Beranda / Fantasi / Pendekar Cahaya / Agartha, Negeri Di Perut Bumi

Share

Agartha, Negeri Di Perut Bumi

Entah sudah berapa lama, akhirnya Bayu merasakan luncurannya melambat sepertinya terowongan ini melandai, jantungnya berdegup lebih kencang, “Apakah sudah hampir sampai, tembus ke manakah ini?” Tidak lama dia mulai melihat setitik cahaya, semakin lama semakin besar, sepertinya ujung terowongan ini. Akhirnya, “Byuurrrr ... “ sekali lagi dirinya terjun ke dalam air, tidak terlalu tinggi jarak lubang keluar dengan permukaan air sehingga tidak ada rasa sakit ketika dia terjatuh ke air. Ada suara gemuruh dari air yang jatuh ke kolam, yang ternyata adalah sebuah air terjun, jadi lubang keluar terowongan tadi ada di balik air terjun sehingga tidak terlihat dari luar. Bayu berenang menjauhi air terjun sambil melihat sekelilingnya, dia hampir tidak percaya dengan matanya sendiri, dia pernah tinggal di istana dimana taman-taman, kolam dan jalannya ditata sangat rapi dan indah. Tapi di sini dia melihat sebuah tempat yang luar biasa indahnya. Pohon-pohon, kolam dan air terjun ini jelas alami bukan buatan manusia tetapi letak dan bentuknya begitu serasi dan harmonis sekali. Keindahan yang satu melengkapi keindahan yang lain. Pohon-pohon yang ada di sini sangat unik, tidak pernah dilihatnya di manapun seumur hidupnya ini, warna daunnya ada yang merah, kuning, bahkan jingga dan biru. Ada yang beterbangan di atas daun-daun itu, seperti kupu-kupu tetapi bila diperhatikan lebih teliti itu adalah burung yang sangat kecil dengan bulunya yang berwarna cerah sehingga mirip kupu-kupu.

Di tepi kolam Bayu melihat seseorang berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya, sementara tangan yang lain membawa bungkusan.

Orang itu mengulurkan tangan menawarkan bantuan kepadanya untuk naik ke tepi kolam. Sambil masih terbengong-bengong Bayu menerima uluran tangan itu dan berpikir, “Apakah tempat ini yang disebut surga?” Orang itu tersenyum dan berkata kepadanya, “Bukan Bayu, di sini bukan surga, ini adalah Agartha sebuah negeri di perut bumi.”

Bayu terkejut, “Tuan mengenal saya? Dan apakah Tuan tahu apa yang saya pikirkan?”

“Jangan panggil aku Tuan, Bayu, namaku John Monroe, panggil saja aku John.”

“Tapi usia Tuan kan lebih tua dariku, mungkin sama dengan usia ayahku, mana mungkin aku memanggil Tuan dengan nama saja, itu sangat tidak sopan.”

“Ha ha ha ... budaya kita berbeda Bayu, kau harus segera membiasakan diri dengan budaya kami, karena selanjutnya kau akan tinggal di sini.” Kemudian diberikannya bungkusan yang dibawanya, ternyata isinya adalah buah-buahan.

“Makanlah, kau tentu lapar, setelah perjalanan panjang tadi.”

Belum hilang rasa heran Bayu, dia menerima bungkusan dan mengambil buah di dalamnya. Sambil mengisi perutnya yang memang sudah lapar dari tadi, ia mulai memperhatikan orang yang bernama John itu. Tubuhnya tinggi dan kekar, otot-ototnya terlihat sangat sempurna bentuknya, baik otot dada, perut maupun lengannya, John pasti memiliki tenaga yang kuat. Wajahnya bersih dengan garis rahang dan dagu yang tegas, secara keseluruhan cukup tampan, hanya matanya agak aneh, bola matanya berwarna kelabu bukan hitam.

Merasa diperhatikan John kembali memegang tangan Bayu. Saat itu Bayu sedang berpikir, “Apakah di sinilah yang dimaksudkan dalam peta sebagai tanah leluhurku.”

“Betul Bayu, ini adalah tanah leluhurmu,” John berkata.

Bayu kembali terkejut setengah mati, “Jadi benar kau bisa membaca pikiranku.”

“Beberapa dari bangsa kami mendapat anugerah bisa membaca pikiran orang lain yang bersentuhan fisik dengannya.”

“Ikutlah denganku, akan kujelaskan tentang negeri ini dan sejarah leluhurmu.”

Bayu mengikuti John hingga tiba di tanah lapang, di situ ada 2 buah barang yang aneh bentuknya. Bawahnya mirip dengan perisai tentara tetapi di salah satu sisinya ada semacam tongkat sebesar lengan orang dewasa yang ujung atasnya ada semacam roda.

