"Pokoknya aku gak mau tahu ya. Mas. Aku pingin mobil dan harus kamu beliin!" Ucap Arina yang membuat Arifin memijat pelipisnya dengan keras karena semakin kesini, sifat matre Arina semakin menjadi.
Minggu kemarin, Arina merengek meminta di belikan tas mahal, minggu ini dia meminta mobil. Masih mending kalau mobilnya itu bisa di beli dengan harga murah, nah ini? Dia bilang ingin mobil harganya yang jauh lebih mahal dari yang sekarang dia miliki, bahkan harganya melampaui rumah milik Flora."Kamu bisa gak sih jangan menuntut buat Mas belikan ini itu? Mas ini pusing, Arin. Proses cerai Mas sama Flora juga belum selesai, kamu sudah banyak minta." Arifin masih memijat pelipisnya, rasanya terasa nyeri apalagi ketika dia harus menghadapi sifat Arina yang benar-benar matre."Apa susahnya sih, Mas? Kamu kan direktur di perusahaan, korupsi aja gak bakalan ketahuan kalo cuma sekali dua kali doang.""Diam, Arina. Mas pusing, kamu jangan banyak mau. Mobil itu"Flora.." Panggil seseorang yang membuat wanita itu menoleh. Seorang pria setengah berlari menghampirinya dengan cepat."Hai.." Sapanya dengan senyum kecil, membuat Flora mengernyit m sejak kapan Arifin bersikap seramah ini padanya? Rasanya sangat aneh bagi Flora yang selama ini tidak pernah mendapatkan perlakuan baik dari Arifin."Kamu baru datang?""Hmm.." Flora hanya menjawab dengan deheman. Dia tidak terlalu niat untuk menanggapi ocehan Arifin, dia rasanya sangat malas karena sudah terlalu sering di kecewakan, mungkin.Wanita itu berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Arifin yang berjalan di belakangnya."Flo..""Ada apa lagi. Mas?""Bisakah kita bicara sebentar, berdua saja?""Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Mas. Kita sudah selesai sekarang.""Flo. Mas pikir kita perlu bicara tentang perpisahan kita. Mas tidak bisa berpisah darimu.""Kenapa? Apa karena aku sudah cantik sekarang? Tid
"Flo.." Panggil Arifin membuat wanita itu menoleh."Ada apa? Kita sudah bicara di luar, bagiku itu sudah cukup. Bagiku, meskipun kau berlutut atau mencium kakiku sekalipun, aku takkan luluh." Ucap wanita itu dengan tegas, membuat Abian mengulum senyumnya. Harusnya dia tertawa terbahak-bahak saat ini, tapi ketika menyadari kalau situasinya tidak tepat, jadinya dia akan memilih menahan tawanya."Baiklah. Ibu tidak bisa memaksa kamu." Ucap Ranti yang membuat kedua mata Arifin membulat."Bu, ayo dong bujukin lagi.""Kalau dia sudah tidak mau denganmu ya sudah, jangan di paksakan. Percuma, kamu bahagia tapi Flora tidak akan pernah bahagia hidup dengan pria egois seperti mu. Arifin." Ranti membuka kedua matanya, sejak tadi dia bicara tanpa membuka kedua matanya."Bu.." rengek Arifin sambil mendekat ke arah ibunya."Sudah, Arifin. Jangan terus menerus membuat Flora tersiksa, sudah jelas dia tidak bahagia dengan pernikahan ini. Lepaskan
"Mas, kita masih di rumah sakit." Bisik Flora membuat lamunan Abian buyar. Tidak seharusnya dia melakukan ini disaat keduanya masih di tempat umum. Bagaimana jika ada yang melihatnya? Lalu membuat semuanya semakin runyam karena status Flora yang belum resmi berpisah dengan Arifin."Aaahh, maaf.." ucap Abian lalu keduanya kembali berjalan dengan langkah santai hingga ke parkiran.Keduanya duduk dengan nyaman di dalam mobil. Abian mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang."Mau mampir makan dulu gak?""Pengen makan seblak deh, kayaknya enak, Mas.""Boleh, tapi jangan pedes-pedes. Gimana?" Tanya Abian. Dia tahu benar kalau Flora itu akan memesan menu makanan pedas hingga level tertinggi."Level tiga deh. gimana?""Dua, sayang.""Gak mau, tiga ya?" Bujuk wanita itu membuat Abian mendelik."Level dua atau enggak sama sekali hmm?""Ckk, yaudah iya!" Jawab Flora dengan kesal, dia mengerucutkan
Flora pun berbalik dan berniat untuk pulang, tapi dia terkejut ketika mendengar bunyi klakson beberapa kali. Wanita itu mengernyitkan keningnya sambil melihat-lihat siapa kiranya yang ada di dalam mobil itu."Siapa sih? Orang iseng kali ya.." Lirih Flora, dia tidak menghiraukannya dan memilih untuk berjalan mencari bus atau taksi.Tapi, lagi-lagi mobil itu membunyikan klakson bahkan mengikuti langkahnya. Flora takut kalau itu adalah orang jahat, dia bersiap-siap untuk lari kalau saja jendela mobil itu tidak terbuka dan menampilkan sosok pria yang saat ini tengah mengisi hatinya."Sayang.." panggilnya sambil tersenyum, dia melambaikan tangannya, membuat Flora menghela nafasnya. Wanita itu juga mengusap dadanya dengan lega, dia kira kalau itu adalah orang jahat. Sungguh, dia tidak menyangka kalau itu adalah Abian karena mobilnya berbeda dengan yang biasanya pria itu pakai."Masuk, sayang. Malah bengong.." Ucap Abian yang membuat lamunannya buyar sek
