Melissa tersipu malu. Raut wajahnya menjadi merah padam. Tetapi hatinya terasa bahagia. ‘Wah, asik. Aku gak perlu capek-capek godain dia, tapi dia udah terpesona denganku. Huh! Emang susah jadi cewek cantik kayak aku. Lelaki modelan Pak Bryan aja langsung kesemsem.’
“Bagaimana, Melissa? Boleh kan aku mencium tangan mulusmu ini?” tanya Bryan yang masih menunggu jawaban dari sekretarisnya.
Melissa mengangguk pelan kemudian melemparkan senyuman manisnya. “Boleh, Pak. Dengan senang hati.”
Bryan pun mengecup tangan Melissa dengan lembut dan berkata, “Apa kamu sibuk malam ini?”
“Tidak, Pak Bryan. Saya tidak sibuk sama sekali,” sahut Melissa.
“Good. Setelah jam kerja berakhir, tunggu aku di area parkir. Biar aku yang mengantarkanmu pulang. Ok?”
“Baik, Pak Bryan,” jawab Melissa disertai anggukan.
“Sekarang kembalilah bekerja.”
&ldqu
“Aduuhh. Maaf aku gak sengaja nyenggol punya kamu. Sakit banget ya, Mel?” Setelah meminta maaf, Bryan justru semakin nakal. Lelaki itu meletakkan tangannya pada payudara Melissa. “Sini aku usap-usap biar gak sakit lagi ya, Mel.”“Hngghh… aahh.. makasih Pak Bryan. Tapi masih sakit, Pak,” ujar Melissa sembari mendesah agar libido Bryan semakin naik.Melissa memegang tangan Bryan dan menuntunnya untuk meremas lebih kuat gunung kembarnya itu. Bryan hanya menurut karena jelas itu adalah hobinya.Melissa bisa mendengar napas bos mudanya itu yang semakin berat. Dia pun mengerahkan satu tangannya mengelus-elus barang pusaka di balik celana kain Bryan.“Punya Bapak sepertinya besar,” ucap Melissa yang kini menggigit bibir bawahnya, membangkitkan gairah sensual Bryan.“Apa kamu mau melihatnya lebih jelas?” tanya Bryan yang kini bersuara serak.Melissa menganggukkan kepalanya pelan. &ld
“T-tidak kok, Pa. Semuanya baik-baik saja.”“Bryan. Ingat pesan Papa! Kamu jangan buat ulah di kantor! Kalau sampai Papa dengar berita buruk soal kamu, Papa tidak segan-segan menghapus nama kamu dari calon pewaris perusahaan. Dan juga Papa akan mengusir kamu dari rumah kalau kesalahan yang kamu perbuat itu fatal. Paham kamu, Bryan?!”Bryan meneguk ludah susah payah. Paniknya semakin bertambah. Kondisi ruangan yang tadinya dingin tetiba menjadi panas saat Papanya melontarkan kalimat yang terdengar mengancam.Tidak mendapat sahutan dari Bryan, Fredrinn pun semakin meninggikan suaranya. “Bryan, kamu dengar Papa, kan?!! Awas kamu, ya!”“I-iya, Pa. A-aku gak macem-macem kok. Papa bisa pegang janjiku.”“Oke. Bagus! Kalau begitu, Papa tutup telponnya.”Bryan menghela napas berat setelah panggilan itu berakhir. Bryan menolehkan kepalanya dan memandangi Melissa yang sudah siap untuk diterkam
Sontak kalimat Laras sukses membuat Bryan murka. “Lancang ya kamu menanyakan hal itu ke majikan sendiri!! Kamu mau aku pecat, huh?”“T-tidak, Tuan Muda. M-maaf. S-Saya pergi dulu ya, Tuan. Permisi,” ucap Laras tergagap kemudian beranjak pergi setelah mengambil uang di tangan Bryan itu.Bryan pun melanjutkan makan malamnya hingga selesai.*Pukul 01.00, tengah malam…Seperti malam-malam sebelumnya, Bryan selalu pulang dalam keadaan mabuk. Pria bajingan itu berjalan sempoyongan menuju kamar Nina.Klek!Pintu kamar dibuka oleh Bryan. Dengan mata sayunya, Bryan masih bisa menangkap sosok Nina yang sudah tertidur lelap di kasurnya. Samar-samar aroma alkohol tercium menguar di ruangan kecil itu. Bryan mendekati Nina dan meraba-raba tubuh gadis itu.Bryan mengecup bibir Nina berkali-kali untuk membangunkannya. “Nina sayang, ayo bangun. Aku kepengen.”“Nina cantik, ayo ba
