"Flora.." Panggil seseorang yang membuat wanita itu menoleh. Seorang pria setengah berlari menghampirinya dengan cepat.
"Hai.." Sapanya dengan senyum kecil, membuat Flora mengernyit m sejak kapan Arifin bersikap seramah ini padanya? Rasanya sangat aneh bagi Flora yang selama ini tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari Arifin."Kamu baru datang?""Hmm.." Flora hanya menjawab dengan deheman. Dia tidak terlalu niat untuk menanggapi ocehan Arifin, dia rasanya sangat malas karena sudah terlalu sering di kecewakan, mungkin.Wanita itu berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Arifin yang berjalan di belakangnya."Flo..""Ada apa lagi. Mas?""Bisakah kita bicara sebentar, berdua saja?""Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Mas. Kita sudah selesai sekarang.""Flo. Mas pikir kita perlu bicara tentang perpisahan kita. Mas tidak bisa berpisah darimu.""Kenapa? Apa karena aku sudah cantik sekarang? Tid"Flo.." Panggil Arifin membuat wanita itu menoleh."Ada apa? Kita sudah bicara di luar, bagiku itu sudah cukup. Bagiku, meskipun kau berlutut atau mencium kakiku sekalipun, aku takkan luluh." Ucap wanita itu dengan tegas, membuat Abian mengulum senyumnya. Harusnya dia tertawa terbahak-bahak saat ini, tapi ketika menyadari kalau situasinya tidak tepat, jadinya dia akan memilih menahan tawanya."Baiklah. Ibu tidak bisa memaksa kamu." Ucap Ranti yang membuat kedua mata Arifin membulat."Bu, ayo dong bujukin lagi.""Kalau dia sudah tidak mau denganmu ya sudah, jangan di paksakan. Percuma, kamu bahagia tapi Flora tidak akan pernah bahagia hidup dengan pria egois seperti mu. Arifin." Ranti membuka kedua matanya, sejak tadi dia bicara tanpa membuka kedua matanya."Bu.." rengek Arifin sambil mendekat ke arah ibunya."Sudah, Arifin. Jangan terus menerus membuat Flora tersiksa, sudah jelas dia tidak bahagia dengan pernikahan ini. Lepaskan
"Mas, kita masih di rumah sakit." Bisik Flora membuat lamunan Abian buyar. Tidak seharusnya dia melakukan ini disaat keduanya masih di tempat umum. Bagaimana jika ada yang melihatnya? Lalu membuat semuanya semakin runyam karena status Flora yang belum resmi berpisah dengan Arifin."Aaahh, maaf.." ucap Abian lalu keduanya kembali berjalan dengan langkah santai hingga ke parkiran.Keduanya duduk dengan nyaman di dalam mobil. Abian mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang."Mau mampir makan dulu gak?""Pengen makan seblak deh, kayaknya enak, Mas.""Boleh, tapi jangan pedes-pedes. Gimana?" Tanya Abian. Dia tahu benar kalau Flora itu akan memesan menu makanan pedas hingga level tertinggi."Level tiga deh. gimana?""Dua, sayang.""Gak mau, tiga ya?" Bujuk wanita itu membuat Abian mendelik."Level dua atau enggak sama sekali hmm?""Ckk, yaudah iya!" Jawab Flora dengan kesal, dia mengerucutkan
Flora pun berbalik dan berniat untuk pulang, tapi dia terkejut ketika mendengar bunyi klakson beberapa kali. Wanita itu mengernyitkan keningnya sambil melihat-lihat siapa kiranya yang ada di dalam mobil itu."Siapa sih? Orang iseng kali ya.." Lirih Flora, dia tidak menghiraukannya dan memilih untuk berjalan mencari bus atau taksi.Tapi, lagi-lagi mobil itu membunyikan klakson bahkan mengikuti langkahnya. Flora takut kalau itu adalah orang jahat, dia bersiap-siap untuk lari kalau saja jendela mobil itu tidak terbuka dan menampilkan sosok pria yang saat ini tengah mengisi hatinya."Sayang.." panggilnya sambil tersenyum, dia melambaikan tangannya, membuat Flora menghela nafasnya. Wanita itu juga mengusap dadanya dengan lega, dia kira kalau itu adalah orang jahat. Sungguh, dia tidak menyangka kalau itu adalah Abian karena mobilnya berbeda dengan yang biasanya pria itu pakai."Masuk, sayang. Malah bengong.." Ucap Abian yang membuat lamunannya buyar sek
Pria dan wanita itu berjalan menyusuri pantai dengan kaki telanjang. Abian berjalan dengan langkah tegapnya. Flora menggandeng erat tangan Abian. sebelah tangannya menenteng sendal miliknya. Abian juga tidak keberatan sama sekali dengan wanitanya yang terlihat manja padanya.Justru, ini adalah hal yang dia sukai dari Flora. Dia bisa menjadi dirinya sendiri saat bersamanya, dia cantik dengan sifat alami yang tidak di buat-buat. Dia tidak berpura-pura apapun untuk bisa menarik perhatiannya, Flora diam pun Abian tetap tertarik padanya."Suka, sayang?""Banget, Mas. Cuma kalau ke pantai gini panas ya. Mas?" Tanya Flora yang membuat Abian terkekeh."Namanya juga pantai, sayang. Mau beli topi gak?""Hah, dimana?" Tanya wanita itu dengan wajah polosnya, membuat Abian gemas sendiri. Dia menangkup wajah Flora lalu mengecup mesra bibirnya."Mas, ini di tempat umum lho.""Cuma cium doang, gak sampai main tindih-tindihan." Jawab pri
