedang Pengisap Bintang. Teknik ini dicatatnya dalam Kitab Bumi beserta dengan sejarah Pedang Pengisap Bintang. Semuanya ini diwariskan pada keturunannya, Raja Antakara generasi berikutnya. Karena itulah Raja Antakara selalu berhasil mengalahkan para pengganggu keamanan Antakara walaupun ilmu mereka tinggi.Seperti Raja Pramadana yang mengalahkan Ki Gede Pancung. Tapi pada era Raja Pramadana inilah Kitab Bumi dan Pedang Pengisap Bintang di wariskan pada dua orang yang berbeda. Kitab Bumi diberikan pada Pangeran Arkha sedangkan Pedang Pengisap Bintang diberikan pada Pangeran Khandra.Bagaskoro yang merebut Kitab Bumi d
Bayu berjalan menuju ke penjara, ia ingin mengambil sarung Pedang Pengisap Bintang.Digalinya lagi lantai penjara, dan dikeluarkan kotak yang berisi sarung pedang. Lalu diajaknya Laras keluar dari bangunan utama, di luar, bangunan di samping bangunan utama sudah sepi, tampaknya para penjaga sudah melarikan diri. Bayu berharap kuda dan bekalnya masih ada di kaki bukit tengkorak. Ia mengajak Laras ke sana. Dari jauh dilihatnya dua ekor kuda masih tertambat di pohon di pinggir parit kecil. Untunglah, penduduk sekitar sini enggan melalui kawasan Bukit Tengkorak ini. Seandainya ada yang melihat pun, mereka tidak akan berani mengambil kuda atau pun barang yang masih ada dalam kawasan ini.Laras mencuci wajah dan tangannya di parit yang airnya cukup jernih. Bayu bertanya padanya, “Kemana tujuanmu berikutnya, Laras?”“Aku belum tahu, waktu itu aku sedang menuju ke ibukota untuk mengunjungi Mawar, tapi utusan Sangaji memberitahuku kalau kau tertangkap Bayu. Jadi aku kembali ke sini.”“Sangaji
Selama ini pemuda yang selalu berhasil menjadi pemenang adalah Kumbala. Semua orang juga sudah memperkirakan kali ini ia akan kembali menjadi juaranya. Permainan dimulai, pemuda yang berminat mengikutinya tidak perlu mendaftar, mereka langsung saja masuk ke arena dan akan ada pemuda lain yang menantangnya. Rata-rata mereka berusaha menjatuhkan lawannya dengan bantingan atau sapuan di kaki lawannya, tapi ada juga yang mendorong terus lawannya hingga keluar arena.Permainan berlangsung seru, para penonton memberikan dukungan pada teman atau saudaranya masing-masing yang sedang bertanding.Prastowo mengamati jalannya permainan ini. Ia memang akan ikut serta dalam permainan ini, tapi menunggu saat yang tepat untuk masuk ke arena. Tiba-tiba pandangannya terpana pada seorang gadis yang duduk di sebelah Raja Darpa, dialah Putri Dayana. Prastowo tidak menyangka seorang putri dari suku barbar ternyata begitu cantik jelita. Sedikit berkurang kekesalannya menerima tugas dari ayahnya untuk mende
Raja Darpa maju membawa hadiah sekantung uang. Diserahkan pada Prastowo yang menerima dengan senang. Lebih berharga lagi ucapan selamat Putri Dayana pada Prastowo sebagai pemenang.Mulai saat itu, hubungan Prastowo dan sang Putri menjadi semakin akrab. Rasa kagum memang mudah berubah menjadi rasa suka.Putri Dayana memiliki kebiasaan menenangkan dirinya di hutan pohon Baobab. Pohon ini disebut juga pohon kehidupan. Batangnya yang besar, berongga dan mengandung banyak air, menjadi rumah bagi hewan-hewan kecil dan serangga di daerah yang gersang ini. Daunnya tumbuh pada ranting-ranting yang melebar mencapai beberapa depa, sehingga di bawah pohon sangat teduh. Di sinilah sang Putri duduk termenung. Sementara para pengawal berjaga di kejauhan.Tiba-tiba terjadi keributan dari arah para pengawal berjaga. Dua orang berpakaian dan berkerudung hitam, menyerang para penjaga, meskipun tidak bersenjata tetapi pukulan dua orang ini sangat keras, seolah-olah kepalannya terbuat dari baja. Dua orang