“Apa kau lupa tentang kesepakatan kita di awal?! Ingat Nina, aku sudah membayarmu! Kau tidak boleh berhenti begitu saja!” Bryan menekankan kalimatnya dan bicara dengan nada tinggi karena Nina terus saja memberontak.“Apa Tuan juga sudah lupa, bahwa Tuan-lah yang memulai!! Tuan yang memperkosaku waktu itu. Aku rasa uang yang Tuan berikan bahkan masih kurang untuk membayar kesucianku yang telah Tuan Bryan rampas!!” Nina tidak mau kalah. Nina juga membalas Bryan dengan berbicara menggunakan nada tinggi dan mendorong tubuh majikannya agar menjauh darinya.“Sudah sana! Tuan Muda pergi saja! Saya mau tidur, Tuan!” usir gadis itu, berlagak berani.“NINA!! KAU—”Bryan mengangkat tangannya seolah-olah akan menampar Nina.“Kenapa, Tuan? Tuan Bryan mau menampar saya? Tampar saja, Tuan! Tampar!” tantang Nina tak kenal takut.Bryan kembali menurunkan tangannya seraya menghela napas berat.
“Bantuin ngelap keringatku, Sherla. Rasanya gerah banget di sini,” ujar Bryan yang berjalan mengunci pintu ruangannya.Gadis itu berpikir keras. Ia melihat pendingin ruangan yang menyala dengan suhu rendah, membuat ruangan ini sangat dingin. Tetapi kenapa bosnya itu justru merasa gerah?Bryan berjalan perlahan mendekati gadis itu seraya melepas jaz hitamnya dan membuka satu per satu kancing kemejanya, memperlihatkan tubuh atletisnya secara jelas kepada Sherla.“Kemari, Sherla. Mendekatlah padaku.” Bryan memegang tangan gadis itu dan membawanya ke sofa empuk nan luas di depan meja kerjanya.Setelah keduanya duduk, Bryan langsung menempelkan bibirnya pada bibir Sherla dan melumatnya dengan ganas.“Aahh… Pak Bryan… jangan lakukan di sini, Pak. Nanti ketahuan pegawai yang lain,” ujar Sherla cemas sambil mendesah kecil.“Tenang saja, Sherla. Gak bakal ada yang tau kok. Pintunya kan sudah aku
“Ehhem…” Melissa sengaja berdeham untuk menyadarkan Bryan bahwa dirinya masih menunggunya di sana. “Pak Bryan? Silakan ditandatangani berkas-berkasnya, Pak!”Bryan menoleh sejenak ke Melissa dan kembali fokus melihat layar hp nya. Pria itu terlihat tidak mood menanggapi siapa pun, meskipun orang itu adalah Melissa.“Bapak? Pak Bryan?” panggil Melissa lagi. Lama-lama kesal juga dia karena dicuekin Bryan.“Nanti aku panggil lagi kalau sudah selesai ya, Mel. Silakan keluar," sahut Bryan malas.Bibir Melissa mengerucut mendapati perlakuan dingin dari bosnya. ‘Enak saja kamu menyuruhku keluar. Setelah kamu melihat tubuh polosku kemarin dan membatalkan permainan kita. Kamu kira aku akan menyerah begitu saja, huh? Tidak akan, Bryan! Tidak akan! Kamu tidak boleh cuek kepadaku. Lihat saja aku akan membuatmu tergila-gila dan mengemis cinta padaku!’ serunya dalam batin.Bryan kembali menata
“Nina?”“Iya, Mbak Sarah?”“Karena pagi tadi kamu gak ngerjain apa-apa, sekarang giliran kamu yang ngangkat jemuran sama ngelipat ya! Gak banyak kok, cuman pakaian Tuan Muda aja.”Nina mengangguk dengan senang hati. “Oh, baik, Mbak Sarah.”“Eh, jangan lupa juga. Kalau baju kerjanya Tuan kamu setrika aja terus digantung dalam lemari. Jangan dilipat. Ok?” kata Sarah lagi.“Siap, Mbak Sarah.”Tetiba Laras muncul entah dari mana dan mengompori Sarah.“Kok tugasnya dikit banget sih, Mbak? Enak banget dong dia! Udah bangunnya telat, gak ngerjain apa-apa seharian, ehhh malah dikasih tugas yang gampang doang. Kalau cuman ngelipat baju doang mah, saya juga mau, Mbak Sarah!” ucap Laras sambil menatap sinis ke arah Nina.“Semua pekerjaan rumah kan sudah pada beres, Laras. Jadi saya harus kasih kerjaan apa lagi ke Nina? Sisa itu doang yang ada.”