“Kemari, naiklah!” John memberi contoh, naik di perisai dan memegang roda pada batang.

“Nyalakan mesinnya dengan menekan tombol ini, lalu arahkan dengan menggerakkan setir ini.” Mesin itu mendesing pelan dan mulai melayang terangkat dari tanah.

“Kami menyebutnya ‘Plater’,” kata John.

Bayu mencoba mengikuti apa yang dilakukan John, berhasil, tidak sulit ternyata. Mereka melayang beriringan.

Dalam perjalanan John menjelaskan, “Kami sudah lama sekali tidak menggunakan tenaga manusia atau hewan sebagai kendaraan, itu sangat tidak manusiawi.”

Bayu sampai saat ini masih belum yakin dengan apa yang dialaminya. Negeri di perut bumi, burung yang mirip kupu-kupu, orang yang bisa membaca pikiran, dan sekarang mesin yang bisa terbang, digigitnya bibirnya, sakit, berarti dia tidak bermimpi.

Semakin jauh ke depan Bayu melihat ada orang-orang lain yang menggunakan plater ini melayang kemana-mana, tampaknya mereka menuju ke bangunan-bangunan seperti rumah tetapi sangat tinggi dan banyak sekali jendelanya. Demikian juga dengan John, berhenti di depan sebuah bangunan tinggi, mematikan platernya dengan menekan tombol yang sama saat menyalakan dan memberikan pada seseorang yang sepertinya adalah penjaga bangunan itu.

Bayu mencontoh yang dilakukan John, kemudian mengikuti langkahnya ke dalam bangunan tersebut. Udara di dalam bangunan tersebut sangat sejuk seperti di gunung Belah, di langit-langit ruangan banyak lampu yang menyala terang. Bagi Bayu ini adalah hal yang aneh, tapi sepertinya dia mulai terbiasa dengan keanehan-keanehan yang ada di negeri ini. John memasuki sebuah ruangan dengan perabotan lengkap, ada tempat tidur, sofa dan mejanya serta peralatan elektronik yang pasti tidak pernah dilihat oleh Bayu, seperti lemari pendingin, kompor listrik, teko listrik, juga ada kamar mandi dengan pancuran dan pemanas air.

John berkata, “Aktifkan Myra!” Lalu di hadapannya muncul sesosok wanita dengan tubuh yang tembus pandang.

“Hantu ... “ Bayu berucap dengan gemetar.

“Bukan hantu Bayu, ini adalah kecerdasan buatan yang berbentuk hologram seorang wanita namanya Myra.”

“Selamat sore John, ada yang bisa kubantu?” Myra menyapa John.

“Myra, ini Bayu dari permukaan bumi, dia tamuku, dan akan tinggal di sini bersamaku,” John bicara pada Myra.

“Bayu, perkenalkan dirimu pada Myra sehingga dia akan mengenali suaramu dan berikutnya kamu bisa bertanya apapun kepadanya.”

“Perkenalkan Myra, namaku Bayu Narendra, kamu bisa memanggilku Bayu saja.”

“Selamat sore Bayu, ada yang bisa kubantu?” Myra menjawab.

“Suaranya lembut sekali, mengingatkanku pada suara bunda, wajahnya juga cantik dan halus bagaikan dewi, menyenangkan sekali kalau setiap hari ditemani oleh wanita seperti ini walaupun hanya bayangan,” Pikir Bayu.

Demikianlah mulai saat itu Bayu tinggal di Agartha negeri di perut bumi.

Myra adalah kecerdasan buatan yang dirancang oleh John dan rekan-rekannya, bentuk tubuh dan wajah serta suara merujuk pada seorang remaja di Agartha bernama Kirani. Tapi karena usia John sudah 40 tahun maka tampilan Myra disesuaikan dengan John.

Saat ini Myra mendampingi Bayu maka tampilannya juga berubah sebagai remaja seumur dengan Bayu.

Pertanyaan Bayu yang pertama pada Myra adalah, “Myra tolong jelaskan padaku tentang negeri Agartha ini.”

“Baik Bayu, negeri Agartha terletak di perut bumi ribuan km dari permukaan bumi, jarak yang terdekat adalah melalui gunung Belah yang pernah kau lewati. Sampai saat ini hanya itu satu-satunya jalan masuk ke Agartha, tanpa ada jalan keluar.”

“Tidak ada jalan keluar?” Bayu memotong penjelasan Myra.

“Lalu bagaimana cara leluhurku bisa sampai ke permukaan bumi?”

“Leluhurmu adalah ayah John, namanya Martin Monroe.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status