"Ibu kemana?" Tanya Flora. Seingatnya, tadi dia melihat ibu mertuanya ikut ke rumah sakit, tapi sekarang dia tidak ada di ruangan ini. Kemana wanita itu pergi?
"Ibu pulang dulu, ambil pakaian ganti.""Ohh, yaudah.""Mas keluar dulu beli makanan, kamu mau makan apa, sayang?""Sup daging, Mas. Jangan lupa minta jeruknya sekalian biar lebih seger." Jawab Wanita itu, belakangan ini dia memang lebih suka makan makanan yang berkuah segar."Yaudah, Mas keluar dulu. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Mas yaa." Ucap Abian sambil mengusap rambut istrinya dengan gemas."Iya, Mas. Jangan lama ya perginya.""Iya, sayang. Cuma ke depan kok, gak lama." Jawab pria itu. Dia pun pergi meninggalkan istrinya di ruangan, sendirian. Tapi beberapa menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka dan menunjukkan Santi yang datang bersama sang suami, Robi."Flo..""Eehh, Mbak Santi.." Sapa Flora sambil tersenyum manis."Gima"Sayang.." Panggil Abian pada istrinya. Hari ini, keadaan wanita itu sudah menjadi lebih baik jadi Flora sudah bisa pulang."Iya, Mas. Kenapa?""Mas mau pergi dulu sebentar, kamu sama Ibu dulu ya." Ucap Abian sambil mengusap puncak kepala sang istri dengan lembut. Dia juga melabuhkan kecupan mesra di keningnya."Mau kemana, Mas? Kan masih libur." Tanya wanita itu, pasalnya ini masih weekend."Mas ada urusan, sayang. Mas perginya sama Robi kok.""Yaudah, hati-hati di jalannya ya." Ucap wanita itu dan Abian mengusap puncak kepala istrinya. Dia berlutut menyamakan posisinya dengan perut istrinya."Jangan nakal ya sama Mama, Papa pergi dulu ada urusan. Nanti Papa pulang bawain oleh-oleh, adek mau apa?" Tanya Abian sambil mengecupi perut buncit istrinya."Mau martabak, Mas.""Siap, istriku. Nanti Mas bawain, gak bakalan lama kok." Jawab pria itu. Dia beranjak lalu pergi meninggalkan sang istri bersama ibunya di ruang
Pria itu menatap Bram dengan rahang yang mengetat, terlihat jelas kalau pria itu tengah marah."Apa yang kau lakukan pada Winda?" Tanya Abian dengan suara rendah yang menakutkan. Bahkan bulu kuduk Robi meremang seketika ketika mendengarnya. Dia kira, suara Abian yang melengking keras ketika berteriak adalah yang paling menakutkan, tapi ternyata suara rendahnya jauh lebih menakutkan. Robi mengusap tengkuknya yang tiba-tiba saja merinding."Aku tidak melakukan apapun. Dia yang datang menyerahkan diri.""Persetaaan! Bajingaan! Katakan, apa yang sudah kau lakukan pada Winda? Katakan jujur atau aku akan membunuhmu, Bramantyo!""Sudah aku tegaskan, aku tidak melakukan apapun tanpa dia setujui." Jawabnya kekeuh, tapi Abian tahu kalau pria itu berbohong. Kebohongannya terlihat dari sorot matanya."Jawab jujur atau kau mati di tanganku, Bram!""Katakan sejujurnya, jangan tunggu Abian murka. Kau jelas tahu seperti apa mantan adik iparmu in
"Abi..""Ada apa, Bu?" Tanya Abian."Ibu kangen sama adikmu." Lirih Ranti sambil menundukkan kepalanya."Arifin baik-baik saja, besok kita kesana menjenguknya. Abi juga sudah mengajukan banding agar hukumannya di ringankan.""Terimakasih, Abi.""Iya, besok kita kesana. Kamu mau ikut?" Tanya Abian pada istrinya."Boleh?""Boleh, tentu saja." Jawab pria itu sambil tersenyum. Tidak ada alasan untuk melarang istrinya agar tidak ikut ke menjenguk Arifin ke selnya, lagipula dia percaya penuh pada istrinya. Tidak mungkin Flora akan kembali pada pria macam Arifin."Yaudah, aku ikut besok.""Hmmm.."Pasangan suami istri itu kembali bermesraan, Abian bermanja pada istrinya seperti biasa. Itu aktivitas kesukaannya.Keesokan harinya, Abian dan Flora juga Ranti sudah siap untuk berangkat menjenguk Arifin di selnya. Tak lupa, ada Santi juga yang akan menyusul kesana untuk menjenguk adiknya juga.