Nina menghela napas pasrah. Ia kembali menyetrika dengan tangan sang majikan yang masih melingkar di perutnya.Bryan menggerakkan tangannya secara bebas, meraba-raba tiap inci tubuh indah sang gadis. Bryan menenggelamkan wajahnya di leher Nina dan menikmatinya dengan mata yang terpejam saking bergeloranya.Nina semakin tak bisa bebas mengerjakan tugasnya. Geraknya semakin terbatas karena ulah Bryan. Nina yang risih itu pun melakukan pekerjaannya dengan terburu-buru agar semuanya cepat berakhir. Dan tanpa sengaja, setrikaan yang sangat panas itu menyentuh kulit Nina.“Aww!” ringis Nina yang langsung menarik tangannya menjauh dari sana. Setrika panas yang ia pegang itu pun diletakkan tidak pada tempatnya.Sontak pekikan Nina membuat Bryan kembali membuka mata dan melihat apa yang terjadi.“Nina, kamu kenapa?” tanya Bryan khawatir. Pria itu segera melepaskan pelukannya dan mendapati tangan Nina yang sudah terkena luka bakar. Ti
Bryan terkekeh mendengarnya. “Bahaya kamu, Nin. Sudah mulai nakal ya.”Bryan pun mengarahkan tongkat pusakanya ke mulut Nina. Sementara Nina mendadak panik saat Bryan bersungguh-sungguh melakukan itu. “S-saya tadi cuman bercanda, Tuan,” katanya. Tetapi Bryan tidak berhenti. Sontak Nina langsung menutup mulutnya dengan cepat.“Ayo dong, sayang. Buka mulutnya. Katanya tadi kepengen ngemut permen lolipop.”Nina menggeleng-geleng. Ia masih menutup mulutnya dengan rapat.Bryan tidak tinggal diam. Lelaki itu menggesek-gesek bibir Nina dengan alat tempurnya. “Come on, Baby. Buka pintunya. Adik aku mau masuk nih. Apa kamu gak kasihan lihat dia kedinginan di luar, hm?”Nina terus menggeleng. Gadis itu lalu memalingkan wajahnya, menjauhi adik kecil Bryan.Bryan akhirnya pasrah. Ia kini memakai kembali boxernya itu, menutupi sang junior yang sudah sangat kedinginan terkena hawa dari AC di kamarny
"Sengaja. Biar pijatanmu langsung terasa di badanku. Kalau pake baju kurang terasa, soalnya kehalang sama kain,” jawab Bryan dengan wajah datarnya.Nina mengangguk paham. Rasa waspadanya pun hilang saat mendengar jawaban itu. Terlebih lagi, ekspresi wajah Bryan tampak datar, tidak mencurigakan.“Oh iya, Tuan. Benar juga.”Nina pun mulai mengerjakan tugasnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil memijati Bryan yang sedang berbaring santai di sana. Nina dengan telatennya memijat lengan kiri Bryan lalu berpindah ke lengan kanan.“Coba pijat di bagian dadaku, Nin. Soalnya yang pegal di bagian itu,” imbuh Bryan modus.“Di sini ya, Tuan?” tanya Nina sembari meletakkan kedua tangannya pada dada atletis majikannya.“Iya, di situ. Pijat yang lembut ya. Jangan kuat-kuat, ntar malah tambah nyeri.”Nina hanya mengangguk kecil dan mulai memijat pada area dada Bryan. Diurutnya area itu, diteka
