Siang harinya. Flora membawa serantang makan siang untuk Abian. Sedangkan si kembar pulang agak sore karena ada les tambahan hari ini. Abian sudah mendaftarkan si kembar les sejak dua hari yang lalu. Agar keduanya lebih giat belajar lagi, tapi Abian tidak terlalu menegaskan si kembar. Kalau mereka lelah les, mereka boleh libur. Dia takut anak-anak tertekan akan hal itu.
Flora tiba tepat waktu. Dia juga sudah mengabari Abian kalau dia akan ke kantor dan mereka berjanji akan makan siang bersama. Tak lupa juga Flora mengirimkan makan siang untuk si kembar dan sudah di antarkan oleh Bibi Siwi bersama Pak Rusdi.Baru saja Flora menapakkan kakinya di lobi kantor Abian. Tapi, sialnya dia malah bertemu dengan sang mantan suami, siapa lagi kalau bukan Arifin. Flora kaget tentunya, malah dia malas berteguran. Flora terkesan menghindar, tapi tidak dengan Arifin. Lelaki itu menghadangnya."Flora ." Lirih Arifin, nada suara terdengar frustrasi sekali."Apa?" tFlora pasrah saja ketika tangannya di tarik Abian. Tidak kuat, itu hanya tarikan seperti biasa saja. Tapi, Flora dilanda takut karena Abian tak membuka suaranya sama sekali sampai mereka tiba di ruang kerja suaminya itu.Abian membawanya masuk ke dalam kamar mandi, menghidupkan keran wastafel. Dan, Flora sedikit menganga melihat Abian mencuci tangannya di mana bekas pegangan Arifin tadi.Maksud suaminya apa coba?"Jejak mantan itu harus segera di hapus. Kalau nggak mau kena rabies nanti," ucap Abian datar. Flora kembali bingung, apa suaminya ini marah padanya.Flora tidak menolak tangannya di cuci Abian dengan sabun cukup lama. Dia terus menatap wajah suaminya dari samping."Mas ...." Lirihnya."Bentar dulu! Aku lagi fokus bersihin tangan mu," jawab Abian tanpa menoleh ke arahnya sama sekali. Flora panik, biasanya Abian akan menatap wajahnya saat berbicara."Ka-kamu marah sama aku, ya?" cicit Flora. Sekarang tangannya su
"Begitu syulit lupakan Rehan. Apalagi Rehan baik ...."Hanan hanya bisa menatap kembarannya itu lelah. Sejak kemarin di sekolah, adiknya itu selalu menyanyikan lagu itu yang dia dapat dari teman sekelas mereka. Bukan apa, Hanan hanya bosan mendengarnya di tambah suara cempreng Hanin yang menyanyikan itu."Berisik!""Begitu syulit ." Bukan mendengarkan protesan Hanan. Hanin makin menjadi nyanyinya, sambil terus mewarnai buku gambarnya. Tidak memedulikan Hanan sama sekali yang kini berdecak pelan."Hanin berisik!" geram Hanan. Butuh stok kesabaran lagi untuk berhadapan dengan kembarannya yang selalu mengesalkan.Hanin hanya melirik Hanan sekilas. "Lupakan Rehan, apalagi Rehan baik." Malah dia lanjut bernyanyi.Sudah kepalang kesal dengan adiknya itu, Hanan pun menarik ujung rambut Hanin membuat adiknya itu memekik kencang padahal Hanan menariknya tidak terlalu kuat."Kau kenapa, sih?" kesal Hanin. "Orang juga lagi nyanyi,
Sejak pagi tadi Flora terlihat beda dari biasanya, terlihat tidak bersemangat. Juga terkadang menunjukkan sedikit rasa jengkelnya karena ulah si kembar yang tidak tenang ketika sarapan. Maka itu Abian menenangkan kedua anaknya agar tidak kena marah oleh Flora. Dia juga akan menanyakan kenapa perubahan mood Flora ini terjadi.Pernikahan mereka sudah berjalan berapa tahun. Ada rasa tidak sabar di sudut hati Abian untuk mendengar kabar kehamilan Flora agar bisa memberikan adik untuk si kembar. Tapi, sekarang dia ingin mengetahui kenapa pagi ini Flora terlihat berbeda? Bahkan terang-terangan menunjukkan rasa kesalnya pada si kembar. Setelah mengantar si kembar ke sekolah dan memberikan pengertian pada dua anaknya itu ketika Hanin mengeluh karena mamanya begitu berbeda. Tidak bersemangat tiap pagi.Abian langsung memutar balik mobilnya setelah memastikan si kembar masuk ke dalam sekolah. Dia tidak langsung pergi ke kantor, melainkan pulang ke rumah untuk berbicara denga
Beberapa bulan kemudian...Flora baru saja memberikan kejutan pada Abian berupa sebuah testpack yang menunjukkan kalau Flora sedang mengandung."Kita harus ke Dokter sayang, agar tahu bagaimana kondisinya." Abian menatap Flora penuh cinta.Flora pun mengangguk setuju. "Ayo mas."Malam harinya, Abian dan Flora sengaja mengundang Roby , Santi, Kalandra dan juga Hana untuk makam malam bersama, tak lupa dengan Ranti. Sore tadi mereka sudah pergi ke dokter dan syukurnya kandungan Flora baik-baik saja. Mungkin akan mengalami mual dan semacamnya, seperti yang di alami ibu hamil muda di luaran sana.Abian dan Flora pun langsung mengumumkan kabar bahagia itu. Mereka semua yang hadir pada saat itu tentu turut bahagia. Begitu juga si kembar yang berebutan menerka-nerka apa jenis kelamin calon adik mereka nantinya."Adik cewek!" tekan Hanin saat beradu argument pada Hanan."Adik cowok!" balas Hanan tidak mau kalah.Melihat
