"Lama banget, sih." Hanan menatap Hanin sambil berdecak pelan. Sejak tadi dia menunggu kembarannya ini di depan kelas. Sementara Hanin malah sibuk terus mencatat tulisan dari guru mereka yang ada di papan tulis. Padahal di rumah dia bisa saja meminjam catatan Hanan, tapi ya Hanin memang sengaja berlama-lama biar Hanan menunggunya lama. Bisa dibilang ini pembalasan Hanin karena Hanan menjahilinya pagi tadi.
"Cuman nunggu bentar doang. Itu aja nggak bisa," cibir Hanin, dia berjalan lebih dulu. Menjadikan Hanan semakin berdecak pelan, kalau bukan adiknya. Sejak tadi sudah Hanan campakkan Hanin ini ke rawa-rawa."Bentar kata mu? Aku ada lima belas menit nunggu kamu di sana," balas Hanan.Hanin melirik sekilas Hanan. "Siapa nyuruh nunggu sambil berdiri coba? Kan, bisa sambil duduk. Kamu aja yang ribet," jawabnya lagi.Menjadi kakak dari Hanin harus punya ekstra sabar yang banyak. Hanan hanya bisa mengembuskan napas kasar, kemudian memiting kepala adiknSesampainya di rumah. Cokelat Hanin sudah habis karena sepanjang perjalanan dia memakan cokelat itu cepat-cepat.Tiba di rumah dia langsung mencari keberadaan Mommy-nya tentu saja untuk bercerita pasal surat cinta tadi. Biar Mommy tahu sepopuler apa Hanan di sekolah mereka."Mom!" Hanin memeluk Flora yang duduk di ruang tengah."Anak Mommy udah pada pulang." Flora tersenyum lebar, meninggalkan rajutannya sebentar untuk mencium pipi Hanin. " Mandi dulu sana! Habis itu makan siang," suruhnya.Hanin mengangguk pelan. "Tapi, Mom, Hanin ada cerita seru, lho," ujarnya memberitahu.Satu alis Flora naik. "Oh, ya? Cerita apa?" tanyanya ikut penasaran."Hanan dapar surat cinta lagi dari Kakak kelas. Haha..., anak Mommy satu itu jadi berondong," tuturnya dengan tawa yang meledak.Sedangkan Flora menggeleng pelan. Dia sudah tahu itu karena bukan kali ini saja Hanin bercerita."Mulai lagi, deh," celetuk Hanan yang baru masuk
"Lho, udah tidur, Mas?" tanya Flora saat dia masuk ke dalam kamar Hendra. Mendapati suaminya yang sedang memandangi wajah lelap putranya itu.Abian mengangguk pelan. "Habis aku bersih-bersih kan, eh dia ngeluh ngantuk. Terus tidur pas aku kelonin," jawabnya.Flora menghela napas pelan. Jadi, tidak perlu ada drama lagi malam ini karena Hendra tidak mau tidur. Pelan-pelan Abian turun dari tempat tidur Hendra. Kemudian mengajak Flora keluar dari kamar itu. Tiba di luar kamar, Abian langsung memeluk Flora dari belakang. Memberikan ciuman gemasnya ke pipi Flora membuat wanita itu kewalahan sendiri."Ih, Mas." Flora tentu mengeluh karena kecupan Abian membuat pipinya basah."Ayo ke kamar," bisik Abian tepat di telinga Flora. "Anak-anak pasti udah tidur. Jadi, sekarang waktu Daddy yang di kelonin sama Mommy." Abian mengerlingkan mata kanannya, melihat itu Flora hanya menggelengkan kepalanya pelan."Aku masih ada tugas, Mas." Flora menahan wajah
Abian itu tipenya tidak mau pakai pengaman ketika melakukan itu dengan Flora. Maka Flora lah pandai-pandai yaitu memasang suntik KB agar tidak kejebolan. Tiga anak sudah cukup bestie, Flora tidak mau nambah lagi.Sedangkan itu, Hanan tak sengaja mendengar bisikan kedua orang tuanya. Tak sengaja juga dia tersedak pelan. Dalam hati merutuki telinganya yang super tajam, tak seharusnya dia mendengar bisikan orang dewasa itu."Hanan, kamu nggak apa-apa sayang?" tanya Flora sedikit panik karena putranya tersedak.Hanan menggeleng pelan, lalu minum secara perlahan lagi. "Nggak apa-apa, Mom," jawabnya. Hanan menghela napas pelan, semoga saja dia tidak mendapat adik baru lagi. Kalau hal itu terjadi, pasti Hanin akan mengamuk besar. Memang di antara mereka tidak mau punya adik lagi. Sudah cukup Hendra karena dari awal Hanan memang menginginkan satu adik laki-laki saja. Jadi, dia punya sepasang adik yang lengkap.Sialnya, saat Hanan melanjutkan acara makan m
Abian melingkarkan tangannya ke pinggang Flora karena wanita itu sedang membelakanginya, Flora marah padanya. Itu yang harus kalian ketahui. Akibat Abian yang tidak tahu tempat dan Hendra sempat melihat bagaimana dia mencium Flora tadi. Akhirnya Flora marah setelah anak-anak tidur. Oleh karena itu juga Flora enggan tidur menghadapnya, dan itu membuat Abian tersiksa. Abian tidak bisa melihat wajah cantik istrinya itu."Sayang, aku pernah dengar dari Kalandra." Abian bercerita tanpa ada respon dari Flora. Abian juga tahu kalau dia salah tadi, tidak seharusnya dia melakukan hal itu di depan anak-anak. Dan untuk itu Abian tidak akan berani mengulang kesalahannya ini. Abian juga sudah berulang kali minta maaf pada Flora. "Kala pernah cerita ke aku. Kalau istri yang tidur membelakangi suaminya, dia akan berdosa sekali," lanjut Abian. Bukan menakuti Flora, dia memang pernah mendengar hal itu dari Kala, walau sebenarnya dia sudah tahu sejak lama tentang hal itu.Flora tida
