"Keluarga Pasien?" Tanya seorang perawat yang keluar dari ruangan dengan pakaian sterilnya.
"Saya suaminya, sus.""Pembukaan pasien sudah lengkap, sudah bisa melahirkan sekarang. Harap ada yang bisa menemaninya di ruang persalinan sekarang.""Saya, Sus.""Baik, mari ikut saya." Jawabnya, Abian menoleh ke arah sang ibu dan dia menganggukan kepalanya, Abian menghela nafasnya lalu berjalan masuk ke dalam ruangan mengikuti perawat itu.Abian berjalan masuk, seketika suasana ruangan itu terasa mencekam, ada banyak alat-alat yang terlihat asing bagi penglihatan Abian yang memang bukanlah dokter. Wajahnya berubah pucat, membuat dokter yang biasa dia temui setiap bulan itu tersenyum kecil."Jangan gugup, tenang saja. Mendampingi istri saat melahirkan adalah salah satu kewajiban suami karena ingin di temani saat melahirkan adalah keinginan semua wanita. Sayangnya, tidak semua suami bisa mendampingi istrinya.""Iya, Dok."Setelah bayinya tertidur pulas di box baginya, Abian berjalan mendekat ke arah sang istri dan duduk di brankar dekat sang istri berbaring."Maaf kalau Mas punya banyak salah selama ini sama kamu, mungkin yang sengaja atau tidak di sengaja.""Kenapa harus minta maaf, Mas?""Entahlah, Mas pikir kalau Mas harus melakukannya. Mas merasa punya banyak salah sama kamu, sayang.""Aku sudah memaafkan semuanya, Mas. Jangan merasa bersalah apapun, Mas tidak memiliki kesalahan apapun padaku, apalagi sampai di sengaja.""Melihat perjuangan kamu tadi, membuat Mas semakin sadar kalau kamu adalah wanita yang kuat. Setelah ini, Mas mohon jangan hamil lagi ya?" Ucap Abian yang membuat Flora terkekeh pelan, dia tidak bisa tertawa dengan bebas karena bagian bawahnya masih terasa sangat ngilu."Kenapa, Mas?""Melahirkan itu sakit, sayang. Mas gak tega lihat kamu kesakitan, jadi udahan ya? Dua anak lebih baik.""Kalau ada rezekinya,
Hanya satu Minggu saja, kini Flora telah bisa pulang karena keadaannya yang sudah membaik. Tubuhnya memang mudah beradaptasi, meskipun masih merasakan sedikit ngilu di bagian tertentu, tapi tubuhnya telah pulih sepenuhnya."Bobo sana.." Ucap Abian sambil mengusap puncak kepala sang istri dengan lembut."Mau sama Mas, yuk?" Ajak wanita itu sambil tersenyum."Gak usah senyum kayak gitu, kamu masih nifas. Jadi jangan godain Mas yaa..""Siapa juga yang godain kamu, Mas. Gak ada tuh..""Hmm, yaudah bobok sana. Nanti Mas nyusul, ini anak bayi kelihatan nyenyak sekali." Jawab pria itu sambil membiarkan istrinya tidur terlebih dulu. Dia paham benar kalau istrinya kelelahan setelah seharian menjaga kedua buah hati mereka yang sekarang sering mengajak begadang. Bahkan seringkali Flora tidak tidur malam hari, kekurangan tidur sudah biasa bagi ibu muda tapi tetap saja Abian merasa kasihan pada istrinya. Jadi sebisa mungkin dia membantu sang istri mes
Abian menjelma menjadi seorang ayah yang siaga, pria itu selalu sigap untuk bangun tengah malam bahkan dia tidak pernah mengeluh. Setelah seharian bekerja di kantor, malam nya dia juga mengurus kedua buah hatinya dengan telaten.Bahkan, Flora saja jarang bersama kedua buah hatinya. Ibu mertuanya sering mengambil alih kebersamaan mereka, alasannya hanya karena tidak ingin membuatnya kecapean, memang fisik Flora jadi lebih lemah saat ini. Kelelahan sedikit saja langsung drop, demam adalah penyakit yang sering di alami Flora.Kata dokter, itu biasa terjadi karena hormon tubuh ibu menyusui bisa bertambah dan berkurang secara signifikan. Beberapa kasus juga pernah terjadi dan itu di alami oleh Flora."Sayang.." Panggil sang suami. Pria itu menggendong putri perempuannya, dia mendekat ke arah sang istri yang tergolek lemah di atas ranjang."Mas.""Gimana, udah baikan?""Udah kok, aku kenapa sering sakit gini yaa?" Tanya Flora.