"Gak habis pikir aku sama Arifin." Ucap Santi sambil menggelengkan kepalanya sambil menyuapkan spaghetti ke dalam mulutnya. Sepulang dari penjara untuk menjenguk saudara yang tidak tahu diri itu, mereka memutuskan untuk makan siang bersama di restoran."Dia gak berubah sama sekali, padahal sudah satu tahun dia di penjara, tapi karakternya masih sama seperti dulu." Jawab Abian. Jujur, dia bosan di salahkan tapi memang ini semua ide gilanya karena ingin memiliki Flora.Dia juga malas untuk menjenguk Arifin, itu adalah salah satu alasannya. Dia muak mendengar dan melihat kelakuan Arifin yang selalu saja tingkahnya itu membuat kepalanya pusing. Dia sebal juga ketika melihat cara Arifin menatap istrinya, ingin sekali dia mencongkel kedua matanya itu karena sudah menatap miliknya sebegitunya."Harusnya dia di hukum kayak gitu tuh mikir, otaknya kemana sih?" Kesal Santi. Adik dan kakak itu yang membicarakan Arifin, saudara mereka sendiri. Berbeda dengan Flora ata
Waktu terus berlalu dengan begitu cepat, tidak terasa kalau hari ini kandungan Flora sudah menginjak usia sembilan bulan. Dengan penjagaan super super ketat dari sang suami, Flora akhirnya bisa melewati setiap fase kehamilannya dengan lancar tanpa hambatan, meskipun beberapa kali drama terjadi.Hari ini, Abian sedang mengantar istrinya untuk periksa. Mungkin lebih tepatnya periksa terakhir karena usia kandungannya sudah mencukupi untuk melahirkan."Sayang, gimana perasaanmu sekarang?" Tanya Abian sambil tersenyum menatap sang istri yang terlihat duduk dengan nyaman di samping sang suami yang tengah mengemudikan kendaraannya."Jujur, aku sangat gugup, Mas." Jawab wanita itu sambil tersenyum kecil, jujur saja dia merasa sangat gugup sekarang. Tapi rasa ingin bertemunya dengan kedua buah hatinya."Mas juga, tapi rasanya Mas sangat excited menunggu kelahiran keduanya. Mas gak sabar.""Aku juga, semoga saja mereka cepat lahir dengan selamat da
Kini, hari yang telah di tunggu-tunggu oleh Flora dan Abian telah datang. Pagi ini, Flora merasakan perutnya mulas. Dia sudah bolak balik ke kamar mandi tapi rasa sakit di perutnya tidak kunjung hilang juga, malah sakitnya semakin terasa. Akhirnya, dengan perasaan tak enak Flora pun membangunkan suaminya. Sejujurnya, dia tidak ingin membangunkan sang suami.Dia tahu kalau suaminya pasti lelah setelah seharian bekerja di perusahaan, dia membutuhkan waktu beristirahat yang cukup untuk menghadapi banyaknya pekerjaan yang telah menunggu di perusahaan. Tapi rasa sakit di perutnya benar-benar sudah tidak tertahankan hingga dia tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya. Flora ambruk di lantai sambil memegangi perutnya."Mas, tolong.." Lirihnya sambil terus memegangi perutnya."Mas.." panggilnya lagi, membuat tidur Abian terusik. Pria itu membuka kedua matanya secara perlahan lalu melirik kesana kemari mencari keberadaan sang istri. Dia beranjak dari tidurnya sambi
"Keluarga Pasien?" Tanya seorang perawat yang keluar dari ruangan dengan pakaian sterilnya."Saya suaminya, sus.""Pembukaan pasien sudah lengkap, sudah bisa melahirkan sekarang. Harap ada yang bisa menemaninya di ruang persalinan sekarang.""Saya, Sus.""Baik, mari ikut saya." Jawabnya, Abian menoleh ke arah sang ibu dan dia menganggukan kepalanya, Abian menghela nafasnya lalu berjalan masuk ke dalam ruangan mengikuti perawat itu.Abian berjalan masuk, seketika suasana ruangan itu terasa mencekam, ada banyak alat-alat yang terlihat asing bagi penglihatan Abian yang memang bukanlah dokter. Wajahnya berubah pucat, membuat dokter yang biasa dia temui setiap bulan itu tersenyum kecil."Jangan gugup, tenang saja. Mendampingi istri saat melahirkan adalah salah satu kewajiban suami karena ingin di temani saat melahirkan adalah keinginan semua wanita. Sayangnya, tidak semua suami bisa mendampingi istrinya.""Iya, Dok."
Setelah bayinya tertidur pulas di box baginya, Abian berjalan mendekat ke arah sang istri dan duduk di brankar dekat sang istri berbaring."Maaf kalau Mas punya banyak salah selama ini sama kamu, mungkin yang sengaja atau tidak di sengaja.""Kenapa harus minta maaf, Mas?""Entahlah, Mas pikir kalau Mas harus melakukannya. Mas merasa punya banyak salah sama kamu, sayang.""Aku sudah memaafkan semuanya, Mas. Jangan merasa bersalah apapun, Mas tidak memiliki kesalahan apapun padaku, apalagi sampai di sengaja.""Melihat perjuangan kamu tadi, membuat Mas semakin sadar kalau kamu adalah wanita yang kuat. Setelah ini, Mas mohon jangan hamil lagi ya?" Ucap Abian yang membuat Flora terkekeh pelan, dia tidak bisa tertawa dengan bebas karena bagian bawahnya masih terasa sangat ngilu."Kenapa, Mas?""Melahirkan itu sakit, sayang. Mas gak tega lihat kamu kesakitan, jadi udahan ya? Dua anak lebih baik.""Kalau ada rezekinya,