Bryan memicingkan mata. Seolah tak percaya dengan omongan Nina. “Masa sih? Kok bisa bibirku berdarah? Kok kayak gak ada apa-apa,” ucapnya sambil mengusap-usap bibirnya sendiri.Melihat wajah Nina yang sudah memerah karena malu, membuat Bryan tertawa kecil.Nina lalu mengangkat wajahnya, menatap Bryan yang kini sudah bisa bersuara bahkan tertawa bahagia. “Ih, kok Tuan Bryan malah ketawa sih?”“Soalnya kamu lucu.”“Lucu? Tapi saya gak lagi ngelawak, Tuan.”Tiba-tiba Bryan hendak bangkit dari posisi tidurnya. Ia berusaha untuk duduk, meskipun kepalanya masih terasa berat.“Tuan Bryan jangan banyak gerak dulu,” tegur Nina panik.Nina pun berinisiatif membantu Bryan dengan memegangi kedua lengannya. “Hati-hati, Tuan.”Bryan menghela napas panjang kemudian menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya. Ia lalu memijat keningnya yang terasa pusing, seakan a
Bryan segera memejamkan matanya kembali saat Nina sudah semakin dekat dengannya. Bryan berpura-pura, seolah dirinya masih belum sadar. Ia ingin mendengar kalimat-kalimat yang akan Nina katakan selanjutnya.Nina pun kembali duduk di samping ranjang Bryan. Kini Nina sudah tidak menangis lagi. Dirinya telah pasrah dengan keadaan. Ia hanya berharap agar Bryan segera sadarkan diri.‘Ayo dong, Nina. Bicara lagi. Aku mau mendengar suaramu,’ batin Bryan.‘Aku harus ngapain ya, biar Tuan Bryan cepat sadar. Apa aku nyanyi saja? Siapa tau dengan begitu dia segera terbangun,’ pikir Nina dalam hati.Sejenak Nina mengambil napas. Dan ia pun kembali berbicara.Tiba-tiba saja, Bryan mendengar Nina sedang menyanyikan lagu untuknya.Ada berondong muda~Tebar-tebar pesona~Sukanya daun muda~Dia lupa dosanya~Berondong-berondong muda~Jelalatan cari mang
“Hush. Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Nduk! Lagian suster tadi kan sudah mengatakan kondisi Tuan Muda sudah stabil. Mungkin sepuluh menit lagi sudah sadar. Kita berpikir positif saja ya, Nduk.”Nina mengangguk kecil.Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari perut Bi Lastri. Wanita tua itu pun bangkit dari sofanya. “Nina, Bibi keluar dulu ya.”“Bibi mau ke mana?”“Bibi mau cari makan dulu buat kita, Nduk. Kita belum makan siang loh dari tadi. Bibi sudah lapar banget. Kamu mau dibelikan makanan apa, Nduk?”“Terserah saja, Bi.”“Ya sudah kalau gitu. Bibi tinggal sebentar ya. Kamu jangan ke mana-mana. Tunggu Bibi sampai kembali. Ok?”“Oke, Bi,” jawab Nina disertai sebuah anggukan kecil.Sekarang tinggal Nina dan Bryan berdua di dalam ruang rawat VVIP yang lumayan besar itu. Fasilitas di ruangan itu pun terbilang lengkap. Desain dan tata ruangn
“A-apa? Serius kamu, Sarah? Kamu gak lagi ngeprank Bibi, kan?”“Ya serius dong, Bi!”Bi Lastri kalang kabut, membereskan semuanya lalu mencuci tangan. Begitu pun dengan Nina.“Ayo kita ke rumah sakit sekarang!” kata Bi Lastri.“Terus siapa yang jaga rumah, Bi?” tanya Sarah. Ia lalu melirik ke Nina. “Kamu aja ya, yang jaga rumah.”Nina menggeleng dengan cepat. “Saya juga mau ikut ke rumah sakit, Mbak. Saya gak mau jaga rumah.”“Kamu saja yang jaga rumah, Sarah!” suruh Bi Lastri. Tidak memberi celah kepada Sarah untuk menolak.Sarah pun mengangguk pelan. Kemudian Bi Lastri dan Nina bergegas bersiap-siap, berganti pakaian lalu berangkat ke rumah sakit tujuan menggunakan taksi.Sepanjang perjalanan, tubuh Nina terasa lemas tak bertenaga ketika mendengar kabar bahwa Bryan jatuh pingsan dan kini dilarikan ke rumah sakit. Perasaan bersalah menyelimuti