Abian refleks melepaskan gandengan tangan wanitanya dan berlari dengan panik untuk menyelamatkan saudarinya. Sebenci apapun dirinya pada Winda, tetap saja dia mengkhawatirkan wanita itu karena dia adalah saudarinya, darah yang mengalir di tubuh mereka sama. Darah lebih kental dari pada air, meskipun begitu mereka tetap saudara dan tidak bisa di pisahkan meskipun dengan cara membasuhnya dengan air dari tujuh samudra."Mbak Winda!" Teriak Abian. Di belakangnya ada Flora yang juga melihat saat tubuh gempal wanita itu di gulung ombak besar hingga menghilang."Mbak.." Pria itu berlari berniat menyelamatkan saudarinya itu, tapi penjaga pantai melarangnya karena ombaknya sangat besar dan juga arus airnya yang sangat kuat, membuatnya terlalu beresiko jika ingin menyelamatkannya kesana."Mas, tolong jangan gegabah. Biar petugas penyelamat yang mencarinya, silahkan tunggu disana. Kami akan bekerja dengan baik untuk memastikan korban di temukan." Ucapnya, lalu Abian
"Ada apa ini. Abi?" Tanya Ranti, dia baru saja datang bersama Santi. Keduanya langsung mendekat ketika melihat Abian yang tengah duduk di kursi tunggu dengan menutup wajahnya dengan kedua tangan."Iya, ada apa dengan Winda? Dia kecelakaan atau apa?" Kali ini. Santi yang bertanya demikian. Wajah kedua wanita berstatus ibu dan anak itu terlihat menunjukan ekspresi yang sama, panik dan khawatir.Abian mendongakan wajahnya lalu menatap wajah ibu dan saudarinya lekat, lalu menghela nafas dengan pelan seolah berat. Nafasnya terasa berat saat ingin mengatakan hal yang benar-benar membuatnya terpukul. Dia mengumpulkan keberaniannya, tapi dia bingung. Harus dari mana dia memulai?"Mbak Winda meninggal, Bu. Mbak." Lirih Abian. Akhirnya, kalimat menyakitkan itu meluncur begitu saja dari mulut Abian. Ranti dan Santi bungkam, wajah mereka terlihat memucat seketika. Sungguh, mereka tidak menyangka kalau ternyata ucapan inilah yang keluar dari mulut Abian."Jang
"Maaf, anda keluarganya juga?""Iya." Jawab Abian dengan wajah datarnya. Dia menatap tak suka ketika melihat Flora yang berdekatan dengan perawat pria itu. Disaat seperti ini, sempat-sempatnya Abian cemburu pada perawat yang membawa tubuh saudarinya yang terkulai lemas tak sadarkan diri."Bagaimana dengan pengurusan jenazah, apa akan di lanjutkan?""Lanjutkan saja, kalau bisa selesai besok pagi." Pinta Abian lalu di angguki perawat itu. Dia pun pergi meninggalkan ruangan itu karena pekerjaannya masih banyak sekali. Perawat itu memang yang paling sibuk jika ada pasien yang meninggal seperti ini."Kemari.." Pinta Abian dan Flora langsung duduk di samping pria tampan itu. Flora paham kalau suasana hati Abian memang sedang tidak baik-baik saja, bahkan jauh dari kata baik. Memangnya, siapa yang bisa baik-baik saja ketika mendapatkan berita duka?Flora menggenggam tangan Abian lalu mengusapnya dengan lembut, pria itu menatapnya dengan intens la
Arifin terdiam di depan sebuah pusara yang sialnya, disana terdapat ukiran nama saudarinya. Winda. Rasanya benar-benar tidak bisa di percaya kalau saudarinya telah pergi meninggalkannya, rasanya benar-benar menyakitkan sekali."Mbak, kenapa pergi secepat ini, mbak? Aku bahkan belum sempat memberimu kebahagiaan." Ucap Arifin. Air matanya meluruh begitu saja, rasanya benar-benar menyakitkan hingga dadanya terasa sesak. Bahkan untuk sekedar bernafas saja, rasanya sakit."Mbak, maaf karena aku tidak menemani mu disaat-saat terakhir." Lirihnya sambil menundukkan kepalanya, pria itu menangis tergugu di depan pusara sang kakak. Betapa dia menyesali kebodohannya, andai saja dia tidak menonaktifkan ponselnya, mungkin dia akan datang lebih cepat dan bisa menemani Winda disaat terakhirnya."Aku menyesal, Mbak. Maafkan aku, aku adik yang buruk kan?""Iya, kau adalah adik yang paling buruk, Arifin!" Ucap sebuah suara, namun itu bukan berasal dari gundukan tana