Bencana Pemabuk terjadi hanya satu kali, namun dalam satu kali satu hari itu adalah momen terburuk dalam sepanjang sejarah. Dalam keadaan pikiran kosong, ia membantai hampir ratusan pendekar sekaligus penduduk. Nyawa melayang dengan sangat cepat di tangan Wu Shi seorang. Sosok pria yang merupakan mantan pendekar bahkan jauh lebih menakutkan dan kuat. Dirinya yang hanya mengenggam sebilah pedang, tak gentar maju ke depan hanya untuk menebas musuh-musuhnya yang seharusnya tak perlu ia hiraukan. Para pendekar tingkat menara saat itu datang sangat terlambat, termasuk Ayah Wu Shi sendiri. Kehancurannya sudah terjadi dan semu akan berakhir saat tubuhnya lelah dan terbangun dari tidur nyenyak. "Astaga, aku baru tahu ada orang seperti dia.""Jangan dipikirkan! Cepat habisi saja dia! Dia juga sangat berbahaya!" Beberapa pendekar yang sempat berkumpul itu, memutuskan untuk melawan Wu Shi di tengah-tengah bagian wilayah. Senyum lebar terpoles jelas di wajah Wu Shi, sesaat membuat mereka semu
Cahaya bulan menyorot ke arah halaman depan Hutan Bambu, menjadikan itu sebagai panggung bagi seorang pembantai yang bersenang-senang dalam dukanya sendiri. Hari itu Wu Shi berbeda jauh dari orang yang biasa mereka kenali. Sosoknya berubah drastis terutama saat mengayunkan pedang tersebut. Banyak kepala anggota bawahan Tulang Naga yang melayang dalam sekejap mata saat ia mengayunankan pedangnya yang tajam. Banjir darah yang terciprat dari para musuh jatuh bak air hujan datang dari langit. Senyum menghiasi wajah dengan mata yang memutih tanda tidak sadarnya Wu Shi saat ini. Sesaat memori di masa depan terlintas, dan kemudian kesadarannya pun pulih kembali namun sayang akibat memaksakan diri saat jadi tidak waras, ia lantas tumbang di tempat. Hao Jin yang hendak mengambil kesempatan emas, telah digagalkan oleh sanak saudaranya, Hao Yun. "AYAH! KITA BERTEMU LAGI, YA!" seru Hao Yun, suaranya menggema ke dalam dan luar secara bersamaan.Puluhan jarum melesat cepat, diarahkan langsung pa
Tetua Mo meletakkan sebuah token penjaga di sebatang pohon yang digunakan sebagai meja. Wu Shi dan Hai Yun yang berada di antara token itu sekarang pun lantas tersentak kaget dan kemudian melirik Tetua Mo dengan banyak pertanyaan di benak mereka."Aku Penjaga Luar Wilayah Kultus. Kau tahu apa akibatnya jika tidak berguna bagi kultus bukan?" sindir sekaligus ancam Tetua Mo pada mereka."Tidak aku sangka, ternyata dia adalah penjaga," kata Hao Yun."Kau baru sadar?" sahut Wu Shi. "Iya," jawabnya. "Memangnya kenapa? Kau sendiri sudah menyadarinya ya ternyata?" pikir Hao Yun."Tidak juga."Tetua Mo terdiam sejenak dengan dahi berkerut. Dari awal Tetua Mo memang sudah tahu, dan sekarang wajahnya semakin berkeriput karena dua pemuda itu."Sepertinya kalian berdua memang tidak becus. Untuk apa dan kenapa bisa kalian sampai ke sini tanpa mengetahui akan adanya ujian lagi, hah?" sahut Tetua Mo yang merasa dirinya diabaikan."Tetua, eh, maksudku penjaga. Kami sendiri sedang bersusah payah hany
Kaisar Wang menyuruh dua orang itu bersaksi atas kejadian yang menimpa salah satu warga di distrik utama. Pernyataan saksi pertama, Tetua Mo, mengungkapkan ia melihat sesosok bayangan melintas. Tetua Mo berpikir bahwa itu adalah ulah Tulang Naga, sama halnya yang sudah menimpa sekte Li. Lalu pernyataan saksi kedua, salah satu warga yang merupakan tetangga dari korban pembunuhan itu. Ia berada dekat dengan mereka dan melihat semua kejadiannya. Hingga sesisok bayangan itu melintas, sama seperti yang disaksikan oleh Tetua Mo. Namun yang berbeda hanyalah, penduduk itu mengaku ia mendengar seorang rekannya memanggilnya dengan nama Wu Shi.Tidak hanya itu, selain nama Wu Shi, ia mengaku telah mendengar suara bergemerincing. Jika didengar sekilas, itu seperti suara lonceng yang berayun. Ketika nama Wu Shi disebut, Tetua Mo sangat terkejut. Namun ia juga sebagai saksi, kalau Wu Shi yang mungkin dimaksudkan itu tidak berada di luar dan sedang berada di kediaman Li Bai dalam sektenya. Di mal