“Iya, Pa. Maaf,” sahut lirih Bryan dengan lemas.“Buat apa kamu lemesin suara, hah? Sengaja? Mau berpura-pura sakit di depan Papa?” Tuduhan yang dilontarkan oleh Fredrinn berhasil menorehkan rasa perih di hati Bryan.“Aku beneran lagi gak enak badan, Pa,” jawabnya memelas.“Jadi anak laki-laki itu jangan lemah, Bryan! Kamu cuman sakit sedikit saja sikapnya sudah kayak sakaratul maut saja! Cepat ke kantor! Jangan sampai investor kita tidak sudi menjalin kerja sama lagi dengan perusahaan. Kamu mau lihat perusahaan Papa bangkrut? Kalau nanti Papa bangkrut, dari mana uang buat membayar pengobatan Mama?!”Bryan menarik napas panjang kemudian berkata pasrah. “Baiklah, Pa. Aku akan ke kantor sekarang juga.”Sebenarnya Bryan merasa tidak sanggup, bahkan untuk bergerak sedikit saja kepalanya sudah terasa pusing. Tetapi jika semua ini berkaitan dengan sang ibunda, Bryan pun memilih untuk menuruti ke
Keesokan harinya…Jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun belum ada tanda-tanda Bryan sudah terbangun atau belum. Sedari pulang kantor kemarin, Bryan langsung masuk ke dalam kamarnya dan melewatkan makan malamnya.Bi Lastri yang biasanya selalu memberikan sarapan kepada majikannya itu seketika cemas, karena sudah pukul segini Bryan belum juga turun ke bawah untuk sarapan.Tringg…. Tring… Tringg…Telepon rumah berbunyi. Bi Lastri sigap menjawab panggilan suara tersebut.“Halo. Dengan kediaman keluarga Lawrence. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Bi Lastri ramah.“Ini saya, Bi,” sahut si penelpon. Suaranya terdengar familiar.“Oh, Tuan Besar. Ada apa, Tuan?” tanya Bi Lastri.“Apa Bryan ada di rumah, Bi? Kenapa jam segini dia belum berangkat ke kantor? Saya sudah telepon nomernya berkali-kali, tapi gak diangkat. Apa dia masih tidur, Bi?”“I-iya, Tuan Besar. Sepertinya Tuan Muda masih tidur. Soalnya pintu kamarn
Bryan mencari Bi Lastri dengan membawa boneka jumbo itu dalam dekapannya.“Bi Lastri, seperti biasa ya,” ucapnya kala bertemu dengan wanita tua itu.Bi Lastri yang sudah paham pun langsung menganggukkan kepalanya pelan dan mengambil boneka itu dari Bryan.Setelahnya, Bryan memutuskan untuk beristirahat lebih awal di kamarnya.*Di sisi lain, Nina saat ini sedang asik membaca buku di dalam kamarnya. Sejenak ia lirikkan matanya ke arah kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Empat hari lagi genap sebulan dirinya bekerja di rumah mewah ini.‘Tidak terasa, empat lagi aku akan resign dari kerjaan ini,’ batin Nina.Dari awal, setelah mendapati Bryan bermain dengan seorang gadis di kantor waktu itu, membuat Nina berpikir untuk berhenti bekerja. Apalagi setelah kejadian dirinya yang ditampar oleh Bryan, membuat Nina semakin yakin dengan keputusannya untuk resign.Nina tidak bisa berlam