Pria dan wanita itu berjalan menyusuri pantai dengan kaki telanjang. Abian berjalan dengan langkah tegapnya. Flora menggandeng erat tangan Abian. sebelah tangannya menenteng sendal miliknya. Abian juga tidak keberatan sama sekali dengan wanitanya yang terlihat manja padanya.Justru, ini adalah hal yang dia sukai dari Flora. Dia bisa menjadi dirinya sendiri saat bersamanya, dia cantik dengan sifat alami yang tidak di buat-buat. Dia tidak berpura-pura apapun untuk bisa menarik perhatiannya, Flora diam pun Abian tetap tertarik padanya."Suka, sayang?""Banget, Mas. Cuma kalau ke pantai gini panas ya. Mas?" Tanya Flora yang membuat Abian terkekeh."Namanya juga pantai, sayang. Mau beli topi gak?""Hah, dimana?" Tanya wanita itu dengan wajah polosnya, membuat Abian gemas sendiri. Dia menangkup wajah Flora lalu mengecup mesra bibirnya."Mas, ini di tempat umum lho.""Cuma cium doang, gak sampai main tindih-tindihan." Jawab pri
Abian refleks melepaskan gandengan tangan wanitanya dan berlari dengan panik untuk menyelamatkan saudarinya. Sebenci apapun dirinya pada Winda, tetap saja dia mengkhawatirkan wanita itu karena dia adalah saudarinya, darah yang mengalir di tubuh mereka sama. Darah lebih kental dari pada air, meskipun begitu mereka tetap saudara dan tidak bisa di pisahkan meskipun dengan cara membasuhnya dengan air dari tujuh samudra."Mbak Winda!" Teriak Abian. Di belakangnya ada Flora yang juga melihat saat tubuh gempal wanita itu di gulung ombak besar hingga menghilang."Mbak.." Pria itu berlari berniat menyelamatkan saudarinya itu, tapi penjaga pantai melarangnya karena ombaknya sangat besar dan juga arus airnya yang sangat kuat, membuatnya terlalu beresiko jika ingin menyelamatkannya kesana."Mas, tolong jangan gegabah. Biar petugas penyelamat yang mencarinya, silahkan tunggu disana. Kami akan bekerja dengan baik untuk memastikan korban di temukan." Ucapnya, lalu Abian
"Ada apa ini. Abi?" Tanya Ranti, dia baru saja datang bersama Santi. Keduanya langsung mendekat ketika melihat Abian yang tengah duduk di kursi tunggu dengan menutup wajahnya dengan kedua tangan."Iya, ada apa dengan Winda? Dia kecelakaan atau apa?" Kali ini. Santi yang bertanya demikian. Wajah kedua wanita berstatus ibu dan anak itu terlihat menunjukan ekspresi yang sama, panik dan khawatir.Abian mendongakan wajahnya lalu menatap wajah ibu dan saudarinya lekat, lalu menghela nafas dengan pelan seolah berat. Nafasnya terasa berat saat ingin mengatakan hal yang benar-benar membuatnya terpukul. Dia mengumpulkan keberaniannya, tapi dia bingung. Harus dari mana dia memulai?"Mbak Winda meninggal, Bu. Mbak." Lirih Abian. Akhirnya, kalimat menyakitkan itu meluncur begitu saja dari mulut Abian. Ranti dan Santi bungkam, wajah mereka terlihat memucat seketika. Sungguh, mereka tidak menyangka kalau ternyata ucapan inilah yang keluar dari mulut Abian."Jang
"Maaf, anda keluarganya juga?""Iya." Jawab Abian dengan wajah datarnya. Dia menatap tak suka ketika melihat Flora yang berdekatan dengan perawat pria itu. Disaat seperti ini, sempat-sempatnya Abian cemburu pada perawat yang membawa tubuh saudarinya yang terkulai lemas tak sadarkan diri."Bagaimana dengan pengurusan jenazah, apa akan di lanjutkan?""Lanjutkan saja, kalau bisa selesai besok pagi." Pinta Abian lalu di angguki perawat itu. Dia pun pergi meninggalkan ruangan itu karena pekerjaannya masih banyak sekali. Perawat itu memang yang paling sibuk jika ada pasien yang meninggal seperti ini."Kemari.." Pinta Abian dan Flora langsung duduk di samping pria tampan itu. Flora paham kalau suasana hati Abian memang sedang tidak baik-baik saja, bahkan jauh dari kata baik. Memangnya, siapa yang bisa baik-baik saja ketika mendapatkan berita duka?Flora menggenggam tangan Abian lalu mengusapnya dengan lembut, pria itu menatapnya dengan intens la
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.