Dikalahkan secara telak oleh Tetua Mo yang berusia 100 tahun, Wu Shi dan Hao Yun tidak sadarkan diri dalam beberapa waktu hingga akhirnya Tetua Mo dan Li Bai mendapatkan kesempatan untuk memindahkan mereka ke suatu tempat. Disebut, Gua Abadi. Persis seperti namanya, gua ini abadi yang berarti hidup seolah gua ini adalah mahluk hidup. Begitu terbangun, sekeliling hanya terdapat dinding. Bahkan tak terlihat adanya jalan keluar di sana. "Kita terjebak di tempat yang kita tidak ketahui. Apa ini masuk akal?" Hao Yun mengeluh. "Bukankah sepanjang hari kita berjumpa dengan hal tidak masuk akal? Itu sudah menjadi keseharian kita. Ah, sudahlah. Lupakan saja, Hao Yun," ucap Wu Shi yang sudah lelah. Kerasnya dinding gua dan jalan lurus tanpa sedikitpun berlubang membuat tempat ini terasa menakutkan. Terkadang mereka merasa merinding saat melangkahkan kaki tanpa tujuan. Sesekali angin berhembus dingin dari atas, meski tidak terlihat ada celah kecil yang dapat membuat angin itu masuk ke dalam
Permukaan dalam gua, jalan di sini seharusnya bukan pasir melainkan bebatuan kasar dan besar akan tetapi Wu Shi sungguh tidak beruntung karena tanpa sengaja menginjak permukaan pasir lembut di bawah kakinya barusan, dan begitulah yang terjadi. "Yang benar saja, dia jatuh ke bawah. Mana mungkin aku bisa meninggalkan orang seperti itu sendirian," gerutu Hao Yun cemas. Mau tak mau Hao Yun sengaja menjatuhkan diri ke bawah agar tidak berpisah jalan dengan orang dungu itu. Gua Abadi, gua yang benar-benar hidup selayaknya mahluk hidup. Bagaikan bagian dalam perut seekor ular besar, keduanya terdapat di lantai bawah tanah dengan dinding gua yang sama persis. Hanya saja bentuknya tidak selaras, permukaan tanah bebatuan pun berkelok-kelok. Susah bagi mereka berdua untuk berjalan di jalan seperti itu."Wu Shi, kita berdua jadi benar-benar tersesat. Aku jadi bingung, harus ke mana lagi kita?" tanya Hao Yun merasa lelah. "Seandainya ada jalan keluar," gumam Wu Shi, berusah payah berjalan di p
Gua Abadi ini jelas tidak memiliki jalan keluar sejak tadi, lantaran mereka berdua telah menelusuri sepanjang jalan namun tak kunjung menemukan apa-apa selain dinding gua itu sendiri. Bila keadaan ini terus berlanjut maka mereka akan semakin lelah secara fisik dan mental. Wu Shi sempat berpikir bahwa ini adalah ujian dari Tetua Mo namun Hao Yun justru berpikir ini adalah rencana dari kakek tua tuk membunuh mereka berdua. Meski begitu keduanya tetap memaksa berjalan lurus, seakan tak rela jika menyerah dengan cepat. "Ini menyebalkan.""Kau benar. Aku setuju."Wajah mereka terlihat sangat lesu, letih yang dirasakan terus bertumpuk dan menjadikan beban di hati mereka yang tidak biasa tersiksa seperti ini. Manusia mana pun sudah pasti membutuhkan makan dan minum, tapi di gua abadi, dirasa tidak ada itu sama sekali. "Hao Yun, ini tentang racun. Bisakah aku bertanya beberapa hal lagi?" tanya Wu Shi sembari berjalan miring dan berpegangan pada bebatuan yang mencuat di dinding gua."Ya, si
Cuaca di luar sedang panas-panasnya, dan entah karena apa gua dalam bawah tanah juga ikut merasakan panasnya. Mungkin saja karena ini adalah gua dengan dinding bebatuan, menghantarkan panas dari pasir, permukaan tanah ataupun bebatuan pun bisa saja. Keringat mengalir dengan deras, langkah kaki yang terus menapak permukaan yang panas terasa begitu berat. Letih luar biasa tak sanggup mereka menahan namun mereka tidak punya pilihan lain selain bergegas menemukan jalan.Sampai akhirnya mereka menemukan jalan bercabang di depan mata. Sesaat mereka berdua berhenti di antara dua jalan itu sembari berpikir manakah jalan yang harus mereka tempuh. "Jalan ini persis seperti jalan pintas dari hutan menuju ke distrik pusat," kata Wu Shi. Hao Yun tersentak kaget, sebab dirinya teringat akan sekujur tubuh Wu Shi yang berlumur darah di perbatasan jalan di sana pada saat itu. "Ada apa Hao Yun?" Menyadari ada yang aneh dengan ekspresi Hao Yun, lelaki penasaran itu bertanya. "Tidak. Aku hanya terin