Setahun telah berlalu, kini Hanan dan Hanin telah berusia satu tahun, keduanya menjadi bayi yang sangat menggemaskan. Flora saja tidak tahan melihat kegemasan kedua buah hatinya. Mereka tengah belajar berjalan saat ini, sungguh waktu benar-benar berlalu tanpa terasa. Perasaan baru kemarin dia melahirkan dua buah hati yang sangat menggemaskan, sekarang mereka sudah satu tahun dan tak lama lagi akan bisa berjalan."Ma-ma.." Kata pertama yang di ucapkan Hanan membuat Flora histeris saking senangnya, dia segera mendekat tubuh gembul putranya itu lalu menangis sambil tertawa. Hanya satu kata tapi mampu membuatnya merasa sangat bahagia."Kenapa nangis, Flo?" Tanya Ranti. Selama ini, wanita paruh baya itu memilih untuk tinggal di rumah ini bersama Flora dan Abian, tentunya atas permintaan wanita itu karena sudah terbiasa dengan kehadirannya membuat Flora akan kesepian jika ibu mertuanya itu pergi.Rumah lama, kini di tinggali oleh Santi. Rencananya, rumah itu aka
"Mas, aku izin beli tanaman lagi. Boleh gak?" Tanya Flora. Dia sedang melihat-lihat tanaman yang belum dia miliki di halaman rumahnya."Boleh, hobi kamu bermanfaat juga kok. Biar gak jenuh juga di rumah sambil ngurusin si kecil." Jawab Abian sambil mengusap kepala istrinya dengan lembut."Mau bunga aster, Mas. Boleh kan?""Boleh, sayangku. Beli aja apapun yang bisa bikin kamu happy, Mas gak akan ngelarang, sayang.""Hehe, makasih, Mas.""Sama-sama, sayang. Mas kerja juga buat kalian, buat apa Mas banyak uang kalo istri sama anak-anak Mas gak seneng?""Yaudah, baguslah.""Weekend nanti kita jalan-jalan ke mall yuk? Ajakin si kembar.""Pasti mereka borong mainan." Ucap Flora seakan tahu apa yang akan di lakukan oleh baby twins nanti. Tapi sepertinya Abian juga sudah menebak kalau itu akan terjadi dan dia tidak mempermasalahkannya sama sekali."Gapapa, sayang. Kan Mas mau nyenengin mereka, biar gak rewel d
"Ibu, udah belanjanya?" Tanya Flora sambil keluar dan berjalan mendekat ke arah ibu mertuanya lalu mengambil alih Hanan dari tangan Ranti."Udah. sayang. Atau mau yang lain? Nanti ibu masakin." Ucap Ranti sambil memperlihatkan barang belanjaan yang ada di dalam kresek hitam."Ibu bell cumi asin?""Iya, tadinya mau bikin sambel cumi. Gimana?""Mantep itu, tapi di rumah habis daun bawang, ibu beli?""Lah. lupa. Sebentar yaa.." Ranti berbalik dan membeli satu ikat daun bawang, setelahnya keduanya pun berjalan beriringan dengan Flora yang menggendong Hanan di pelukannya. Dilihat sekilas mata saja sudah terlihat bahwa menantu dan mertua itu sangatlah akur, mereka tidak tahu saja kalau dulu Flora pernah di perlakukan secara tidak adil oleh mertuanya ini. Sejak dulu. Flora tidak pernah berganti mertua hanya berganti suami saja."Hanin mana?""Sama Mas Abi.""Hati-hati di gigit lagi. Abi itu orangnya memang gemesan gitu
Di lain tempat. Abian baru saja sampai di kantor. Pria itu memasuki ruangannya dan duduk di kursi kebesarannya. Kala masuk dengan beberapa berkas di tangannya."Tuan. Ini berkas yang harus di tandatangani.""Hmm. Kala..""Iya. Tuan. Kenapa?" Tanya pria itu setelah memberikan berkas pada Abian."Hari Ini Flora ulang tahun, kira-kira apa yang harus aku berikan untuknya? Tapi harus membuatnya terkesan, aku tidak tahu harus memberikan apa." Abian sudah memikirkannya tapi dia masih tidak tahu harus memberikan apa pada istrinya."Hmm. apa ya? Sebentar. boleh aku berpikir sambil duduk?""Tentu." Jawab Abian dan Kala pun duduk di kursi satunya. membuat posisinya saling berhadapan satu sama lain."Bagaimana kalau dinner di luar, hanya berdua.""Istriku takkan mau karena dia selalu memikirkan si kembar.""Kalau begitu, berikan hadiah saja. Bunga atau coklat? Atau..""Atau apa?""Saham perusahaan
Tepat pukul delapan malam. Flora dan Abian pergi menggunakan mobil yang di setiri oleh suaminya. Dia mengembangkan senyumnya sambil melihat-lihat pemandangan malam hari yang terlihat indah dengan jutaan lampu yang menerangi setiap sudut di kota. Flora tersenyum senang. padahal keluar seperti ini tidak pernah membuatnya sesenang dulu. Tapi sekarang rasanya begitu menyenangkan, mungkin karena dia sudah lama tidak keluar rumah karena sibuk mengurusi si kembar yang sedang aktif-aktifnya."Kamu senang. sayang?""Iya. Mas. Senang sekali.." Jawab Flora sambil melirik ke arah sang suami yang tengah fokus mengemudikan mobil sedan kesayangannya itu."Maaf ya. kalau Mas jarang ngajakin kamu jalan. Soalnya repot kalo harus bawa si kembar, waktu itu aja kita kewalahan kan?" Abian mengungkit kerempongannya saat mengajak istri dan si kembar jalan-jalan. Meskipun ada Ranti, tapi tetap saja kewalahan karena si kembar yang terlalu aktif, meleng sedikit saja sudah pasti si k
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.