Seperti pagi biasanya, Flora bangun ketika rasa mual menghampirinya. Maka itu Flora buru-buru ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya, padahal hanya air saja yang keluar. Tapi, dia berulang kali muntah. Hal ini sudah pernah dia rasakan ketika hamil si kembar dulu.Abian pun terbangun ketika mendengar suara muntah-muntahnya, dengan sigap menghampiri Flora dan memijat tengkuk Flora pelan-pelan. Lihatlah, Abian begitu siaga padanya."Masih mual lagi?" tanya Abian. Ketika mendapatkan gelengan lemah dari Flora. Abian pun dengan sigap menggendong Flora dan merebahkannya ke atas ranjang. Flora mengeluh pusing pada Abian, tapi herannya Flora malah menangis tidak jelas."Hei, kenapa nangis?" Abian mengusap kening Flora yang berkeringat. "Pusing yah? Apa perlu aku panggilkan dokter?" tanya Abian beruntun. Dia tidak tega melihat Flora seperti ini. Memang dia yang mau Flora hamil lagi, tapi tidak menyangka kalau Flora akan mengalami hal separah ini. Kalau bisa m
Tak!"Itu fotonya," ujar seorang Lelaki pada orang bayarannya. Menatap dua lelaki yang berbadan kekar di depannya ini."Hanya dua anak kecil?" Salah satu pria itu bertanya kemudian tersenyum remeh. "Ini tugas yang gampang," lanjutnya.Lelaki itu mengangguk sambi bersedekap. "Tapi, kalian jangan menganggap mereka hanya anak kecil. Mereka ini sangat cerdas, jangan sampai kalian dikelabui oleh mereka," pesannya."Gampang, mah. Pak Bos tinggal percayakan ini sama kita.""Baiklah. Kalau begitu, mereka berdua harus ada di ruangan ini besok. Kalian paham?" Lelaki itu berujar lagi."Paham Pak Bos." Dua pria tadi langsung berdiri. Mengambil sebuah amplop yang berisikan uang muka untuk tugas mereka. Pokoknya jangan lupa bayaran kami lagi setelah kerjaan kita selesai," sambungnya."Kalian tenang saja." Lelaki itu mengangkat dagunya tinggi-tinggi.Setelah dua pria berbadan kekar tadi keluar. Lelaki tadi pun tertawa pelan. "
Hanin merasakan pusing yang teramat di kepalanya. Perlahan dia mencoba membuka matanya yang terasa berat, sehingga matanya terbuka sempurna. Barulah dia sadar kalau dia sedang berada di tempat asing."Kau sudah sadar? Syukurlah." Hanin langsung menoleh ke asal suara itu. Dia begitu lega karena tahu kalau dirinya tidak sendirian di ruangan pengap ini."Hanan..., kita ada di mana?" tanyanya, takut melihat ruangan ini begitu gelap. Hanya ada pencahayaan dari jendela kecil di atas mereka."Aku juga tidak tahu," gumam Hanan. "Kita sudah diculik sama dua penjahat tadi." Dia menghela napas gusar. Dia takut kalau orang tua mereka khawatir karena mereka belum pulang. Terutama Mommy mereka yang panikan orangnya."Hanan, aku mau pulang," rengek Hanin. Hanin baru sadar kalau tangan dan kakinya terikat. Kedua tangannya terikat pada tembok dan Hanan pun sama. Keduanya saling membelakangi dengan posisi sama-sama terikat."Tenanglah. Aku sedang memikirka
Kabar penculikan si kembar pun sudah terdengar oleh guru-guru yang saat itu baru selesai rapat. Pun, Kalandra langsung mewawancarai satpam yang terdapat pingsan di posnya. Kala tidak tinggal diam, dia langsung meminta satpam itu menceritakan semuanya dan kenapa juga dia pingsan. Sementara kepala sekolah meminta maaf atas keteledoran mereka."Saya minta maaf, Tuan Abian. Semua guru tadi ikut rapat dan tidak mengetahui kejadian ini. Saya juga tidak menyangka kalau penculiknya langsung menyerang satpam sehingga penculikan ini tidak terelakkan lagi," sesal sang Kepala Sekolah.Abian mengembuskan napas kasar, kalau sudah panik begini dia harus sedikit rileks agar bisa berpikir jernih. Ini juga bersangkut paut dengan nyawa darah dagingnya. "Periksa cctv, ya, Kala!" Suruh Abian lagi setelah Kala selesai mendengarkan penjelasan satpam. Yang katanya tiba-tiba di serang orang tidak di kenal hingga dia jatuh pingsan karena belakang kepalanya di pukul keras.Abian ber
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.