Jam sepuluh pagi. Mereka semua pergi menuju rumah Kalandra.Abian yang ikut datang bertamu turun duluan. Karena dia ingin bertemu dengan Kala juga, berbincang dengan biasa tanpa ada urusan pekerjaan. Abian tertawa senang karena Kala sudah menunggu kehadiran mereka di teras rumah lelaki itu."Saya senang sekali karena Tuan mau bertamu ke rumah saya ini," ujar Kala. Menyambut keluarga Abian dengan ramah."Apa kabar, Kala?" tanya Abian serta memeluk Kala dengan pelukan ala laki-laki. Hampir dua Minggu mereka tidak bertemu setelah proyek mereka ke sekian kalinya selesai."Baik Tuan." Kala membalas pelukan Abian. "Tuan apa kabar?" tanya Kala balik. Kebiasaan Kala yang memanggil Abian dengan sebutan Tuan tidak pernah berubah sama sekali walau diluar jam kerja."Baik." Abian menganggukkan kepalanya pelan. "Dan semakin baik kalau kau tidak memanggil ku dengan sebutan Tuan. Ayolah! Ini bukan jam kerja," sambung Abian."Saya sudah kebiasaa
Abian memilih menyusul masuk ke dalam. Di ruang tengah sangat ramai sekali karena Anya ikut menangis sebab Hendra menangis. Astaga kebisingan ini semakin menjadi dan para ibu hanya bisa membujuk anak masing-masing."Dek Anya jangan nangis." Hendra mengusap air matanya sambil menatap Anya. "Kak Hendra aja yang nangis, Dek Anya jangan," lanjutnya seraya menggelengkan kepalanya."Kak Hendra juga nggak boleh nangis. Kalau Kak Hendra nangis, Anya juga makin nangis," balas Anya di sela sesenggukan nya.Lantas Hendra turun dari pangkuan Flora dan menghampiri Anya yang duduk di pangkuan Hana. "Kak Hendra sudah tidak nangis lagi, kok," ujarnya tapi bibirnya masih mengeluarkan sesenggukan."Anya juga udah Ndak nangis." Anya buru-buru mengusap air matanya kemudian tersenyum pada Hendra.Abian tersenyum geli melihat itu, lalu berbisik pada Kala setelah dia duduk di sebelah asistennya itu."Kalau kita jodohkan mereka berdua. Pasti seru ya, Ka
Hanan tidak puas dengan perilakunya dengan Arkan tadi. Sehingag saat pulang sekolah, dia meninggalkan Hanin di mobil bersama sopir mereka yang sudah tiba sejak awal. Lalu setelah itu Hanan berpura-pura kebelet pipis, jadi pamit ke toilet sebentar. Dia harus memberikan pelajaran kecil pada kakak kelasnya satu itu, sebab sudah lancang mencium punggung tangan Hanin dan juga membuat pergelangan tangan Hanin merah.Hanan tahu kebiasan Arkan setiap pulang sekolah, dia suka berkumpul bersama teman-temannya di bawa tangga lantai dua, mengingat sekolah mereka ini terdiri dari tiga lantai. Hanan tidak bodoh untuk menyerang Arkan di depan banyak teman-temannya. Jadi, dia berpura-pura atau lebih tepatnya berakting."Apa Kak Arkan ada di sini?" tanya Hanan sopan pada segerombolan anak kelas delapan itu.Arkan langsung bergerak maju kala tahu ada yang mencarinya, cukup terkejut melihat kedatangan Hanan. "Ada apa?" tanya Arkan tidak suka."Kak Arkkan di cari wal
Abian panas dingin mendengar cerita Hanan yang terjadi di sekolah tadi. Sungguh tidak menyangka kalau putri kesayangannya di pegang oleh remaja ingusan yang ingin mengajak Hanin berpacaran. Ah, anak zaman sekarang, cepat sekali mengenal cintanya. Abian tidak siap kalau semisalnya salah satu dari si kembar nantinya akan berpacaran. Ya, Abian sudah mewanti-wanti itu sejak lama. Larangan berpacaran selama bersekolah, nanti setelah lulus baru keduanya Abian bebaskan untuk mencari pacar dan pasangan masing-masing."Mana tangan mu, Hanin?" tanya Abian setelah keluar dari ruang kerja yang di ikuti oleh Hanan dari belakang. Mereka baru tiba di ruang keluarga, di mana Hanin sibuk mengajari Hendra membaca tadinya.Hanin yang ditanya begitu mendadak bingung. "Tangan Hanin kenapa, Dad?" tanyanya polos."Sudah sini saja." Abian langsung duduk lesehan di depan Hanin dan mengambil tangan putrinya itu. Walau kata Hanan, Hanin sudah membersihkan jejak ciuman dari anak rema
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.