Bayu dan Laras melakukan perjalanan bersama ke ibukota. Tidak terburu-buru karena tidak ada urusan yang butuh segera.Laras bertanya, “Bayu, apakah kau berhasil bertemu dengan ibumu?”“Ya, sekarang ibuku sudah bebas, bukan tahanan lagi.”“Oh, bagaimana ceritanya?”Bayu menceritakan usahanya menyelamatkan ibunya bersama Nayaka dan Biksu Pradipa.Laras mendengarkan dengan penuh perhatian.“Jadi sekarang Iblis Seribu Racun sudah tewas. Apakah kau mengambil semua hartanya?”“Ya, harta yang berasal dari merampok dan merampas milik orang lain, akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk membantu rakyat Antakara.”“Berarti sekarang kau kaya, Bayu,” goda Laras.“Tidak juga, aku hanya membawa bekal secukupnya, semuanya kuserahkan pada Bunda untuk mengaturnya.”Ketika mereka mendekati perbatasan Surya Selatan dan ibukota, di sebuah tanah lapang di pinggir hutan, terlihat dari jauh ada pertarungan. Setelah didekati ternyata itu adalah pertarungan antara Baroto si Kepala Martil dan Nayaka. Bayu berh
Nayaka menoleh pada Laras dan bertanya, “Siapa gadis ini Bayu? Kau belum memperkenalkannya.”“Oh iya, ini Laras, Paman. Kami melakukan perjalanan bersama ke ibukota, karena kebetulan Laras akan mengunjungi Mawar.”Laras memberi hormat pada Nayaka, “Salam hormat saya Paman.”Nayaka membalas hormatnya, sambil berkata, “O rupanya sahabat Mawar, engkau tidak menghadiri pesta pernikahannya ya.”“Betul Paman, aku sedang ke Bukit Tengkorak untuk membalas dendam kematian guruku,” jawab Laras.“Wah berbahaya, Ratu Bukit Tengkorak memiliki ilmu yang hebat, apakah engkau berhasil membalas dendam?”“Sang Ratu terjebak dan tewas di tangan muridnya sendiri.”Sebelum Nayaka bertanya lagi, Bayu sudah memotongnya, “Paman sendiri, mengapa bisa di sini dan bertarung dengan si Kepala Martil itu.” Bayu mengalihkan perhatian Nayaka supaya tidak bertanya tentang peristiwa di Bukit Tengkorak, yang merupakan pengalaman pahit bagi Laras.“Aku habis berziarah ke makam keluarga, dan ketika akan kembali ke ibukot
Sedangkan Bayu saat ini menyamar sebagai saudagar setengah baya. Ia tidak mau Kirani mengenalinya, bisa-bisa dianggap mencampuri urusan pribadinya lagi. Bayu sudah mengikuti Kirani sejak keluar dari paviliunnya. Untungnya Kirani sebagai penduduk Agartha, tidak mau menggunakan kuda dalam perjalanannya. Bayu merasa lega, karena dengan berkuda Kirani akan lebih mudah curiga ada orang yang mengikutinya. Kirani berjalan ke arah Selatan ibukota. Di pusat kota, Bayu tidak kesulitan mengikuti Kirani, karena tersamarkan oleh keramaian ibukota. Setelah ada di pinggir kota keadaan mulai sepi, Bayu kadang harus menggunakan ilmunya untuk menyamarkan jejaknya. Di sebuah gardu yang memang disediakan sebagai tempat istirahat bagi orang yang sedang dalam perjalanan, Kirani berhenti sebentar melepas penat. Dibukanya bekalnya dan dihitungnya uang yang dibawa. Tidak banyak. Ia harus berhemat supaya cukup sampai di Buntala. Kemudian ia tampak menimbang-nimbang serum obatnya. Dengan membiarkan tubuhnya te